Share

CHAPTER 2

"Kamu udah gila minta batalin pertunangan kamu sama Stiven?"

Ia menundukkan kepalanya, tak bisa melihat raut kemarahan pada seorang single parents yang sudah membesarkannya hingga ia bisa hidup nyaman seperti ini.

"Kamu tau kan Rudi itu bukan sekedar sahabat Papa, dia juga rekan bisnis Papa! Kita sudah sepakat untuk menjodohkan kalian dan membangun perusahaan bersama, kamu sadar nggak karena keegoisan kamu tadi bisa buat bisnis kita hancur?"

"Papa.. udahlah," kata Joseph yang kini duduk disebelah adiknya sambil mencoba menengahi pertikaian. "Jangan marah-marah terus."

"Pokoknya papa nggak mau tau, kamu minta maaf ke Stiven dan orang tuanya setelah ini!" tegas Jordi, meninggalkan kedua anaknya yang terduduk di sofa ruang TV.

"Jo?" panggil Joseph.

Joana hendak menangis, namun ia tetap tidak bisa menangis sesedih apapun perasaan hatinya. Bahkan ia sendiri tidak tau kenapa ia tak bisa menangis normal seperti yang orang lain lakukan ketika sedang terpuruk, sedih, maupun marah.

Joseph menepuk-nepuk bahu adiknya itu. "Nanti kakak coba bilang ke Papa, kamu nggak usah mikir berat-berat. Oke?"

"Bilang apa?" tanyanya.

"Ya bilang kalau kamu cuman kesal sama Stiven makanya kamu bertindak gegabah."

Joana menoleh kearah Joseph. "Aku serius kak, aku nggak mau dijodohin sama Stiven."

Joseph menghembuskan nafasnya beberapa kali. "Kenapa? Bukannya dia cinta pertama kamu sejak dulu sampai sekarang?"

Joana mengangguk. "Aku emang suka dia, tapi aku cuman suka dia seorang diri. Stiven nggak pernah suka sama aku, aku nggak mau maksa orang yang nggak suka sama aku untuk jadian sama aku."

Joseph tersenyum. "Terus apa lagi? Stiven nyakitin kamu? Apa perlu kakak hajar dia sampai minta ampun biar adik kakak yang satu ini nggak sedih lagi?"

Joana menggelengkan kepalanya. "Pokoknya aku mau lupain dia..."

"Kamu yakin?"

Joana mengangguk.

"Mau kakak jodohin?"

"Nggak," jawab Joana cepat membuat Joseph tertawa.

"Kenapa? Temen kakak yang dokter-dokter muda itu lebih cakep dari Stiven," goda Joseph.

"Ih kakak! Kakak tau nggak? Yang nembak Joana itu juga banyak yang lebih tampan dari Stiven, tapi percuma.. kan aku nggak suka sama mereka."

"Ya karena kamu belum coba untuk suka, Jo!"

"Pokoknya nggak mau!"

"Hufth... okelah, yang penting jangan sedih gini lagi. Kalau sampai kamu sedih gini, awas aja itu Stiven udah nyakitin kamu."

"Apaan sih kak! Pergi sana jangan ikut cmapur!" usir Joana hingga Joseph pergi.

****

"Gea ada?" tanya Joana dengan raut wajah menyedihkannya pada barista tampan bernama Kelvin itu di sore hari. "Aku telepon dia nggak diangkat, jadi aku langsung cari kesini."

Kelvin meletakkan gelas yang barusan ada ditangannya pada meja bar. "Kayaknya dari tadi keluar, nggak disini."

"Oh.. yaudah." Masih dengan perasaan layu, ia meninggalkan Kelvin lalu duduk di kursi yang ia duduki semalam. Sendiri, melamun, memandang orang-orang yang sedang berkumpul bersama dengan penuh kebahagian.

Iri.

Joana iri melihat beberapa pasangan yang sedang kencan dan tertawa bersama, hal yang belum pernah ia rasakan sampai saat ini.

Tiba-tiba segelas Affogato mendarat di meja. Kelvin duduk di depan Joana.

Joana melihatnya.

"Upgrade your mood with Affogato," terang Kelvin.

