Share

Sorry If Im Late to Love You
Sorry If Im Late to Love You
Penulis: kikie azure

CHAPTER 1

"Lo pulang sendiri bisa kan?"

Mendengar pertanyaan dari calon tunangannya, Joana menatap tajam sambil tersenyum masam. "Kamu tega ninggalin aku disini? Em?" tanyanya agak manja.

Cowok bernama Stiven dengan paras badboy itu mengangguk mantap. "Lo bisa kan naik taksi? Perlu gue panggilin taksi?" tanyanya lagi dengan sangat jutek hingga hampIr membuat Joana membatin kesal.

"Ya bisa lah, aku bisa naik taksi," jawab Joana cepat dilanda seribu gengsi.

"Oke, bye." Stiven memasuki mobil lalu mengemudikan mobilnya ditengah gelapnya malam. Dipandangnya dari kaca spion, cewek berambut panjang yang kini sedang menggunakan dress berwarna hitam masih berdiri memandang kepergiannya. Stiven tak peduli, ia terus melajukan mobilnya.

Joana Alexa Claudiana atau biasa dipanggil Joana menyerah, seberapa lamapun ia berdiri faktanya mobil itu tak kembali kearahnya. Ia melangkahkan kakinya, pergi menghampiri taksi yang berjejer di pinggiran jalan pusat kota.

Tatapannya kosong, pikirannya terisi oleh bermacam-macam lika-liku kehidupan. Ia melamun, namun lamunannya tersisihkan begitu saja saat handphone-nya berdering. Diangkatnya sebuah panggilan dari Gea, sahabatnya sejak duduk di semester satu jenjang S1, sampai kini ia berada di semester tengah jenjang S2.

"Lo dimana, Jo? Sini ke kafe gue, mumpung malam minggu!" ajak Gea yang suaranya tetap terdengar cempreng di speaker handphone.

"Iya.. tunggu. Otw..."

Joana mematikan handphone-nya, ia segera mengubah arah tujuan dan memberitahukannya pada sopir taksi. Tak seberapa lama pak sopir mengemudi, Joana sudah sampai disebuah kafe tingkat bernuansa GardenStay Gardenia, itu namanya. Nama Gardenia sendiri langsung diambil oleh nama sang pemilik kafe yang bernama Gea Gardenia, dengan konsep kafe rustic yang rimbun dan sejuk karena banyaknya pepohonan yang mengelilingi area indoor. Selain terdapat taman, ada juga kolam dengan ketinggian air semata kaki. Uniknya, kolam itu di tumpuki oleh meja dan kursi. Jadi para pembeli yang ingin duduk di area kolam sambil bermain air, bisa melepas sandal sebelum menuju area itu. Banyak para pengunjung yang berdatangan karena uniknya kafe ini, tak jarang kafe milik Gea dijadikan sebagi lokasi untuk hunting foto model, bahkan bisa di sewa untuk sesi prewedding.

"JO!" panggil Gea.

Joana melihat kearah kiri, tepat di sebelah bar dan kasir, Gea duduk disitu bersama Burhan yang tak lain adalah pacar Gea. Burhan juga adalah salah satu teman baik Joana, singkat cerita.. Gea dan Burhan berpacaran karena cinta lokasi.

Joana duduk disalah satu kursi, tepat didepan Gea.

"Udah sembuh beneran lo?" tanya Gea sambil menyodorkan cemilan dimeja.

Joana mengangguk lemas. Matanya memandang layu kearah Gea.

"Lo kenapa? Masih nggak enak badan?" sahut Burhan.

Joana menggelengkan kepalanya sambil memakan kentang goreng yang sudah tersedia diatas meja.

Gea meletakkan tangannya pada dahi Joana. "Nggak panas kok."

"Coba gue..." Burhan hendak meletakkan tangannya juga pada dahi Joana, namun dengan cepat Gea menepis tangan pacarnya itu.

Burhan hanya tertawa kecil melihat wajah cemburu Gea.

"Gea.. Burhan...," buka Joana setelah bermenit-menit membisu.

"Hm??"

"Tadi gue habis makan malam sama keluarga Stiven."

