Share

CHAPTER 3

Seminggu berturut-turut seusai pulang kuliah Joana mampir ke kafe Gea, membuat kencan Gea dan Burhan tak seefektif sebelumnya. Saat hari mulai gelap barulah Joana pulang ke rumahnya, terkadang menaiki taksi terkadang diantar Gea dan terkadang ia bareng pulang dengan Burhan. Gea memang tipikal cewek yang cemburuan, tapi ia paham Joana tak akan merebut Burhan darinya.

Selama itu juga Joana semakin yakin bahwa Kelvin tidak pernah tertarik sama sekali dengan wanita. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari Kelvin di goda oleh para wanita, mulai dari yang alim, biasa, seksi, sampai luar biasa seksi. Bahkan Kelvin pernah di tawari oleh seorang LC super cantik tidur dengannya secara gratis, namun dengan tegasnya Kelvin menolak dan berkata bahwa ia tidak tertarik dengan perempuan. Hati para perempuan yang dicampakan Kelvin terus bertambah setiap harinya, walau begitu ia masih menjadi icon para pelanggan yang meramaikan kafe milik Gea.

"Selesai!" ucap Kelvin dengan suara lakinya yang lembut saat mengajarkan cara membuat latte art pada Joana di Jumat malam.

Malam ini Gea dan Burhan sedang berkencan, namun Joana tak ambil pusing karena ia punya teman baru di kafe milik Gea yang selalu menemaninya jika sedang suntuk walau pembicaraan mereka hanya sekedar tentang makanan dan minuman.

Joana tertawa kecil melihat hasil karya Kelvin yang membuat Latte Art model dirinya. "Masa ini aku? Jelek banget. Hahaha..."

"Lo emang jelek," ejek Kelvin di tengah kesibukannya sambil melayani orderan setelah membuatkan secangkir Coffee Late pada Joana.

"Enak aja, kata cowok-cowok normal gue tuh cantik. Lo sih sukanya cowok, makanya lo nggak bisa nyadarin kalau gue cantik."

"Haha.. iya-iya lo cantik sampai-sampai belasan tahun cinta lo bertepuk sebelah tangan."

"Sial!" gumam Joana dengan wajah kesal sambil terus memperhatikan Kelvin yang tertawa lepas.

"Lo sama sekali nggak pernah pacaran?" tanya Kelvin kemudian, membuat Joana mengangguk mantap.

Melihat ekspresi Joana, Kelvin tertawa kecil. "Lo sendiri? Pernah pacaran sama cewek? Sejak kapan lo suka sama cowok? Kenapa? Penyebabnya apa?"

Belum Kelvin menjawab, seorang cowok berambut pendek masuk ke dalam kafe dan membuat Kelvin menghentikan karyanya. Mereka saling pandang. Melihat kedatangan cowok berjas hitam itu, Kelvin langsung melepas apron yang ia gunakan dan meninggalkan Joana, lalu mengikuti cowok berjas hitam itu.

"Itu pacar dia yang lain apa ya?" tanya Joana pada dirinya sendiri sambil mencoba mengintip Cha Eun Woo KW yang sedang ngobrol serius di luar kafe sana. Saking penasarannya, ia mengintip sampai ke area luar, berdiri di balik pohon cemara yang bisa menutupi tubuhnya. "Itu siapa ya? Mirip Kelvin, sama-sama cakep," gumamnya.

Sekeras apapun Joana memaksakan dirinya untuk mendengar percakapan Kelvin dan cowok berjas, Joana tetap tidak bisa mendengar karena kendaraan lalu lalang di malam hari seusai hujan bunyinya lebih kencang dari suara mereka berdua. Joana menyerah, ia membalikkan badannya dan secara tidak sengaja ia menabrak seorang cowok bertubuh lebih tinggi darinya yang sedang membawa segelas kopi tanpa tutup gelas ditangan. Akibat ketidak sengajaan itu, kopi tersebut tumpah mengenai kemeja putih si pembeli hingga menimbulkan noda. Tak hanya tumpah di baju pembeli, kopi itu juga meninggalkan bekas di kemeja pink Joana yang dari tadi ia gunakan saat kuliah berlangsung.

