“Matari!!! Sandra!” seru Pak Narto, wali kelas Matari di kelas 2 A.
“Bentar, Pak, kita parkir sepeda dulu,” sahut Sandra setengah berteriak.
Dengan buru-buru, Matari dan Sandra segera mendekati Pak Narto.
“Hari ini, ada dua anak baru. Agak telat masuk memang, namun keduanya berbarengan masuk pindah ke sekolah kita. Salah satunya, yang perempuan, namanya Narita, dari Kediri. Kemudian yang kedua, laki-laki, namanya Rio, pindahan dari Bandung. Narita akan masuk ke kelas Matari dan Rio akan masuk ke kelas Sandra. Masing-masing dari kalian harap menemani mereka masuk kelas ya,” kata Pak Narto. “Mereka berdua sepertinya sudah datang dan menunggu di depan ruang kepala sekolah. Harap ditemani. Nanti perkenalan resmi akan dilakukan oleh masing-masing guru jam pelajaran pertama kalian. Oke?”
Matari dan Sandra pun mengiyakan permintaan Pak Nart
Beberapa hari kemudian, saat Matari harus latihan untuk kejuaraan memanah di hari Jumat, Matari menyadari bahwa Davi telah tiba di sekolah terlebih dahulu dibanding dirinya sore itu. Kejuaraan dadakan sepakbola akan dimainkan oleh tim sepakbola cadangan, bukan tim inti, mengingat tim inti harus bermain untuk kejuaraan yang lebih besar, kejuaraan sepakbola tingkat SMP Se-Jabodetabek. Matari menikmati memperhatikan Davi dari pinggir lapangan saat Rocky mendekat.“Belum masuk?” tanya Rocky.Matari tersenyum tipis. Sejak informasi Lisa tempo hari, membuat Matari berusaha susah payah bersikap biasa saja, meskipun terasa susah terhadap Rocky. Di samping Rocky tampak Ricko berdiri mematung sambil mendengarkanwalkm*nmiliknya sendiri.“Kalian sendiri?” balas Matari.“Ekskul teater lagi libur. Sebagai gantinya kita harus hapalin naskah buat pementasan na
Bagi Matari, mendapatkan teman perempuan baru di kelas 2 A ini adalah hal yang menyenangkan. Paling tidak, kelas yang tadinya jumlah perempuannya ganjil menjadi genap. Dan paling enggak, Matari jadi punya teman satu kelas perempuan yang bisa diajak berpasangan jika pelajaran olahraga. Biasanya, sebelum kedatangan Narita, Matari akan berpasangan dengan Ibu Fitria, guru olahraga di kelas dua yang kebetulan perempuan juga. Berpapasan dengan Ibu Fitria selalu terasa canggung, karena selain galak, beliau juga terlalu perfeksionis dalam hal gerakan olahraga tertentu. Jika Matari tidak sesuai, dia akan disindir-sindir sepanjang sisa kelas olahraga.“Jadi, lo nggak punyasneakers?” tanya Matari suatu hari saat menyadari Narita tampak mengikuti pelajaran olahraga hanya dengan sepatu flat biasa berwarna hitam, warna wajib sepatu di sekolah mereka.“Beneran nggak ada kalo warna hitam. Makanya gue sementara pakai
“Apaan sih, Lis?” tanya Matari kesal saat dengan sedikit kasar, Lisa menariknya ke kamar mandi murid perempuan bersama Thea. “Lo juga, ketua Osis, masa diem aja ada murid diginin?”“Sorry,gue nggak ikutan, hahahah!” kata Thea sambil tertawa.“Sini, ini rahasia. Gue nyolong dan toloooong banget yaaaa, disimpen baik-baik, karena gue udah berbaik hati nyolongin buat lo,” kata Lisa sambil merogoh saku seragam SMP-nya.Matari tampak bingung, kemudian Lisa menyerahkan sesuatu di tangan Matari. Matari menatap foto berukuran 3 x 4 itu. Ternyata itu adalah foto Davi.“Kan anak-anak ekskul sepakbola disuruh ngumpulin pas foto 3 x 4 buat pendaftaran kejuaraan, nah pas mereka tadi ngisi formular, gue iseng diem-diem colongin satu foto Davi buat lo. Gimana? Seneng nggak?” tanya Lisa.“Ya ampun. Nanti kalau