Siapa yang tak tahu AffogatoAffogato adalah sajian es krim yang disiram dengan Espresso. Affogato salah satu minuman kopi khas dari Italia.

Joana tersenyum, ia menyendok sesendok es krim vanilla yang sudah disiram dengan Espresso itu lalu ia layangkan kedalam indra perasanya. "Yummy," ucapnya riang.

"Kalau lagi bad mood, mending duduk di area kolam outdoor sambil main air," saran Kelvin sambil menunjuk bagian outdoor kafe yang tak seberapa penuh karena sedang mendung. Mendung dari pagi yang tak kunjung hujan.

"Hufth..."

Mata Kelvin menyipit. "Kenapa?"

"Kamu manis, cakep, baik.. sayangnya kamu nggak suka cewek," kata Joana blak-blakkan.

Senyum Kelvin semakin melebar. "Kenapa? Nggak mau temenan sama orang homo?"

"Bukan gitu, cuman menyayangkan aja."

"Oh..."

"Oh iya, emang kemarin aku pulang sama siapa kok aku dibilang dianter cowok?" tanya Joana yang tak bisa berhenti menyantap lezatnya Affogato buatan Kelvin.

"Sama aku," jawab Kelvin, membuat Joana tersedak.

"Uhuk-uhuk..."

Kelvin bergegas mengambilkan secangkir air putih agar bisa diminum Joana.

"Kamu?"

Kelvin mengangguk.

"Aku disuruh anter kamu."

"Jadi kamu tau rumah aku?"

Kelvin mengangguk lagi.

"Aku mabuk?"

"Hum..."

"Aku nggak ngapa-ngapain kan?"

Kelvin terdiam sejenak. Tak perlu ia ingat-ingat, kenangan kemarin malam sangat melekat dibenaknya.

Back to last night...

Ia menyetir mengikuti arah GPS, sesekali ia melihat ke kursi belakang. Disana ada cewek asing yang sedang tertidur pulas, namun handphone-nya terus berbunyi menandakan sedang ada panggilan berkali-kali. Pada dering panggilan terakhir, tubuh Joana terangkat. Ia duduk didudukan kursi dengan wajah menggemaskan dan mata sedikit terbuka.

"Stiven! Cowok sialan! Siapa elo bisa ninggalin gue sendirian disitu! Kenapa lo ninggalin gue terus! Lo pikir gue nggak bisa move on dari lo? Gue bisa!! Liat aja gue bisa ninggalin lo kaya yang lo lakuin ke gue selama ini!" omel Joana melirik ke pengemudi. "Lo! Lo siapa? Lo mata-mata? Lo temen Stiven?"

Mendengar pertanyaan dari Joana lantas Kelvin melihatnya dari spion tengah. Tampak Joana hendak menyerangnya disaat ia sedang mengemudi. Benar adanya, Joana menggigit lengan kiri Kelvin, menjambak rambut Kelvin, mengomel ini-itu sampai akhirnya ia tertidur lagi dikursi belakang.

"Sumpah gue ngelakuin itu?" tanya Joana yang terkejut akan cerita Kelvin. "Ya ampun, maaf.. sorry banget!" katanya merasa bersalah.

"Iya nggak papa, santai," ucap Kelvin.

Joana tersenyum.

"Kelvin?" panggil seseorang yang datang dari arah pintu masuk, meneduhkan candaan mereka saat menoleh kearah sumber suara.

Betapa terkejutnya Joana saat dua orang yang juga berwajah tampan masuk ke dalam kafe Gea sore ini. Yang satu berwajah flower boy, yang satunya lagi macho berotot besar. Namun keduanya sama-sama tampan.

"Hei," sapa Kelvin pada dua cowok itu sambil menyuruh mereka duduk di dudukan kosong.

Kelvin meninggalkan Joana, ia terlihat menyambut kedatangan dua temannya. Entah kenapa melihat kedekatan Kelvin dengan dua teman cowoknya membuat Joana bergidik, bulu kuduknya berdiri. Sambil menikmati es krim yang mulai mencair, Joana masih memperhatikan pergaulan Kelvin. Terlihat Kelvin menepuk-nepuk bahu si flower boy sambil sedikit merangkul, si cowok macho tertawa terbahak-bahak dengan perbicangan yang tak Joana mengerti karena terdengar samar.

