Share

Scene 5

Pagi ini setelah pesawatnya mendarat di bandara dengan sangat terburu-buru Althea pulang ke apartemennya untuk segera mengambil beberapa barang yang akan di bawanya ke tempat peliputan selanjutnya, Medan perang. Benar-benar habis liburan di suguhkan peperangan, rasanya ia ingin tertawa saja. Begitu memasuki apartemen Althea meletakkan ranselnya di atas sofa, masuk ke dalam kamar gadis itu segera melepas pakaian dan membersihkan diri di kamar mandi. Dering ponsel nyaring terdengar dari atas kasur, ia tau siapa yang menelponnya. Cepat-cepat menyelesaikan ritual mandi, Althea mengangkat teleponnya tanpa melihat siapa yang memanggilnya.

“Althea, kau sudah sampai di New York?” Tanya seseorang dari seberang, tentu saja Althea mengetahui suara siapa ini. Salah satu editor di divisi pemberitaan tiga, Zack Springton.

“Ya, aku sudah tiba pagi ini. Yang benar saja, mereka bahkan tidak memberikan aku sedikit waktu untuk beristirahat setelah ku berikan double liputan dari Indonesia.” Rutuk Althea sembari mengenakan pakaian, terdengar tawa renyah dari seberang. Ingin sekali rasanya Althea menarik kepala bulat seniornya itu saat ini, tidakkah dia memiliki sedikit belas kasihan pada Althea yang sudah melakukan perjalanan jauh ini.

“Ayolah Althea, jangan mengeluh. Kau tau Mrs. Clinton sangat puas dengan liputan mu.”

“Ya...ya...ya... Dia puas dengan liputan ku, saking puasnya, sebelum aku sampai di new York dia sudah meneleponku untuk segera berangkat ke pangkalan militer. Bahkan aku tidak bisa tidur sebentar.” Suara tawa Zack semakin keras saja dari ponselnya, usai berpakaian Althea mengeluarkan beberapa setel pakaian lain untuk di bawanya.

“Hahha... Ayolah Erdritter, jangan mengeluh terus nanti kau tambah tua, bocah.”

“Ah ya, benar sekali aku akan tambah tua setiap hari kalau kau dan para atasan itu terus membuatku naik tensi.” Kelakar Althea, Zack semakin tertawa saja.

“Aku akan datang ke apartemen mu.”

“Kau tidak perlu datang kemari, senior,” Althea mengambil ponsel di kasurnya, mematikan loud speaker dan berjalan ke arah ruang tamu untuk mengambil tas ranselnya.

“Kau temui aku di Starbucks saja, aku tak akan lama.”

“Oke, akan ku tunggu di sana.”

Sambungan telepon mati, melirik jam di dinding yang menunjuk pukul tujuh Althea membawa tas ranselnya ke dalam kamar. Mengeluarkan beberapa pakaian yang kotor karena belum sempat di cuci, mengganti alat kebersihan, dan P3K.mengecek tenda dan beberapa alat darurat lainnya, setelah mengepak pakaian dan beberapa hal yang di perlukan ke dalam ransel Althea beranjak pergi ke dapur.

Membuka buffet Althea mengambil beberapa bungkus makanan darurat seperti ransum, mie instan, dan makanan kering lainnya. Beralih ke bagian lain dari dapur, Althea membuka lemari es-nya. Gadis itu mengerang kesal melihat lemari es yang kosong, ia tidak memiliki stok makanan untuk di jadikan sarapan. Bagus sekali.

“Selamat pagi, Erdritter!” Sapa Zack begitu melihat Althea berjalan ke arahnya, ia menyodorkan segelas kopi pada Althea.

“Bagaimana kabarmu?” Tanya Zack berjalan menuju mobilnya diikuti Althea, gadis itu mendengus kecil. Tas ransel diletakkan di jok belakang.

“Buruk sekali, tidakkah Mr. Vierlicht memberitahuku sebelum keberangkatan selanjutnya.” Jawab Althea sesekali menyeruput kopi susunya, Zack terkekeh kecil. Mesin mobil di nyalakan dan melaju, bergabung bersama mobil lainnya di jalan.

“Oh ya, kau tau sehari setelah keberangkatan mu ke Indonesia. Si Kruger itu marah karena tidak mendapatkan job yang akan kau kerjakan.” Althea menghela napas panjang.

“Aku sudah tau itu, Mrs. Clinton memberitahu ku saat sampai. Aku sudah mengajukan resi penolakan, tapi Mrs. Clinton tidak menerimanya.”

“Tentu saja ia tidak menerima, memangnya atasan mana yang mau memperkerjakan seorang kuda temperamental di Medan perang. Yang ku dengar saat melakukan rapat untuk job ini, kau banyak di rekomendasikan. Kecuali, kepala dari divisi pemberitaan satu yang ngotot untuk terus merekomendasikan Kruger. Pekerjaannya memang bagus, aku akui itu. Tapi, untuk beberapa hal aku merasa ia tidak cocok.” Jelas Zack, Althea hanya mendengarkan saja.