"GIMANA SIH!" omel si cowok berkemeja putih, membuang gelas plastiknya sembari membersihkan noda kopi.

"Maaf, maaf nggak sengaja," ucap Joana mencoba ikut membersihkan kemeja putih itu dengan tangannya namun dia menepis tangan Joana.

"PUNYA MATA NGGAK SIH?" katanya marah.

Joana tersudut, ia tak bisa berkata apa-apa selain kata maaf.

"CANTIK-CANTIK BEGO! INI KEMEJA SAYA MAHAL HARGANYA! MAU KAMU BAYAR PAKAI APA HA?"

"Maaf, saya bisa ganti kok berapapun harganya," kata Joana menahan kemarahannya karena ia sadar disaat seperti ini ia tidak berhak marah.

"TCH, BELAGU BANGET! YAKIN MAU GANTI?" tanya cowok berwajah om-om itu semakin memojokkan Joana pada pohon cemara. "Kalau gitu temani saya saja malam ini, katanya mau ganti?" tanya nakalnya.

"Maksudnya?" tanya Joana tak mengerti.

"Ya nggak usah diganti, tapi mala mini mau temenin saya di hotel?" goda om-om girang.

PLAK!

Joana menampar pipi om-om itu dengan amarahnya yang sudah tidak bisa ia pendam.

"KAMU!" Om-om itu mencengkram kerah kemeja Joana. Joana sedikit berjinjit. Suasana mulai ramai, para karyawan di tempat Gea yang baru menyadari kejadian itu langsung berjalan cepat untuk menghampiri Joana agar bisa menolongnya.

Namun sebelum mereka datang, Kelvin lebih dahulu datang. Kelvin menarik tangan om-om yang sedang mencengkram baju Joana, lalu meletakkan tangan itu pada dadanya dengan wajah menggoda.

Hal itu spontan membuat siapa saja tercengang, bergidik geli.

"Kalau gue temenin gimana?" tanya Kelvin. "Lo tipe gue kok," katanya. "Kebetulan gue paling doyan sama cowok kaya elo," bisiknya pada si om-om.

Spontan om-om itu langsung melepaskan tangannya dari tangan Kelvin yang kini berdiri didepannya. "GILA KALIAN! KALIAN GI..."

BRAK!

Joana dan para penonton semakin terkejut saat melihat om-om hidung belang itu tersungkur di rerumputan dekat pintu masuk. Joana lebih terkejut lagi saat mengetahui Stiven yang baru saja menghajar wajah om-om genit itu. Stiven menarik lagi baju si om hidung belang, hendak menghajarnya yang kedua kalinya. Namun Kelvin menahannya.

"Berani lo nyentuh dia, bangsat!" ucap Stiven dengan penuh amarah.

Melihat aura kejahatan Stiven yang terlihat hendak membunuhnya, om-om berkemeja putih itu langsung berlari samapi terungkur-sungkur. "Gila, kafe ini gila!!" Ia berlari menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat ia terjatuh karena tonjokan Stiven.

Stiven berdiri membelakangi Kelvin dan Joana. Stiven menarik nafas begitu panjang, lalu ia hembuskan perlahan kemudian membalikkan badannya. "Lo kenapa nggak ngelawan?" tanya Stiven ambigu antara pada Kelvin ataupun Joana.

"Gue? Gue udah ngelawan dengan cara gue," jawab Kelvin polos.

"Gue bicara sama dia, jadi lo pergi aja!" jelas Stiven.

Kelvin mengangkat bahunya, ia kemudian pergi meninggalkan Joana dan Stiven dengan langkah cepat.

"Kenapa lo nggak ngelawan? Bukannya waktu SMP lo juara dua Taekwondo?" tanya Stiven berusaha sesabar mungkin pada cewek berkemeja pink dengan bawahan jeans putih slim fit malam ini.

"Lo sendiri ngapain kesini?" tanya balik Joana tanpa mau menjawab pertanyaan Stiven.