"Terus?"

"Pas pulang masa gue disuruh naik taksi sama Stiven, tega kan," ceritanya dengan sedih.

"Nah, orang tua Stiven kemana? Kok nggak nganter?" tanya Burhan menggebu.

"Udah balik duluan, gue kan berangkat bareng Stiven. Kan harusnya pulang juga sama Stiven, eh dia nggak mau anter gue pulang."

"Emang Stiven mau kemana? Tega banget ninggalin temen gue yang paling cantik tapi oon ini sendirian malam-malam," omel Gea.

Joana hanya mengangkat bahu. "Kencan kali ama Chika..."

Gea dan Burhan hanya saling pandang.

Keheningan terjadi beberapa saat sampai pada akhirnya Gea dan Burhan malah asik pacaran sambil makan cemilan tanpa mempedulikan ada Joana didepan mereka yang sedang suntuk.

Joana mendongakkan kepalanya. "Gue mau move on, gue mau lupain Stiven."

Gea dan Burhan menghembuskan nafas bersamaan, tak merespon Joana, mereka berdua memakan cemilan lagi.

"GEA, BURHAN! GUE SERIUS!"

"Jo, lo udah sering bilang gitu ke gue sejak kita baru kenal empat tahun lalu dan sampai sekarang lo masih belum move on kan? Malah lo mau tunangan sama dia," sahut Gea.

"Iya Jo! Jadi kita udah bosen denger kalimat elo yang hampir tiap hari setelah kencan sama Stiven lo curhatin ke kita," timpal Burhan.

Joana mendengus kesal karena kalimat yang dilontarkan oleh Gea dan Burhan benar adanya. Hampir setiap hari tujuannya sama, namun faktanya sampai sekarang ia belum bisa move on.

Joana meletakkan kepalanya dimeja. "Terus gue harus gimana?" tanyanya putus asa.

"Yaudah lo kan suka dia, harusnya lo seneng kan dijodohin sama dia. Ortu kalian juga udah saling kenal lama sahabatan, tetanggan lagi," jawab Burhan.

"Tapi percuma kalau gue suka dia seorang diri, gue emang suka dia tapi gue nggak mau punya rumah tangga yang nggak saling mencintai."

"Lo sih!" gertak Gea kesal, membuat Joana mengangkat kepalanya saking kagetnya. "Jo, lo sadar dong! Lo tuh cantik, kaya raya, walau lo agak bego dan lemot banyak cowok yang mau jadi cowok lo! Dari ketua BEM, dosen muda, om-om, juragan pecel juga pernah deketin elo kan? Tapi lo tolak semua gara-gara kebucinan lo ke Stiven!" omel Gea nyaring, saking nyaringnya para pelanggan yang kini nonkrong di tempatnya melihat semua kearahnya.

"Kok gue diomelin sih!" balas Joana tak mau kalah.

"Ya elo! Bego sih lo! Satu-satunya cara biar lo bisa move on dari Stiven lo harus buka hati lo buat cowok lain!"

"Ya gue nggak bisa pacaran sama orang lain kalau gue nggak suka, Gea!"

"Makanya lo harus coba! Lo ngeyel sih nggak mau coba!"

"Ya karena gue setia nggak kaya lo gonta-ganti cowok!"

"Eh cowok gue dulu emang banyak, sekarang udah setia!" balas Gea tak terima.

"Ya syukurlah kalau lo udah insyaf!"

"Ihhh makanya lo pacaran, umur udah mau dua lima masih jomblo nggak pernah pacaran nggak pernah ciuman!" ejek Gea lagi.

"Ya karena gue mau ciuman sama Stiven aja! Kalau masalah ciuman, siapa aja cowok mana aja pasti mau gue cium," jelas Joana dengan PD-nya.

Burhan yang melihat perdebatan kedua sahabat itu hanya menggelengkan kepalanya, Gea dan Joana memang sering rebut sendiri tanpa kejelasan.

"Kok lo nyebelin sih, Jo!"

"Lo juga nyebelin!"

"EHEM!" deham Burhan yang menghentikan perdebatan kedua cewek didepannya.