“Bisakah kita mampir ke burger king, aku lapar sekali.” Pinta Althea, Zack mengangguk sembari mengarahkan mobilnya ke sebuah restoran besar cepat saji.Karena restoran yang menggunakan sistem Drive thru Althea ataupun Zack tidak perlu turun dari mobil.

Zack menatap ngeri pada Althea yang kini memegang sekantong berisi enam porsi double cheese burger, apakah dia tidak kasihan pada perutnya. Itu roti bukanlah roti tipis, penuh daging dan jangan lupakan kejunya yang banyak itu. Melihatnya saja sudah membuat Zack merasa mual.

“Kau mau?” Tawar Althea, Zack menggeleng cepat.

“Tidak terima kasih, aku heran kenapa perutmu bisa menampung enam porsi burger?”

“Tentu saja bisa, karena ini sangat enak.”

“Itu tidak ada hubungannya, bodoh.”

“Terserah saja.”

“Kau sudah seperti orang kelaparan saja.”

“Aku memang kelaparan Springbed, makanya aku makan.”

Zack tidak mau memperpanjang lagi, mobil berhenti di depan pos penjaga pangkalan militer. Zack menyodorkan surat pengantar dan identitasnya, ia menarik tanda pengenal Althea yang bersembunyi di dalam jaketnya. Gadis itu nyaris tercekik kalau tidak melepaskan tali pengenal di lehernya yang di tarik paksa oleh Zack, setelah selesai pengecekan mereka bisa masuk ke dalam pangkalan.

“Kau ingin membunuhku, hah?!”

“Aku sangat ingin membunuhmu, Althea.” Jawab Zack gemas, Althea mendengus kecil. Pintu mobil di buka kasar, Althea melemparkan bungkus kantong burger yang sudah kosong ke dalam tong sampah, Zack tidak paham bagaimana cara Althea menghabiskan enam porsi burger keju dalam waktu yang cepat, perjalanan ke pangkalan membutuhkan waktu 15 menit apakah Althea tidak mengunyahnya terlebih dahulu?

Althea menghampiri Zack yang sedang bicara pada seorang perwira, gadis tinggi itu memberikan hormat pada si tentara bername-tag Thomas.

“Althea, kau bisa ikut dengan Kapten Thomas untuk arahan selanjutnya.” Ucap Zack, Althea mengangguk kecil sebelum mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Thomas.

“Saya Althea Erdritter jurnalis Sunburn, mohon kerja samanya kapten.” Pria berjanggut itu mengangguk kecil.

“Kalau begitu, aku harus pergi.” Pamit Zack.

Thomas membawa Althea menuju aula untuk pengarahan selanjutnya.

“Tidak aku sangka, kalau Sunburn mengirim mu ke Medan perang.” Ucapnya, Althea terkekeh kecil.

“Sepertinya, sebuah keberuntungan saya mendapatkan pekerjaan ini.” Ujar Althea, Thomas melirik gadis di sampingnya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.

“Kau tau bocah, setiap tahun. Di Medan perang ratusan jurnalis mati dari seluruh dunia karena tugas ini.” Ada keheranan dalam benak Thomas tentang para pemburu berita seperti Althea, kenapa mereka senang sekali mempertaruhkan nyawa untuk sebuah berita pembunuhan masal yang tak ada habisnya ini. Althea tersenyum kecut, ia tahu bukan hanya jurnalis yang jadi korban beringasnya peperangan. Tapi juga, warga sipil dan tentara itu sendiri yang menjadi korban.

“Saya tau itu, sir. Bukankah, bukan hal aneh lagi kalau di tanah peperangan ada yang mati?” Tanya Althea, hembusan napas pelannya kembali membuat Thomas menoleh.

“Memang benar, tapi kau masih terlalu muda. Kau harus menata masa depanmu, dan lagi gadis seusia dirimu masih ingin bermain dengan laki-laki.” Jawaban Thomas membuat gelak tawa Althea berderai.

“Astaga maafkan saya sir, hahaha... Saya tidak lagi berpikiran tentang laki-laki untuk saat ini.” Thomas sedikit menyipitkan matanya untuk menyelidiki gadis tinggi ini.

“Kau... Baru saja di putuskan bukan?”

Telak! Benar-benar telak, tepat mengenai hati Althea. Ia memang baru di putus oleh kekasihnya, alasannya karena Althea tidak pernah memiliki waktu untuk berkencan sehari saja. Althea jadi merasa kalau dirinya tidak layak untuk menjadi kekasih bagi siapapun.