Matari menatap Davi yang masih bermain di lapangan sepakbola. Saat itu semburat senja mulai terlihat, jam telah menunjukkan pukul 5 lewat, namun Davi tampaknya tak ada tanda-tanda akan selesai. “Ri, aku kayanya masih lama deh. Kamu pulang duluan aja, gimana?” tanya Davi saat istirahat lima menit diinstruksikan oleh Pak Halim, guru olahraga yang melatih mereka hari itu. “Oh, gitu, ya udah pas banget. Aku capek. Pengen buru-buru mandi terus rebahan,” jawab Matari kemudian beranjak dari tempatnya duduk sejak tadi. “Iya, dua bulan lagi ada kejuaraan ya? Ya udah kamu pulang duluan aja ya,” kata Davi sambil mengelus rambut Matari dengan lembut. Meskipun mereka sudah berpacaran, sentuhan-sentuhan lembut Davi selalu berhasil membuat Matari berdegup kencang. Tidak terlalu berlebihan namun cukup membuatnya berbunga-bunga. “Ya udah, aku balik dulu y
“GILAAAA! Keren keren!” seru Thea saat melihat tindikan di telinga kiri Lisa sedikit di bagian atas.“Sssst, pelan-pelan dong! Jangan sampai ketahuan guru, bisa disidang Bu Euis nanti!” sahut Lisa. “Lo jangan ngomong apa-apa sama Tante lo ya, Nar!”“Enggak! Ngapain juga gue ngomong sama dia!” tandas Narita, sedikit tersinggung dengan tuduhan Lisa.“Eh santai, Nar! Nggak usah emosi,” kata Thea menengahi.“Tindik sendirian atau gimana?” tanya Matari penasaran.“Make Up Artist (MUA)gue yang ngelakuin. Dia punya alatnya, cuma karena pas ada nyokap, doi minta disterilin dulu kemarin. Bagus nggak?” timpal Lisa.“Bagus bagus aja sih. Lo kan cakep. Tapi nyokap lo asyik juga ngebolehin, kalo nyokap gue, pasti udah marah-marah!” sahut Thea.“Hehehe. Kalo kalian mau, gu
Matari menolak ajakan sahabat-sahabatnya untuk ke kantin. Melihat Matari tidak pergi ke kantin, akhirnya Narita memutuskan untuk menemani Matari di kelas. Saat itu, Narita baru menyadari bahwa gadis itu tampak lesu.“Lo kenapa?” tanya Narita.“Nggak papa. Lo beneran nggak ke kantin? Kalau mau jajan, susulin mereka aja!”“Enggak ah. Gue nemenin lo aja.”“Mmm, nggak ke Bu Euis?”“Nggak, males. Kalo boleh jujur, di sana tuh berantakan banget data siswa sekolah kita dari zaman baheula. Dari yang bermasalah, berprestasi, sampai yang keterima ke sekolah favorit tanpa tes, terus yang rangking 1-10, belum yang keluarganya bermasalah, hadeeeehhhh…! Pusing kepala gue di sana!”“Wah, jadi lo tahu semua rahasia anak-anak sini dong?!”“Yaaaah, gitu deh. Oh iya, gara-gara itu, gue juga baru tahu kalau ny
Matari berjalan pelan menuju ke sepedanya. Biasanya, Davi akan menunggunya di dekat lorong yang menghubungkan dengan parkiran, namun, hari itu, Matari tak melihatnya sama sekali di sana. Matari sejujurnya merasa bingung, sebenarnya masalah bermula memang karena Ayahnya, kemudian setelah Davi berkata seperti itu, dia sendiri juga yang pertama menutup telepon.“Ri! Mau pulang?” tanya Gilang yang tiba-tiba datang menghampiri.“Iya. Kenapa, Lang?” sahut Matari.“Lagu udah dapet nih. Lo sama Narita jangan lupa buat latihan nyanyiin kalo pas di rumah ya.”“Lo udah ngomong sama Narita?”“Belum. Kan sebenernya, gue maunya elo yang nyanyi.”“Oke. Nanti gue bilangin sama Narita sekalian. Jadi apa nih lagunya sekarang?”“Gue belum sempet rekamin buat kalian ya. Lagi bokek gue, jadi nggak bisa beli kaset kos
“Ri, semangat banget lo latihan! Hati-hati bahu lo!” kata Kak Uya, senior kelas 3 yang tahun lalu berhasil meraih juara 2 kejurnas memanah.Matari hanya melirik sejenak dan tampak tak peduli dan terus menerus berlatih memanah.“Abis putus cinta kak, biarin aja!” sanggah Echa sambil terkekeh.“Drawing*) dia udah mulai nggak konstan tuh, kayanya dia harus istirahat deh,” ujar Kak Uya.Belum sempat Echa memastikan, pekikan terdengar. Matari terduduk dan memegang tangannya. Darah segar mengalir dari sana.“Tuh kan apa gue bilang, Cha! Panggilin Pak Adnan, cepet!!!!” seru Kak Uya sambil menghampiri Matari.“Ri, lo nggak papa?” tanya Kak Uya lagi.Matari meringis. Tali busur panah miliknya terkena noda-noda darah. Tali itu melukainya tanpa sadar. Pak Adnan yang sedang fokus pada Janna, segera mengh