"Mereka club gay apa ya," gumam Joana.

"Iya.. itu sekutunya Kelvin," bisik Gea, yang mengejutkan Joana akan kehadirannya.

"Gea! Lo darimana aja sih gue telpon nggak angkat!" protes Joana.

"Sorry, lo tau kan gue lagi quality time sama cowok gue!" jelas Gea dengan dandanan full cover di wajahnya. "Kenapa emang? Ada masalah lagi?"

Joana menggelengkan kepalanya, sebenarnya ia mencari Gea untuk curhat. Hanya saja melihat kegembiraan Gea setelah berkencan dengan Burhan membuatnya mengurungkan niat curhat itu.

"Pacar Kelvin yang mana?" tanya Joana, memperhatikan gerumbulan Kelvin lagi.

"Entahlah.. kayaknya cinta segitiga," jawab Gea yang akhirnya ikut mengamati. "Yang Macho namanya Andre, yang cowok kaya cewek namanya Welly. Mereka sering kesini. Gue amatin juga, kayaknya Welly suka sama Kelvin tapi Andre suka sama Welly."

"Wah gawat dong kalau gitu," kata Joana lagi dengan suara berbisik.

"Udah deh nggak usah urusin hidup orang, urus aja hidup lo," sahut Burhan yang barusan datang dari toilet dan ikut duduk lagi bersama Gea dan Joana. "Tadi gue liat tuh calon imam lo lagi jalan bareng Chika di mall."

"BABY!" sentak Gea sambil menutup mulut Burhan.

Joana tercengang, wajahnya masam namun ia berusaha tertawa seakan baik-baik saja. "Iya gue tau, tadi gue nggak sengaja baca chat Stiven yang mau ketemuan sama Chika," jelasnya.

"Are you okay?"

Joana mengangguk mantap. "Gue udah biasa," jawabnya tersenyum.

Kalimat 'udah biasa' yang diucapkan para kaum wanita bermakna tak lebih dari satu, bisa dalam arti 'udah biasa disakitin dalam makna kecewa, udah biasa jadi nggak heran dalam makna sok tegar, udah biasa jadi biasa aja dalam makna benar-benar tidak ada masalah'.

Mendung semakin gelap, saat mulai beranjak Maghrib angin bertambah kencang, hujanpun turun dengan begitu deras. Membuat siapa saja takut untuk keluar dari rumah, ditambah berita TV bermunculan banyak pohon tumbang dijalanan sehingga mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Ia memandangi rintikan air hujan tanpa berkedip sedikitpun sambil melamun di balik kaca kafe yang tinggi menjulang.

"Hei," sapa Welly ditengah lamunan Joana yang duduk seorang diri karena Burhan sudah pulang dan Gea sedang mandi. "Boleh minta tisunya?" Suara Welly memang sesuai dengan tampilannya, ia sedikit centil begitu juga dengan nada bicaranya.

"Oh iya silah..."

"Well, kan lo bisa minta tisu ke gue," potong Kelvin, memberikan sebendel tisu pada Welly.

"Kenapa sih kok lo posesif banget sama gue?" tanya Welly pada Kelvin.

"Elo ganggu tamu lain," jawab Kelvin. "Bukan posesif." Kelvin menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sorry ya Jo..," kata Kelvin pada Joana. "Lo lanjutin aja ngelamunnya."

Joana melongo, ia masih tak bisa menerima kenyataan bahwa lelaki setampan Kelvin yang pastinya punya banyak penggemar lebih memilih hidup bersama dengan lelaki. Padahal Kelvin bisa menggaet siapapun dengan wajah tampan dan tubuh tingginya ala Oppa-Oppa Korea. Sebenarnya ada apa? Kenapa semua bisa terjadi?

Gggrrtt—ggrttt...

Handphone Joana bergatar, melihat sebuah panggilan masuk dari orang yang selalu menyakitinya tetapi sangat berarti baginya membuatnya dilema ingin menjawab atau menolak panggilan. Matanya masih terpaku pada handphonenya yang masih bergetar. Berbunyi sekali, mati. Sampai yang kedua kali.

Tolak.