“Kapten, lain kali kalau bicara perhatikan hati seseorang. Saya lagi galau berat loh ini.” Thomas tertawa melihat ekspresi Althea yang begitu nelangsa.

Helikopter yang membawa para jurnalis mendarat di lapangan terbuka, Althea turun dari dalam. Sejauh mata memandang yang ia lihat hanya Padang rumput kering dan gersang, banyak sekali tentara yang berjaga. Perbatasan Aksatastone dan Switchstone, Althea tersenyum miris mengingat dua negara yang tidak pernah akur ini. Entah masalah apa yang mengakibatkan dua negara terus berkonflik sejak lima puluh tahun yang lalu. Perbatasan yang tidak pernah berhenti berperang, padahal Althea sangat yakin kalau sebagian warganya sudah menginginkan sebuah kedamaian. Althea merasa harus menertawakan dirinya, memangnya tau apa dia soal kedamaian?

Jurnalis yang datang berjumlah 200 orang dari berbagai belahan dunia, sepertinya negara lain juga ikut penasaran dengan peperangan ini. Sungguh lucu, sebuah perang untuk di jadikan bahan tontonan.

“Selamat datang di perbatasan Aksatastone dan Switchstone, seperti yang kalian ketahui. Ini adalah Medan perang dan kalian harus siap mati untuk apa yang kalian lakukan disini, para tentara tidak bisa menjamin seratus persen keamanan kalian. Karena kami juga harus memprioritaskan warga sipil dan keamanan disini, jadi sebisa mungkin kalian harus bisa mawas diri jika terjadi sesuatu pada diri kalian. Sesuai yang sudah di tuliskan dalam formulir, nyawa kalian adalah tanggung jawab perusahaan tempat kalian bekerja. Paham?!” Pria tua botak itu berkata lantang pada semuanya, Althea melirik ke sampingnya. Rata-rata jurnalis yang di kirim kisaran berusia 39-40 keatas.

“Siap, di mengerti!” Sahut 200 jurnalis lain serempak.

“Sekarang kalian ikuti aku!” Perwira botak itu berjalan lebih dulu, 200 jurnalis mengikuti dari belakang. Kemudian mereka di berikan arahan untuk mengisi data diri, setelah itu mereka akan di berikan selebaran data lain.

200 orang itu di pecah dalam beberapa kelompok untuk di sebar ke seluruh perbatasan negara Aksatastone, dari 200 jurnalis sebagian besar di kirimkan ke tiga kota besar diantaranya; Kota Blue, Gold Rose, dan Viastone. Althea kebagian di wilayah terluar dari negeri Aksatastone, perbatasan utama dengan negara Switchstone. Titik inti dari Medan perang.

“Nama saya Althea Erdritter, terima kasih sudah berkenan untuk mengantarkan.” Ucapnya, pria yang duduk di belakang kemudi terkekeh kecil.

“Jangan terlalu formal, sepertinya umur kita tak beda jauh. Namaku Karl Lagerfeld, panggil saja Karl.”

“Senang bertemu denganmu, Karl.”

“Aku pikir, kau adalah seorang mahasiswa nekat yang datang untuk peliputan disini?” Tanya Karl, Althea terkekeh kecil.

“Tentu saja tidak, aku adalah jurnalis resmi.”

“Kau adalah yang termuda dari dua ratus jurnalis.” Althea menggaruk kepalanya yang terasa gatal mendadak.

“Sepertinya begitu,” Althea melemparkan pandangannya keluar jendela mobil yang terbuka, udaranya terasa begitu panas. Bahkan tadi, begitu ia tiba disini harus melepaskan jaket saking gerahnya.

“Kau harus berusaha bertahan hidup disini, tidak perlu khawatir tentang keselamatan. Para tentara disini pasti akan melindungi kalian para jurnalis, soal perkataan Kapten Zalora tadi tolong jangan di ambil pusing. Kau tau candaan satir? Pria tua itu berniat bercanda tapi malah terkesan menakut-nakuti, sebagian tentara yang di tempatkan di perbatasan bagian dari militer PBB jadi tidak perlu khawatir.” Jelas Karl, Althea hanya mengangguk kecil.

‘ Candaan satir macam apa itu?’ pikir Althea.

“Sersan Karl Lagerfeld melapor Kolonel. Saya telah membawa jurnalis bernama Althea Erdritter ke hadapan anda.” Kata Karl tegas, Althea berdiri di belakang perwira muda itu. Seorang pria berbalik, Althea terdiam di tempatnya melihat pria yang di sebut kolonel itu. Aah... Ia merasa pernah melihat wajah itu, tapi dimana ya?

“Terima kasih Sersan, kembali bertugas.”

“Siap. Laksanakan.” Usai memberikan hormat, Karl keluar dari barak meninggalkan sang jurnalis muda dan seorang Kolonel yang menatapnya lurus.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status