"Jo! Please jangan buat gue khawatir! Bisa nggak sehari aja lo buat hidup gue tenang?"

"Kenapa lo khawatir? Kan lo bukan siapa-siapa gue, seharusnya lo nggak usah khawatir."

"Lo.. lo sekarang jadi pinter ngeles ya."

"Lo sendiri sekarang jadi sok perhatian, risih gue," balas Joana, ia meninggalkan Stiven tapi Stiven menarik tangannya.

"Ayo pulang," ajak Stiven.

Joana menepis tangan Stiven. "Pulang aja sendiri, lagian di rumah gue lagi nggak ada orang. Gue nggak mau pulang."

"Kan ada gue.. lo biasanya juga ke rumah gue kalau..."

"Stiven.. bantu gue hilangin rasa gue ke elo, jadi jangan kasih gue perhatian kaya gini lagi," potong Joana. "Gue janji kita nggak akan tunangan apalagi menikah, tapi tolong bantu gue juga. Jangan peduliin gue."

Stiven terdiam.

Joana meninggalkan Stiven, ia kembali masuk ke dalam kafe untuk membersihkan pakaiannya.

Merasa ditinggalkan, Stiven tak menyusul Joana. Ia memilih untuk meninggalkan Joana, seperti permintaan Joana barusan.

Detik silih berganti, menit ikut menepi hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Hingga saat itu Joana masih duduk sendiri di sebuah kursi area kolam, sesekali ia memainkan kakinya yang masuk ke dalam kolam sambil memandangi pepohonan yang masih basah akibat sedikit hujan tadi sore. Bahkan aroma hujan masih tercium di indra penciumnya.

Walau sudah hampir dua jam sejak terakhir kali ia bertengkar dengan Stiven, ia masih bisa merasakan bagaimana rasa kesalnya ia saat beradu dengan Stiven. Ia sayang, tetapi ia tidak mau melanjutkan rasanya yang hanya ia rasakan seorang diri sehingga ia lebih memilih untuk menyudahi perasaan itu sebelum ia benar-benar ditinggalkan sendiri dengan perasaan yang semakin dalam.

Bluk.

Lagi-lagi segelas Affogato.

Kelvin duduk didepan cewek berambut panjang dan tebal itu. "Nggak pulang? Kafe udah mau tutup."

"Lo sendiri? Nggak pulang?"

"Iya mungkin sejam lagi," jawab Kelvin. Ia ikut memandangi objek yang daritadi menjadi pandangan Joana, dedaunan basah. "Mau gue bantu?"

"Bantu apa?"

"Buat dia sadar sama perasaannya."

"Maksudnya?"

"Stiven.. biasanya cowok akan sadar kalau dia cemburu. Mau gue bantu?"

"Caranya?"

"Kita pura-pura pacaran."

Belum ada hitungan sedetik, saran dari Kelvin membuat Joana tertawa kencang. "Hahahahhaa..."

"Kok lo ketawa?"

"Kelvin Kelvin.. gue nggak mau bermain kotor ah, lagi pula lo udah punya Welly. Nanti Welly cemburu lagi sama gue."

Kelvin kut tertawa.

Hanya Kelvin. Memang hanya Kelvin beberapa hari ini yang bisa membuat Joana tertawa layaknya melepas beban ke udara, saat bersama Kelvin.. Joana bisa mencurahkan segenap isi hatinya. Ia ibarat burung yang sedang berterbangan diudara, bebas.

"Yang cowok tadi siapa?" tanya Joana.

"Oh tadi.. kenalan."

"Kenalan apa pacar baru, cieee," ledeknya.

Kelvin hanya tersenyum.

"Eh tapi om-om yang tadi, beneran tipe kamu?" tanya Joana lagi.

Kelvin meneguk air liurnya sebelum menjawab. "Iya.. lumayan."

"Heol.. Kelvin Kelvin, kamu tuh cakep dan cowok banget harusnya kamu pacaran sama cewek bukan sama cowok."