Tak lama kemudian, datang sebuah barista mengantarkan sebuah botol Soju dan dua gelas lemon tea.

Wangi.

Itu kesan pertama yang tertanam di otak Joana. Spontan Joana menoleh kearah karyawan Gea itu. Mata Joana terbuka lebar.

Tampan.

Itu kesan kedua Joana.

Barista bertubuh tinggi dengan wajah sebelas dua belas mirip Cha Eun Woo itu tersenyum kemudian pergi setelah selesai meletakkan semua pesanan dari si bos.

"Ge.. Gea!" Joana menepuk-nepuk pundak Gea,

"Apa sih ih!" protes Gea masih agak kesal karena perdebatannya barusan.

Mata Joana masih tak bisa lepas dari Cha Eun Woo KW. "Itu karyawan lo yang baru?"

"Iya! Ganteng kan?" goda Gea. "Kenapa? Mau lo sama dia?"

Joana mengangguk tak berketip. "Namanya?"

"Kelvin," jawab Gea sambil meminum lemon tea-nya.

"Gue mau move on, gue bisa move on tapi gue harus jadian sama Kelvin!" gumam Joana membuat Burhan tertawa terbahak-bahak dengan nada mengejek.

"Huakakakakak...hahahahah..."

Spontan Joana langsung memindahkan tatapannya pada Burhan. Tak lama kemudian Gea ikut tertawa terbahak-bahak, membuat Joana semakin bingung dengan apa yang mereka berdua tertawakan.

"Jangan mimpi deh lo, lo nggak bakal bisa pacaran sama dia!" ucap Burhan.

"Kenapa? Kalian bilang sendiri gue idaman setiap cowok dimana bumi dipijak. Muka gue oke, body goal walau nggak terlalu tinggi, baik, ramah lagi.. kurang apa gue?" tanya Joana saat kenarsisannya keluar begitu saja lewat bibirnya yang tipis.

"Dia punya penyakit yang nggak bisa disembuhkan," jawab Gea masih tak bisa menahan tawa gelinya.

"Hah? Apaan? HIV? AIDS?"

Gea menggeleng sedangkan Burhan masih cekikikan.

"Terus apa?"

"Dia sukanya sama cowok, nggak doyan cewek," bisik Gea.

Spontan bola mata Joana membelalak seakan ingin keluar.

"Hah?"

Gea mengangguk.

"Sumpah? Dia homo?" tanya Joana kencang, membuat Kelvin melirik kearahnya.

Burhan ikut mengangguk.

Joana memandang Kelvin lagi yang sibuk meracik minuman. "Kenapa disaat gue mau move on ada aja halangannya."

"Yaudah lo sabar ya Jo, emang kayaknya lo ditakdirkan berumah tangga sama Stiven," ejek Burhan.

Mendengar ejekan Burhan, Joana langsung mengambil alih botol Soju yang baru Burhan minum seteguk. Joana langsung meminum sebotol itu tanpa sisa. Habis bersih bagaikan botol kering.

Gea dan Burhan yang terkejut akan kecepatan tangan Joana untuk mencuri botol Soju didepan mereka hanya bisa melongo tak berkutik.

"JO! Lo kan nggak bisa minum!" omel Gea.

Joana meletakkan botol Soju dimeja. Setelah ia minum, perasaanya menjadi sedikit lega.

"Jo, bisa-bisa abang lo ngamuk ke gue kalau lo mabuk kaya waktu itu!" oceh Gea sedangkan Joana hanya menatap lurus diam. "Pokoknya gue nggak mau anter lo pulang!"

Joana menoleh ke sebelah, dilihatnya Gea yang kini sedang mengoceh tanpa henti karena ia sudah merebut botol Soju milik Burhan dengan kadar alkohol 20 persen. Bagi sebagian orang, kadar alkohol 20 persen tidaklah tinggi, tetapi bagi seorang Joana yang tak bisa minum-minuman beralkohol, kadar itu sudah bisa membuatnya melayang-layang bagaikan burung berterbangan diudara.

