Share

Merintih di kamar Ibu

Bab 5

Vonis mandul ditengah kehamilan istriku

"Ini lo, Bapakmu jatuh dari kursi roda!" jawab Ibu yang masih kesal. 

"Ko bisa jatuh sih, Bu?" tanya Arjuna heran. 

"Tau tuh, Mas mu! Bapak ditinggal di teras sendirian, uda tau lantainya masih licin!"

"Yaelah, Mas! Aneh-aneh aja, untung Bapak gak apa-apa, coba kalau sampai tergelincir dan bablas sampai ke jalan, kan bahaya, Bapak bisa ditabrak mobil, ih ngeri" sahut Arjuna lalu mulai memasang sepatu di kakinya. 

Ingin sekali rasanya aku bertanya mengenai tanda merah yang ada di lehernya. Tapi, aku tidak mungkin bertanya di depan Ibu dan Bapak. 

"Ton! Anton!" lagi-lagi Ibu berteriak padaku. 

"Ada apa lagi, Bu?" 

"Kamu ini malah bengong! cepat antar Bapakmu ke dalam! Ibu mau bayar tukang sayur dulu, barusan keburu lari, jadi gak sempet bayar!"

"Biar Anton saja yang bayar, sekalian Anton juga mau berangkat kerja, uda siang, kalau telat bisa dipotong gaji, Ibu aja yang bawa Bapak ke dalam," ucapku lalu mengambil sepatu dan kaos kaki bekas kemarin. Ibu pun mengangguk, lalu mendorong kursi roda Bapak kedalam rumah. 

"Jun!" panggilku pada Arjuna yang hampir selesai memasang sepatu.

"Apa, Mas?" jawabnya santai. 

"Kamu sudah punya pacar?" tanyaku, seketika dia tertawa dan berkata. "Uda dong, Mas! hari gini gak punya pacar? kelaut aja!"

"Emang siapa pacar kamu?" tanyaku penasaran. 

"Adalah, cewek cantik, baik, lugu, ah--pokoknya sempurna deh! Ntar juga kalau uda waktunya, Mas Anton tau siapa orangnya!" jawab Arjuna sambil menghempaskan bokongnya di atas jok motor miliknya. 

"Aku berangkat duluan, Kak! Assalamu'alaikum." ucapnya lalu memacu sepeda motornya dengan kencang. 

Biarlah sekarang masih menjadi tanda tanya, tapi aku tak akan tinggal diam, aku akan segera mencari tahu kebenarannya. Aku pun segera mengeluarkan mobil dari garasi, dan memarkirnya di dekat pedagang sayur keliling untuk membayar sayuran yang Ibu beli. 

"Eh, Nak Anton! mau berangkat kerja, ya?" tanya Bu Juriah yang sedang ngerumpi bersama Ibu-Ibu lainnya di gerobak pedagang sayur. 

"Iya, Bu!" jawabku tersenyum ramah. 

"Maaf, Pak! saya mau bayar belanjaan Ibu saya! berapa semuanya, Pak?" tanyaku pada pedagang sayur yang sedang sibuk otak-atik HP android nya. 

"50 ribu, Mas!" jawabnya sambil menatap kearah ku. Aku pun segera merogoh saku celana, mencari uang 50 ribu. Saat aku sedang sibuk mencari uang di saku celana, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari seseorang yang datang menghampiri gerobak pedagang sayur. 

"Aduh, yang mau jadi calon Bapak! pagi-pagi uda nongkrong di dagang sayur!" suara Bu Yuli, sahabat karib Ibu yang selalu kepo dengan urusan rumah tangga ku. 

Dulu, dialah yang sering mencaci dan mengejek Desi karena tak kunjung hamil. 

"Beruntung kamu dulu segera menceraikan Desi, kalau engga, sampai kapanpun kamu tidak akan punya anak, haha. Entah bagaimana nasibnya wanita mandul itu sekarang!" celotehan Bu Yuli membuatku ingin segera pergi dari sini. Tetap saja dia mencemooh Desi, walaupun Desi sudah tidak disini, seandainya dia tau bahwa saat ini Desi tengah hamil, pasti dia akan jantungan. Dia juga akan malu dan tidak mungkin berani mengejek Desi lagi. 

Setelah aku mendapatkan uang 50 ribu, aku segera membayarnya ke pedagang sayur, dan tanpa permisi aku pun pergi dari kerumunan Ibu-Ibu komplek yang hobinya bergosip itu. 

Sepanjang jalan, pikiranku terus saja terbayang tanda merah di leher Arjuna, jika benar mereka berselingkuh, berarti perselingkuhan mereka sudah lama. 

Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya aku pun tiba di kantor.

"Hai, bro! ko tumben kusut banget tuh muka?" tanya Bayu, teman sekantor ku. 

"Biasalah, bro! habis begadang!"