Joana benar-benar tidak merespon panggilan dari Stiven. Ia membiarkannya.

"Jo, lo nggak pulang? Nggak bosen lo ketemu gue?" tanya Gea sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukan pukul setengah delapan malam.

Ini gelas ketiga Joana, kali ini ia meminum Strawberry Peach buatan Kelvin.

"Bentar lagi, gue males pulang," katanya menatap handphone-nya yang sengaja ia matikan agar tak ada yang bisa mengganggunya.

"Kan kita besok harus masuk pagi Jo, gue mau tidur!" ujar Gea, ia benar-benar capek dan ingin merebahkan badannya.

"Gue nginep di elo aja oke?" tawar Joana.

"Nggak! Gue mau glundungan, kalau ada elo kamar gue jadi sempit!"

Joana mendengus kesal. Ia melihat lurus tepat didepannya tak jauh masih ada Kelvin and the gank, di luar ruangan hujan masih mengguyur walau tidak sederas tadi.

"Jo mending lo pulang sekarang deh," kata Gea lagi yang masih berusaha mengusir Joana.

"Duh kenapa sih jahat banget lo!" omel Joana yang logatnya selalu berganti-ganti sesuai mood hatinya. Ia terkadang memakai lo – gue, terkadang aku – kamu.

"Masalahnya tadi Stiven nelpon gue nyariin lo!"

"Hah!" Joana langsung bangkit dari kursi. "Lo bilang gue disini?"

Gea mengangguk dengan rasa bersalah. "Makanya lo buruan pulang!"

"Lo tega banget si Gea! Gue kesini biar nggak ketemu dia lo malah..."

Cling-cling...

Pintu terbuka, belum sempat menyelesaikan unek-unek, Stiven sudah berdiri didekat pintu dan berjalan kearah Joana. Menggunakan kaos putih, jeans biru dengan pandangan seperti biasanya pada Joana, seakan ingin menerkam.

Gea duduk kembali di kursinya. Kini Joana dan Stiven sedang berhadapan.

"Mau lo apa nggak angkat telpon gue?" tanya Stiven dengan nada garang dan wajah masam, membuat Kelvin and the gank melihat kerahnya.

"Ganteng banget!!" ucap Welly tanpa sadar saat melihat Stiven, mendengar keriangan Welly spontan Kelvin menatap tajam pada Welly begitu juga dengan Andre.

Welly mengunci bibirnya, ia rasa Andre dan Kelvin cemburu.

"Yaudah pulang," ajak Joana tak ingin merespon, namun Stiven malah menahannya.

"Lo pikir gue kesini buat jemput lo pulang?"

Joana tak menjawab, ia hanya menatap balik mata tajam Stiven.

"Dari tadi gue di suruh ortu gue nyari elo karena mereka khawatir dan elo ngabaiin telpon gue, ternyata lo disini seneng-seneng?"

"Emang lo doang yang boleh seneng-seneng sama Chika?" balas Joana tak kalah garang.

"Jangan bawa-bawa Chika! Dia nggak ada hubungannya!"

"Ya adalah! Lo marah karena lo kencan sama Chika terus di suru ortu lo buat cari gue kan? Jadi gara-gara lo nyariin gue, sekarang kencan lo udahan."

Stiven menahan amarahnya.

Pertikaian mereka dilihat oleh beberapa tamu, walau backsound lagu lebih kencang orang-orang masih bisa melihat tingkah keributan mereka tanpa mendengar. Untungnya kafe Gea tak seberapa ramai malam ini dikarena hujan badai, para pengunjung bisa dihitung dengan jumlah jari.

"Kalau lo emang mau batalin pertunangan lo sama gue, gue dukung. Tapi lakuin yang bener, jangan setengah-setengah. Ujung-ujungnya lo ngerepotin gue kaya gini!" jelas Stiven lagi.

Gea hanya duduk diam, ia tak berani melerai pasangan ini jika sedang bertengkar karena sama-sama ganas dan tak ada yang mau mengalah layaknya ikan Piranha.

"Terus ngapain lo kesini kalau bukan jemput gue? Mau marahin gue? Nggak cukup tadi pagi lo omelin gue?" balas Joana.