Beberapa puluh menit berlalu, semakin malam kafe milik Gea semakin ramai. Karena bukan hanya menyajikan kopi dan snack ringan, kafe Gea juga sudah memiliki sertifikat halal, layak sehat, minuman keras, dan lain-lain. Selain itu karyawan Gea hampir semua berwajah tampan maupun cantik. Pelayanan ramah, tempat cozy, harga standar, ditengah kota. Hampir setiap hari kafe Gea mendapat pengunjung dengan estimasi diatas 70 persen.

"Lo anterin dia!" suruh Gea pada Burhan.

Burhan menggelengkan kepalanya. "Kita berdua aja gimana?"

Gea menggelengkan kepala juga. "Lo tau sendiri kan abangnya si Joana, keliatannya cuek gitu kalau udah marah ngeri."

Burhan mengangguk sambil melihat tingkah laku Joana yang sudah mulai oleng. Joana menggeletakan kepalanya diatas meja dengan mata tertutup namun bibirnya terus mengoceh, menyanyi berbagai jenis lagu dari lagu dangdut, Cina, Korea, sampai India.

"Gimana kalau telpon Stiven?" saran Burhan.

Gea menggelengkan kepalanya. "Jangan, Stiven nggak kalah galak dari abangnya! Pasti kita di caci maki, lo tau kan Stiven itu cowok terjahat dimana bumi berada?"

"Kita titipin taksi aja?" tambah Burhan.

"Lo gila! Kalau dia di apa-apain sopir taksi gimana?" sewot Gea. Walau ia sering cekcok beda pendapat dengan sahabatnya itu, ia tetap sayang pada Joana layaknya seperti saudara sendiri.

Sedangkan didepan mereka Joana mulai mendongakan wajahnya, tertawa layaknya orang mabuk. Ia berdiri perlahan, menghampiri Kelvin yang berdiri dibalik bar sambil melingkarkan tangannya dilengan Kelvin. Kelvin kebingungan.

"Lo mau nggak jadi pacar gue?" tanya Joana dengan kondisi mabuknya. "Hem?"

Kelvin hanya diam seperti patung.

"Please.. please lo jadi pacar gue!" katanya sedikit berteriak, namun masih terkesan menggemaskan.

Berpikir keras.. berpikir mencari cara agar bisa memulangkan Joana tanpa harus menjadi objek kemarahan keluarga Joana karena membuat Joana tak sadarkan diri, hingga akhirnya...

"Kelvin? Bisa minta tolong?" tanya Gea.

Wajah Kelvin penuh tanya kearah Gea, sedangkan ia sebisa mungkin menahan tubuh Joana yang hampir dalam pelukannya agar tidak jatuh ke lantai karena mabuk berat.

"Anterin Joana pulang, please...," mohon Gea dengan sangat menyedihkan sehingga Kelvin mau tak mau menuruti apa kata bosnya.

Pukul 22.10...

Kelvin mengemudikan mobil milik kafe dijalanan yang cukup padat oleh kendaraan lalu lalang walau malam sudah semakin memuncak. Ia menyetir mengikuti arah GPS sesuai alamat yang diberikan oleh Gea, sesekali ia melihat ke kursi belakang. Disana ada cewek asing yang sedang tertidur pulas, namun handphone-nya terus berbunyi menandakan sedang ada panggilan berkali-kali.

Jarak kafe Gea dan rumah Joana tidaklah jauh, hanya sekitar dua puluh menit mobil yang Kelvin kendarai sudah sampai didepan sebuah rumah berhalaman luas dengan pagar agak tinggi. Belum Kelvin menekan bel rumah, seorang cowok sudah muncul lebih dahulu sambil membuka pagar.

Mereka saling bertatapan.

"Cari siapa?" tanya cowok bertubuh tak kalah tinggi dari Kelvin itu.

"Ini rumah Joana?"

Stiven menyipitkan mata elangnya. "Ada urusan apa?"

"Joana lagi mabuk di kursi belakang," jelas Kelvin.

Mendengar penjelasan Kelvin, Stiven langsung melangkahkan kakinya menuju mobil terparkir. Membuka pintu mobil, mendapati calon tunangannya itu sedang tertidur setengah sadar. Sebelum ia membawa Joana pergi bersamanya kedalam rumah, Stiven kembali menghampiri Kelvin.