"Emang lo mau jadi pacar gue?" tanya Kelvin dengan tatapan mata serius.

Deg.

Jantung Joana berdetak sedikit lebih kencang.

'Gila.. apa si Kelvin nembak gue? Enggak.. enggakk.. Jo sadar! Kelvin kan sukanya sama cowok. Tapi sekarang dia ganteng banget, rasanya pengen gue peluk!" pikir Joana.

"Hello?" Kelvin melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Joana, membangunkan lamunannya.

"Eh iya.. hehe..."

"Gimana? Emang lo mau jadi pacar gue?" tanya Kelvin lagi.

Joana salah tingkah, ia langsung menggelengkan kepalanya. "Hii, nggak. Gue nggak mau jadi korban orang homo."

"Hahaha..."

Blip.

Ditengah perbincangan mereka, lampu yang menerangi kafe Gea mati mendadak. Gelap. Benar-benar gelap.

Joana meringkuk. Ia menutupi kedua telinganya menggunakan kedua tangannya. Nafasnya terasa sesak, seakan ia penderita asma akut.

"Jo?" Kelvin menghampirinya. "Jo, are you okay?"

Hanya disaat seperti ini Joana bisa menitikan air matanya. Sesedih apapun ia, seterluka apapun ia.. ia tidak pernah bisa menangis. Hanya karena kegelapan, ia menangis ketakutan. Bagaikan bukan dirinya sendiri.

"Hiks..." Tangannya gemetar.

Kelvin kebingungan, ia mencoba mengajak Joana masuk ke dalam bersamanya namun Joana seakan berada didimensi lain. Ia tak sadar dengan keberadaan Kelvin.

"Hiks..."

Tanpa pikir panjang, Kelvin memeluknya. Ia membelai rambut gadis yang sedang gemetaran itu didalam bahunya yang bidang. "Jangan takut, gue disini," katanya sambil terus membelai rambut Joana.

Joana menangis nyaring. Ia menutup matanya.

****

"Darimana aja kamu semalaman keluyuran?" tanya Jordi, saat melihat anak terakhirnya masuk kedalam rumah dengan pakaian lusuh dan wajah pucat di Sabtu pagi.

"Nginep tempat Gea, Pa..," jawabnya lemas.

"Sekalian aja nggak usah pulang! Bisanya bikin orang khawatir aja!" omel Jordi lagi,penuh dengan kemarahan.

Joana hanya menundukkan kepalanya.

"Apa benar kemarin kamu di jemput Stiven tapi kamu malah usir Stiven untuk pergi?"

"Iya..."

"Mau kamu itu apa sebenernya, apa?"

"Pa.. Joana kan udah bilang, Joana nggak mau tunangan sama Stiven. Jadi..."

"KAMU HARUS SADAR, KAMU BISA SEKOLAH SAMPAI SETINGGI INI KARENA KELUARGA STIVEN!" potong Jordi dengan nada membentak, penuh emosi. "Kamu pikir kita bisa hidup enak selama ini karena siapa kalau bukan karena bantuan keluarga Stiven? Papa bangkit dari keterpurukan dan mulai bisnis lagi karena bantuan mereka, kakak kamu bisa dapat kerja di rumah sakit karena mereka.. kamu juga bisa sekolah sampai sekarang karena mereka! Papa cuman minta kamu untuk menjadi bagian dari keluarga Stiven, sesusah itu?"

Joana tak bereaksi, kata demi kata yang dilontarkan oleh Papanya terdengar ditelinga dan masuk membekas didalam hati.

"Kamu tau nggak kenapa mereka ngotot jodohin kamu sama Stiven? Karena mereka udah sayang banget sama kamu! Harusnya kamu bersyukur!!"

"..."

"Lagipula Stiven kan orang yang sangat kamu sukai dari dulu, kenapa kamu sok-sokan nolak dia segala? Ha?"

"Papa bener.. Joana emang suka Stiven dari dulu, tapi Stiven nggak suka sama Joana, Pa! Joana nggak mau maksain dia buat suka sama Joana! Joana nggak mau maksa dia nikah sama Joana cuman karena kepentingan Papa!"