"Gue mau ngasih tau lo, jangan bebanin hidup gue dengan kelakuan lo lagi. Jadi sekarang lo pulang naik taksi, biar ortu lo dan ortu gue nggak khawatir. Gue ikutin dibelakang."

"Harus gue nurut sama lo? Lo siapa emang?" tanyanya dengan nada mengejek. "Lo cuman orang yang tiap hari bikin luka di hati gue."

"...."

"Jo please.. sekarang..."

"Biar gue anter," sahut Kelvin tiba-tiba, berdiri dari kursinya dan berjalan kerah Joana. "Biar dia gue anter, lo nggak usah khawatir."

Stiven menatap tajam Kelvin.

"Gue ikut," sahut Welly juga, berjalan menghampiri Kelvin yang berdiri disebelah Joana namun agak lebih maju. "Lo tuh, cakep-cakep kasar ih," ejek Welly dengan nada khasnya. "Walau gue suka cowok ya dan walau lo cakep, gue nggak mau kalau pasangan gue kaya elo!" tambahnya menunjuk Stiven.

Stiven kembali melihat Joana. "Lo mau ikut mereka apa sama gue?"

"Merekalah, ngapain gue sama lo!" jawab Joana dengan ketus.

Stiven mendengus kesal.

"Tenang, gue juga ikut anter dia. Biar ortunya nggak salah paham," sambung Gea, ikut berdiri. "Tenang Stiven, Joana aman."

"Ck."

Stiven mengalihkan wajah, ia membalikkan badannya lalu pergi meninggalkan kafe Gea.

Mereka melihat kepergian Stiven.

"Ih, kok mau sih lo pacaran sama cowok kaya dia. Cakep sih, tapi kelakuannya nggak banget!" sinis Welly.

"Wel!" Andre menutup mulut comber Welly. "Kita anter Joana pulang sekarang nih?"

Kelvin mengangguk. Ia mengambil kunci mobil kafe kemudian mengajak teman-temannya ikut masuk.

Didalam mobil, Kelvin sebagai pengemudi. Di sebelah Kelvin ada Joana dan di kursi belakang ada Andre dan Welly. Gea tidak ikut karena Joana melarangnya, Joana tidak ingin lebih membebani Gea karena masalah pribadinya, ia sadar Gea sangat lelah hari ini maka dari itu Gea sempat mengusirnya untuk segera pulang.

Pandangannya lurus menatap gelapnya malam, sedangkan Welly masih sibuk mengoceh mencemooh perbuatan Stiven yang menurutnya sangat kasar pada seorang wanita. Andre hanya mengiyakan dan Kelvin tak ambil suara, ia hanya mengikuti arah jalan untuk segera sampai dirumah Joana.

Sesampainya didepan rumah, Joana begitu kaget mendapati Stiven yang ternyata sedang menunggu kehadirannya sambil duduk didalam mobil. Saat mobil itu tiba, Stiven keluar dari mobilnya dan berdiri didepan mobil yang Kelvin kendarai.

"Ngapain lo disini?" tanya Joana kesal, setelah keluar dari mobil. Ketiga teman barunya duduk didalam mobil, tidak keluar karena Joana menyuruh mereka untuk segera kembali. Sesuai permintaan Joana, Kelvin langsung mengemudikan mobil yang ia kendarai untuk kembali ke kafe.

Didalam mobil...

"Vin, beneran nih kita ninggalin dia? Kalau dia diapa-apain gimana?" tanya Welly sambil melihat kebelekang saat sosok Joana masih terpantau.

"Udah nggak usah terlalu ikut campur," jawab Andre yang kini duduk disebelah Kelvin. Sedangkan Kelvin hanya diam dengan wajahnya yang cuek itu.

Didepan rumah Joana...

"Kok gue nggak liat Gea didalam mobil?" sewot Stiven pada gadis yang kini matanya mulai memerah karena lelah.

"Udahlah gue mau tidur, capek," kata Joana berlalu meninggalkan Stiven.

Stiven menahan lengan tangannya. "Berani-beraninya kamu cewek sendirian dianter tiga cowok? Kalau kamu diapa-apain gimana?"