"Lo siapa?" tanyanya dengan jutek, karena wajah Stiven memang wajah-wajah badboy berkebalikan sekali dengan wajah Kelvin yang tanpa tersenyum pun sudah terlihat ramah, membuat ginjal siapa saja bergetar karena terlalu tampan.

"Gue cuman antar dia disuruh sama orang yang bernama Gea, lo bawa aja dia.. gue mau balik," jawab Kelvin.

Stiven tak banyak tanya, ia langsung membantu Joana. Ia membopongnya.

Setelah Joana keluar, Kelvin memasuki mobilnya lalu meninggalkan rumah Joana.

****

Pagi di hari Minggu, dengan langkah kaki yang sedikit berjinjit ia menuruni anak tangga. Melewati area dapur dan ruang makan keluarga, melewati tempat santai keluarga lalu sampai di bagian ruang tamu yang mana tanpa ia ketahui kini orang tuanya sedang duduk berbincang dengan salah satu tetangganya, tetangga yang setiap hari membuat hidupnya jungkir balik karena perasaanya yang terus terjebak di sebuah rasa dalam hitungan belasan tahun lamanya.

"Jo, mau kemana?" tanya Sandra, Ibu-ibu berkepala empat dengan gaya rambut jadul namun berwarna kekuningan. Bisa di bilang Sandra adalah ibu-ibu gaul masa kini.

Joana hanya tersenyum malu, selain karena ia berpakaian baby doll ia juga belum mandi saat ini. "Ke.. ke..."

Mulut Joana kaku seketika karena anak dari tante Sandra yang sedang duduk bersebelahan dengan Papanya sedang memperhatikannya dengan tatapan seakan-akan akan memangsanya.

"Kemana kamu pagi-pagi belum mandi?" tambah Papanya yang bernama lengkap Jordi Alex Martinus. Seorang pengusaha berbagai macam usaha mulai dari Franchise, proyekan dan lain-lain. Hal itu yang membuat Jordi jarang di rumah.

"Anu Pa.. mau ke Indomart bentar, beli.. em..." Joana memutar-mutar matanya.

"Stiven anter lah Joana," potong Rudi, Ayah dari Stiven sekaligus suami dari Sandra.

"Eh nggak usah om, Joana sendiri aja," sahut Joana.

"Nggak papa, mumpung Stiven disini," sahut Sandra.

Tak banyak bicara, Stiven langsung mengambil jaketnya yang ia letakkan diatas meja dan berjalan kearah luar.

"Tante Om.. permisi," pamit Joana yang langsung mengikuti Stiven.

Joana berjalan agak cepat untuk mengikuti langkah panjang Stiven yang kini berjalan didepannya.

"Gue ambil kunci mobil dulu di rumah, lo tunggu aja," ujar Stiven.

"Aku mau jalan kaki aja," kata Joana menghentikan langkah Stiven saat hendak berjalan kearah rumahnya. Stiven membalikkan badannya.

Cewek berambut coklat tua itu sedang mendangakan wajah kearahnya karena tinggi badan mereka selisih lebih dari dua puluh sentimeter. Stiven mempunyai tinggi badan sekitar 184 sentimeter dan Joana hanya 162 sentimeter. Walau Joana sudah berumur dua puluh empat tahun, tak jarang Joana masih di kira sebagai anak SMA karena selain tubuhnya yang bisa di bilang mini, kelakuannya yang manja, wajahnya juga imut dan menggemaskan.

"Lo..."

Tak mau mendengar suara Stiven karena ia masih kesal karena ditinggalkan kemarin malam, ia lebih memilih berjalan melewati calon tunangannya itu menuju Indomart terdekat yang berjarak kurang lebih sepuluh menit jika berjalan kaki. Mau tak mau, Stiven mengikuti Joana dengan perasaan tak kalah kesal.

"Lo nggak mual?" tanya Stiven yang hendak mengimbangi langkah kakinya agar bisa berjalan disebelah Joana.

"Nggak, ngapain mual," jawab Joana yang berjalan dengan tangan lurus di sebelah badan.