"Kenapa sih dari dulu kamu selalu membantah? KAMU SADAR NGGAK KAMU PERUSAK KELUARGA INI?"

"PAPA KENAPA SELALU NYALAHIN JOANA?" teriak Joana, tak bisa menahan rasa marahnya, ia membuat Papanya itu terdiam. "PA! EMANG JOANA SALAH APA? KENAPA SETIAP HARI SELALU PAPA MARAHIN? KENAPA CUMAN KAK JOSEPH YANG PAPA SAYANG!!"

Ingin rasanya Joana meneteskan air matanya, namun air matanya tak semudah itu mengalir seperti kemarin malam, saat Kelvin memeluknya.

"KALAU EMANG JOANA SALAH! PAPA KASIH TAU, SALAH JOANA ITU APA? KENAPA PAPA BISA SEBENCI INI SAMA JOANA? JOANA JUGA ANAKNYA PAPA KAN PA?"

Jordi terisak, bola matanya memerah hendak menangis.

"Papa tau nggak? Sampai sekarang Joana bingung, sebenarnya Joana salah apa? Joana benar-benar lupa.. jadi tolong kasih tau, jangan cuman nyalahin!" pintanya merengek.

Jordi diam seribu bahasa.

"Joana kangen.. kangen banget sama Mama," ungkapnya dari lubuk hati paling dalam, membuat perasaan Jordi semakin terpecah belah. "Kenapa Mama ninggalin Joana sih, padahal cuman Mama yang bisa ngerti."

"..."

"Pa? Mama sebenarnya pergi kemana?" tanyanya dengan wajah pucat pasi.

"Cepat ganti baju kamu lalu makan istirahat, nanti malam kita dinner sama kelaurga Stiven. Kamu jangan bikin ulah," ujar Jordi mengalihkan pembahasan, ia meninggalkan Joana yang masih berdiri kaku di ruang tamu.

****

Seperti kata Jordi, malam ini mereka dinner bersama keluarga Stiven. Joana tampak anggun menggunakan dress V neck berwarna putih dengan panjang selutut, rambutnya ia kuncir separuh dengan dandanan wajah super flawless, membuat siapa saja jatuh cinta padanya. Sandra ibunda Stiven tak kalah cantik, beliau memakai dress selutut dengan rambut pendek yang terturai sebahu.

Sudah hampir setengah jam mereka melangsungkan pertemuan di sebuah restaurant all you can eat, makan sepuanya bersama. Namun perbincangan mereka masih seputar bisnis dan bisnis. Hanya saja Joana tampak diam hari ini, matanya bengkak tak seperti biasanya.

"Sayang, nih makan..," kata Sandara meletakkan daging matang pada piring Joana.

"Makasih tante."

"Kamu kemarin tidur di rumah Gea, Jo?" tanya Rudi, salah satu pemilik Rumah Sakit tempat kakaknya malam ini bekerja.

"Iya Om..."

"Kok tumben nggak tidur rumah kita."

"Iya kemarin sekalian ngerjain tugas," jawab Joana asal.

"Oh iya Stive, KOAS kamu lancar?" tanya Jordi pad Stiven.

"Lancar om.. kaya jalan tol."

"Hahaha..."

Berkat guyonan simple Stiven, suasana semakin ramai hingga akhirnya Joana buka suara lagi.

"Om.. tante?"

"Iya sayang?" sahut Sandra.

"Apa om sama tante tau, sebenarnya mama Joana pergi kemana?" tanyanya serius.

Spontan suasana menjadi hening, kunyahan di mulut Stiven tak terkunyah halus.

"Katanya.. mama pergi waktu Joana lagi di rawat di Rumah Sakit pas di UGD.. Kok mama tega ya? Padahal seinget Joana, mama sayang banget sama Joana."

Sandra dan Rudi saling tatap, sedangkan Jordi hanya menundukkan kepalanya.

"Masa iya nggak ada yang tau mama pergi kemana?" tanyanya lagi. "Joana cuman pengen ketemu bentar, terus..."