Joana memandang kesal. Ia suka, ia sangat suka saat Stiven mengkhawatirkannya seperti ini. Tapi ia juga kesal, karena Stiven peduli padanya namun tak pernah menganggapnya. "Udahlah, aku capek," katanyan lemas.

Stiven melepaskan tangan Joana. "Oke.. good night."

Joana tersenyum, ia masuk kedalam rumahnya.

****

Area makan para pegawai penuh dengan para karyawan yang sedang beristirahat. Mulai dari para petugas kebersihan, security, administrasi, perawat, sampai para dokter yang sedang KOAS, dokter muda dan dokter senior. Peliknya lika-liku permasalahan yang didapatkan setiap hari di Rumah Sakit dengan berbagai macam keluhan, perpisahan dan tangisan sudah menjadi hal yang wajar bagi mereka. Manusia datang silih berganti, keluhan, protes, kegembiraan dan kesedihan merupakan makanan setiap detik yang berlalu.

"Maaf kemarin aku dadakan ninggalin kamu," kata Stiven sambil melihat Chika yang kini duduk disebrangnya menyantap hidangan disiang hari.

Chika sudah berteman dengan Stiven sejak duduk di perkuliahan sampai menjalani KOAS bersama di Rumah Sakit yang sama berusaha menutupi rasa kecewanya dengan senyuman. "Nggak papa, lagian kemarin aku harus balik ke RS."

"Libur kamu minggu ini hari apa?" tanya Stiven dengan lembut, berbeda sekali dengan perlakuannya terhadap Joana. Ya pasti, karena Chika adalah orang yang sangat berarti bagi Stiven, dalam kata lain Chika adalah orang yang Stiven sukai. Chika memang tidak secantik Joana, tapi aura nya mampu membuat orang menyukainya saat seseorang sudah mengenalnya.

"Jumat kayaknya, aku lupa cek jadwal."

"Oh...."

Terjadi keheningan, mereka saling berdiam dan menikmati hidangan.

"Stiven?" panggil Chika sambil meletakkan sendoknya di piring.

"Hm?"

"Kamu lebih pilih aku atau Joana?"

Pertanyaan Chika membuat Stiven diam seribu bahasa.

"Kamu nggak bisa milih kan?"

"..."

"Oke.. aku balik dulu," kata Chika, ia membalikan badannya sambil membawa piring untuk di masukan ke trash bag sisa makanan.

"Kamu," jawab Stiven tiba-tiba, menghentikan langkah Chika. "Aku pilih kamu, tapi tolong jangan desak aku. Biar aku selesaikan urusan aku dulu."

Setelah Stiven menyelesaikan ungkapan hatinya, Chika lanjut melangkahkan kakinya tanpa membalikkan badan sama sekali.

Saat Stiven hendak pergi beranjak menyusul Chika, seseorang yang ia kenal duduk didepannya sambil membawa makan siang yang ia letakkan diatas meja dengan sedikit kencang. Melihat kehadirannya, Stiven kembali mendudukkan badannya.

"Nggak nambah?" tanya Joseph, salah satu dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit tempat KOAS Stiven.

"Enggak bang," jawab Stiven.

"Stive.. gue tau keluarga gue berhutang banyak sama keluarga lo, keluarga gue bisa bangkit dari masa lalu berkat keluarga lo dan gue bisa jadi dokter di Rumah Sakit keluarga lo ini berkat bantuan keluarga lo..," jelas Joseph. "Tapi.. jangan sakitin Joana, dia adik gue."

Stiven terdiam sambil memandang Joseph dengan tatapan yang selalu tajam.

"Lo tau kan Joana punya masa lalu yang buruk? Gue nggak mau lo nambahin kesulitan dia. Kalau emang lo nggak suka sama dia, jangan cuman nyuruh dia melepas hubungan kalian. Lo juga harus bergerak."

"..."

"Sekarang gue masih bisa baik sama lo, karena lo juga udah gue anggap adik gue sendiri. Tapi sekali lagi gue liat adik gue frustasi kaya kemarin, jangan harap lo bisa minta ampun ke gue."

Belum habis makanan Joseph, Joseph berdiri dan pergi sambil membawa makanannya. Meninggalkan Stiven yang masih duduk melihat kepergiannya.

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status