"Lo kan mabuk kemarin, pea!" jelas Stiven, membuat kaki Joana berhenti melangkah.

Joana langsung membalikkan badannya pada Stiven. "Aku mabuk? Hah?" tanyanya.

Stiven menghembuskan nafas kesalnya.

"Pantes, kok aku agak mual nggak enak badan, badan aku sakit semua. Aku kira mau datang bulan makanya aku mau beli pembalut, ternyata kemarin aku mabuk," ocehnya sendiri.

"Siapa dia?" tanya Stiven kemudian.

"Siapa? Siapanya yang siapa?"

"Cowok yang anter lo kemarin."

Joana semakin bingung karena ia hanya ingat bagian ia sedang nongkrong di kafe Gea, selebihnya itu ia tidak ingat sama sekali. "Siapa sih?"

"Ah tau lah, terserah lo aja lo mau berhubungan sama siapa. Gue cuman ingetin, rumah kita hadap-hadapan.. jangan sampai lo keliatan ortu gue kalau lo lagi jalan sama cowok. Nanti dampaknya ke elo sendiri," terang Stiven melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan Joana berdiri dengan kebingungan.

Pagi di hari Minggu, matahari mulai menampakkan kuasanya untuk menyinari dunia. Namun sengatannya di pagi hari tidak membuat para manusia merasa kepanasan layaknya sengatannya saat sudah menunjukkan pukul sepuluh keatas.

Selagi menunggu Joana berbelanja, Stiven hanya duduk diluar disalah satu kursi yang ada di luaran toko sambil mengecek handphone-nya yang penuh dengan pesan dari salah satu orang. Orang yang setiap hari mewarna hari-harinya.

Ia melirik dari belakang tanpa ada yang menyadari kehadirannya. Seketika kecemburuan menyelimuti hatinya, wajahnya berlipat bagaikan lipatan pakaian.

"Hufth," gumamnya membangunkan keseriusan Stiven pada gadgetnya.

Stiven berdiri dari kursi, ia mulai melangkah lagi tanpa peduli. Melangkah untuk kembali.

"Jo, besok gue nggak bisa jemput lo pulang kuliah. Gue ada urusan," kata Stiven yang kini berjalan lebih depan dibanding Joana.

"Aku nggak pernah minta kamu buat anter jemput! Kamu fokus aja ama KOAS tu di Rumah Sakit," jawab Joana jutek.

"Lo emang nggak minta, tapi lo tau sendiri kan ortu kita gimana? Apalagi ortu gue ke elo, sayangnya ngalah-ngalahin ke gue!" ungkap Stiven tak mau kalah.

"Stiven!" panggil Joana sambil menghentikan langkahnya.

Stiven ikut berhenti. "Apa?"

Mereka saling bertatapan.

"Lo.. emmm.. kamu masih berhubungan sama Chika?" tanyanya sedikit takut.

Stiven terdiam sejenak, raut wajah Stiven jadi berubah saat mendengar pertanyaan dari Joana. "Iya," jawabnya dengan tegas. "Ada masalah?"

"Kamu kan tau kita mau tunangan, harusnya kamu..."

"Kita cuman mau tunangan, belum tentu kita nikah kan?" potong Stiven yang semakin membuat Joana terluka. Melihat ekspresi sedih di wajah Joana, Stiven memilih untuk meninggalkannya terlebih dahulu. Lagi-lagi Stiven membiarkan calon tunangannya itu berdiri sendiri melihat kepergiannya.

Joana berdiri kaku, bola matanya menyipit. Ia hendak menangis tetapi air matanya sama sekali tak bisa jatuh karena ia sudah sangat biasa diperlakukan seperti ini oleh orang yang sangat berarti di hidupnya.