"Jo," potong Stiven, berdiri dari tempat duduknya. Ia menghampiri Joana lalu menarik tangan Joana untuk ikut bersamanya.

Ditinggalkan oleh Joana dan Stiven, keadaan mereka semakin menghening. Selera makan mereka mendadak ciut.

"Jordi, kenapa nggak di kasih tau aja anak kau? Kasihan dia kalau masih kau tutup-tutupi begini," usul Rudi. "Nanti kalau ingatannya kembali, dia bisa semakin depresi, Jordi!"

Jordi hanya diam, ya Jordi tetap diam.

Sedangkan diluar restaurant...

"Ngapain ngajak kesini?" tanya Joana saat berada di taman depan resto.

"..."

"Kenapa sih?"

Stiven meletakkan kedua tangannya pada bahu Joana. "Jangan bilang kita batal tunangan lagi mulai sekarang, di pertemuan keluarga selanjutnya biar gue yang bilang."

Joana terdiam.

"Gue tau, sehabis lo tanyain keberadaan nyokap lo.. pasti lo bakal bahas pembatalan tunangan kita lagi. Jadi sebelum itu, gue minta saat ini.. diam, biar gue yang bahas di pertemuan berikutnya."

Joana tak menyangka, saat ini Stiven sedang berbicara dengan damai padanya. Tak membentak, tak marah, tak membuatnya terluka.

Stiven meninggalkannya lagi, saat ia baru berjalan beberapa langkah Joana kembali menyebut namanya.

"Stiven?"

Ia berhenti dalam jarak yang masih tak terlalu jauh.

"Kenapa nggak bilang sekarang? Kenapa harus nunggu pertemuan selanjutnya?"

Tak menjawab pertanyaan Joana, Stiven kembali melangkahkan kakinya. Ia meninggalkan Joana lagi, sendiri. Tak seberapa lama Stiven menghilang, Joana kembali masuk ke dalam restaurant menghampiri keluarganya yang sudah menunggunya.

Seakan-akan tak terjadi apa-apa, keheningan tadi berubah menjadi tawa dan canda lagi. Tak ada yang membahas pertanyaanya, mereka hanya saling mengejek dan mengenang kenangan masa lalu mereka.

"Inget nggak dulu waktu SMA, aku yang jodohin kalian! Hahaha," canda Jordi sambil meledek orang tua Stiven.

"Hahaha..."

"Terus kau sengaja buat si Sandra cemburu dengan cara deketin si rambut kaku itu, siapa namanya fans kau itu..."

"Heni!" jawab Sandra.

"Iya Heni!"

"Hahhaha...," tawa mereka kembali meledak. Stiven ikut tertawa mendengar masa lalu orang tuanya yang baru ia ketahui saat ini.

Waktu semakin maju, kenangan demi kenangan semakin bertambah. Semakin bertambahnya kenangan, semakin banyak hal-hal yang tidak begitu penting di buang oleh otak. Otak hanya akan mengingat kenangan indah, yang benar-benar diinginkan oleh sang pemilik. Jika kenangan itu terlalu sakit, otomatis itu menjadi sebuah trauma.

"Em Om." Stiven membuka suara, semua mata tertuju padanya. "Maaf, kayaknya benar kata Joana, saya sama Joana untuk sekarang belum bisa ke tahap pertunangan."

Semua terdiam, terutama Joana. Ia tercengang, tak percaya. Stiven benar-benar mengatakannya.

"Stiven!" Sandra menyikut lengan anaknya. "Kamu kenapa?"

"Ma.. Stiven masih mau fokus KOAS dan ngurus semua sertifikasi, gelar dan lain-lain. Jadi..."

"...."

Stiven menghembuskan nafasnya, dengan perasaan deg-degan. "Intinya.. Stiven mau fokus study ini dan buat kamu Jo..."

Joana mentapnya, dalam.

"Kalau kamu sudah punya pengganti, kamu bisa tinggalin aku. Karena aku nggak punya kepastian buat kamu untuk saat ini."

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status