"Mentang-mentang bakal punya bayi, rajin banget latihan begadang tiap malam, oh iya, bro! Ntar siang lo datang, kan?"

"Ehm, gak tau bro, liat ntar aja"

"Rugi kalau gak datang bro! kabarnya big bos bakal datang bareng keluarganya, terus dia bakal ngadain kuis gitu pas acara, hadiahnya lumayan bro! tiket liburan ke Bali sekeluarga, enak gak tuh!"

"Big bos datang?" tanyaku heran, pasalnya sudah 6 tahun kerja disini, aku sama sekali tidak pernah tau, siapa pemilik perusahaan ini. 

"Kring kring!"

Panggilan masuk dari Ibu, tumben sekali Ibu menelpon jam segini. Aku pun segera mengangkatnya. 

"Halo, Bu! ada apa?"

"Cepat pulang, Ton! Nisa mengeluh perutnya sakit!" ucap Ibu panik. 

"Sakit bagaimana, Bu? maksud Ibu perutnya kram?" jawabku santai, Nisa kan sedang hamil, jadi wajar saja jika perutnya kram pagi-pagi. 

"Aduh! Kamu gak usah banyak tanya dulu, pokoknya cepet pulang, Ibu gak mau sampai terjadi apa-apa dengan Nisa dan calon cucu Ibu!" ujar Ibu dengan penuh tekanan, ia pun langsung mematikan panggilan tanpa pamit. 

Sepertinya aku memang harus segera pulang, dengan terpaksa aku harus izin tidak kerja hari ini. 

Setelah mendapat izin, aku pun langsung pulang, memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Aku tidak mau Ibu dan Bapak ngamuk-ngamuk karena aku telat lagi. 

Kurang dari 25 menit, aku pun sampai di rumah, belum sempat aku mengucap salam, Ibu sudah berteriak memanggil ku lalu menyeret tanganku masuk ke kamarnya. Aneh, kenapa Ibu menyeret ku ke kamarnya, bukan ke kamarku. 

"Ayo Anton, cepet!" teriak Ibu sambil terus menyeret tanganku. 

"Ko kesini, Bu! katanya Nisa yang sakit?" 

"Uda jangan banyak ngomong! cepet masuk!"

Sesampainya di kamar Ibu, kulihat Nisa sedang merintih kesakitan diatas ranjang Ibu, dan Bapak duduk di kursi roda tepat di samping ranjang. 

Ada apa sebenarnya, kenapa Nisa bisa terbaring di ranjang Ibu? bukannya dia pernah bilang, kalau masuk ke kamar mertua itu sangat tabu baginya. 

"Mas … tolongin aku, Mas! perutku sakit banget!" ucapnya sambil merintih kesakitan, wajahnya tampak begitu pucat. 

"Kamu kenapa, Nis? kenapa bisa seperti ini?" 

"Sudah jangan banyak tanya! cepat kamu bawa istrimu ke rumah sakit! jangan sampai terjadi apa-apa dengan dia dan anaknya!" seru Bapak padaku, raut wajahnya terlihat begitu tegang. Berkali-kali kulihat dia mengusap keringat yang meluncur dari keningnya. 

Tidak hanya itu, akupun melihat sedikit keanehan dari Bapak, tak biasanya dia mengenakan celana kolor di pagi hari, bukannya tadi saat aku berangkat dia mengenakan sarung, kenapa sekarang hanya pakai kolor? 

"Ton! Ibu ikut ke rumah sakit ya, Ibu khawatir banget sama Nisa,"

"Tapi,Bu. Kalau Ibu ikut, Bapak sendirian dirumah!"

"Enggak apa-apa! Ibu ikut saja, biar Bapak istirahat dirumah." sahut Bapak, membuatku seketika mengangguk mengiyakan. Kami bertiga pun segera berangkat kerumah sakit. 

Sepanjang perjalanan Nisa terus saja menangis kesakitan, walaupun Ibu sudah berusaha menenangkannya, tapi Nisa tetap menangis. 

"Ko bisa seperti ini, Bu! sebenarnya apa yang terjadi dengan Nisa?" tanyaku pada Ibu yang sedang mengelus Nisa. 

"Ibu juga tidak tau, Ton. Tadi Ibu sedang pergi kerumah Bu RT. dirumah cuma ada Nisa dan Bapak. Pas Ibu datang Nisa uda merintih kesakitan di kamar Ibu" Penjelasan Ibu benar-benar membuatku terkejut. Untuk apa Nisa masuk ke kamar Ibu disaat Ibu tidak ada dirumah? 

Komen (18)
goodnovel comment avatar
Cahaya Hidup
terus gimana bisa lanjut kalo g pake koint
goodnovel comment avatar
Angelia Maximilian
bingung sypa donk
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Wah2 ternyata polosnya itu topeng aslinya lacur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status