Daun-daun berguguran, angin bertiup kesana kemari membuat pepohonan bergoyang mengikuti arahnya. Teriknya matahari tertutup begitu saja dengan awan gelap yang entah muncul dari mana asalnya. Para pejalan kaki menyiapkan payung, para pengendara motor menyiapkan jas hujan untuk antisipasi hujan yang mungkin saja akan datang tiba-tiba. Seakurat apapun ramalan cuaca mengatakan hari ini akan panas, siapa sangka kuasa Tuhan lebih berkuasa untuk membuat ramalan dari para manusia itu berubah mendadak. Layaknya sebuah perasaan, sebahagia apapun perasaan saat ini siapa sangka dengan sebuah kalimat bisa membuat kebahagian itu runtuh tanpa diduga sebelumnya.

"Oke fix, gue harus move on dari Stiven! Gue akan umumin habis ini, gue bakal batalin pertunangan ini sebelum semuanya terlambat," kata Joana pada dirinya sendiri dengan matanya yang masih tertuju pada sosok Stiven didepan sana.

Joana melangkahkan kakinya dengan cepat, berusaha untuk lebih dahulu sampai ke rumahnya dibandingkan Stiven dengan tekat kuatnya untuk membatalkan pertunangannya. Saking bulatnya tekadnya, tanpa ia sadari ia berlari melewati Stiven saat sudah hampir sampai di rumahnya.

"Jo, ngapain kamu ngos-ngosan gitu?" tanya Joseph, kakak kandungnya yang baru pulang dari tempat kerja karena kebagian shift malam.

Joana berdiri ngos-ngosan di ambang pintu ruang tamu. Dilihatnya formasi duduk dari samping kanan ada Papanya, kakaknya, Om Rudi dan tante Sandra. Seketika itu juga Stiven datang dibelakangnya.

"Papa, kakak, om Rudi, tante Sandra.. aku..," katanya membuat semua orang kebingungan melihatnya.

Dibelakang Joana, Stiven bersandar pintu dengan tangan menyilang di perut sambil memperhatikan.

"Aku nggak mau tunangan sama Stiven," ucap Joana begitu yakin dan percaya diri.

Sedetik, dua detik, tiga detik.. semua menghening. Di detik selanjutnya, mereka semua malah tertawa terbahak-bahak. Hanya Stiven yang berwajah datar.

"Hahahaha..."

"Jo.. Jo.. kamu habis berantem lagi sama anak tante yang kaya patung ini?" goda tante Sandra. "Stiven emang cuek, kaku dan ngga bisa romantis. Tapi sebenernya dia itu perhatian dan penyayang, Joana. Tante yakin nanti kalau kamu serumah sama dia, kamu akan sadar kalau dia itu nggak sekaku ini."

Joana salah tingkah, ia tak menyangka keputusan bulatnya malah di tertawakan.

"Joana serius tante, Joana nggak mau di jodohin sama anak tante," katanya putus asa. "Stiven itu jahat, dia nggak cocok sama aku. Dia itu bukan manusia, tapi patung, alien.. itu lebih cocok jadi julukan buat dia. Dia emang cakep, tapi.. dia jahat, cuek, tega, nggak punya hati.. aku nggak mau nikah sama orang kaya dia!" cerita Joana sambil merengek.

Semua orang terdiam mendengar rengekannya.

"Stiven, kamu apain lagi dia?" tanya Om Rudi dengan wajah galak pada anaknya.

Stiven hanya diam sambil meneguk air minumnya.

"Pokoknya aku nggak mau tunangan sama kamu!!" Joana meninggalkan ruang tamu, dengan penuh kekesalan ia menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya di lantai dua.

Saat semua orang menghening, Stiven lebih memilih mengikuti langkah Joana. Ia ikut naik ke lantai dua dan membuka pintu kamar yang tak terkunci itu. Dilihatnya Joana kini tengah terduduk di atas kasur empuk sambil memeluk sebuah guling dengan wajah kesal, menatap kedatangannya.

Stiven menutup pintu kamar Joana, ia duduk disebelahnya.

"Mau lo apa sih?" tanya Stiven mencoba setenang mungkin.

"Mau pergi dari elo," jawabnya tak kalah tenang.

"Kenapa?"

"Lo bilang sendiri, tunangan belum tentu menikah. Buat apa gue tunangan sama lo kalau ujung-ujungnya nggak nikah?"

Stiven menghela nafas. "Oke. Its up to you."

Stiven keluar dari kamar, meninggalkannya.

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status