Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.
Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.
Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.
“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Bulan November 2000Davi menutup ruang kapel dengan kunci secepat mungkin. Mata pelajaran agama Kristen baru saja usai. Dan dia yang ditugaskan oleh Bu Dharma untuk menutup ruang kapel dan menyerahkan kuncinya pada Pak Agus, petugas yang bertanggung jawab menyimpan kunci seluruh ruangan di sekolah dan kebetulan juga tinggal di belakang kantin sekolah mereka.Sebagai sekolah negeri yang memang khusus pelajaran agamanya di ruangan lain bagi murid penganut agama non-muslim, Bu Dharma akan secara acak menunjuk siapapun yang berwenang mengunci ruangan kapel hari itu. Sedangkan beliau sendiri akan menyerahkan daftar absensi ke Bu Ika, petugas Tata Usaha yang bertugas merekap seluruh absensi siswa SMP negeri tempat dia bekerja itu.“Mau ditemenin nggak?” tanya Abdi, yang tiba-tiba muncul di belakang Davi.“Ah, pasti lu mau sekalian ke kantin kan. Dasar! Tau aja gue mau kasih kunci ke Pak Agus.” Sahut Davi sambil menatap s
“Masih bergaul sama anak orang kaya itu, Ri?” tanya Eyang Putri sambil menatap Matari dengan tajam.Matari mendengus. “Lisa, Eyang. Bukan anak orang kaya itu.”“Iyaaa, Lisa kan anak orang kaya. Kamu harus tahu diri. Jangan keseringan main sama dia.” hardik Eyang Putri lagi.Matari tak menjawab, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Di sana Bulan, kakak perempuannya sedang duduk belajar. Saat itu, kakaknya masih duduk di kelas 2 SMA.“Kamu harus contoh kakakmu, dia selalu rajin belajar. Kerjaan kamu kalau nggak teleponan, nonton tv, dengerin musik kalau nggak baca novel.” tambah Eyang Putri lagi yang ternyata mengikutinya sampai ke kamar tidurnya yang memang berbagi ruang dengan kakak perempuannya.“Sudahlah, Yang. Aku lagi belajar nih, besok ada ujian.” Kata Bulan.“Ya, kamu juga nasehatin adek kamu ini. Kalian berdua ini nasibnya berbeda dengan anak yang lain.
Desember 2000 Matari memakai sarung tangan ekskul panahnya saat Abdi mendekat. Saat itu ekskul panahan akan mulai beberapa saat lagi. “Lo lagi sibuk, Ri? Ekskulnya belum mulai kan?” tanya Abdi sambil memperhatikan Matari. Matari merapikan anak panahnya dengan cepat. Pembina ekskul, Pak Adnan sudah tampak mengumpulkan peserta ekskul di kejauhan. “Elo nggak main bola?” tanya Matari, tanpa menjawab pertanyaan Abdi sebelumnya. “Minta nomor rumah lo dong, Ri.” jawab Abdi sambil mengambil bolpoinnya dari saku celana biru tuanyanya. “Hah? Buat apaan? Tumbennn…” sahut Matari heran. “Enggak, cuma mau nanyain soal mading.” kata Abdi. Matari mengerutkan keningnya, kemudian menyebutkan nomor telepon rumahnya dengan cepat. “Udah ya, gue ekskul dulu.” ************************************************************************** Keesokan harinya Matari tidak masuk sekolah. Malam sebelumnya dia demam setel
Matari menatap ruang ekskul Mading yang sepi seperti biasanya. Hanya ada Kak Citra yang sedang mengobrol dengan Kak Nana. Kak Seno tak terlihat di manapun. Bahkan Echa.“Itu dia, Matari. Gimana Ri? Denger-denger lo abis sakit ya?” tanya Kak Citra.“Si Seno pake bilang Matari kecapekan ngurus mading. Kita jadi enggak enak. Maap ya, Ri. Gue sekarang udah nggak akan bolos ekskul lagi, kok.”Matari tersenyum. “Bukan, Kak. Emang lagi drop aja.”“Oh iya, tadi Abdi nitipin ini buat lo. Roti sama susu kotak. Duh, enaknyaaaaa punya temen baik banget.” kata Kak Citra.Matari menatap merk susu kotak yang sama yang diberikan Abdi hari Senin kemarin lusa. Roti yang diberikan pun roti yang bukan dibeli di koperasi atau kantin sekolah. Orang yang memberikannya pasti terlalu niat sampai membeli produk di luar sekolah.“Sekarang Abdinya mana, Kak?” tanya Matari lagi.“Udah main bola lag
Rembulan menatap adiknya lekat-lekat.“Siapa? Siapa? Coba ulangi!” tanya Bulan heran.“Iko, Kak. Kakak tahu nggak?” ulang Matari sambil tersenyum lagi.“Iko siapa? Siapa nama panjangnya?” tanya Bulan lagi.“Nggak tahu, Kak. Pokoknya dia tetangga kita yang rumahnya gede banget itu. Yang warnacream, yang ada keliatan kolam renangnya.” sahut Matari.“Maksud lo, dia tinggal di rumah Bu Indira? Tetangga kita?”“Iyah. Dia anaknya.”“Gue nggak tahu Iko yang mana. Tapi gue tahu anak Bu Indira yang satu lagi. Mungkin kalo sekarang masih hidup, udah mau lulus kuliah kali ya. Dulu kan meninggal gara-gara balap liar kan di jalan besar sana. Heboh banget dulu. Gue masih SMP. Tapi Eyang bantu Bu Indira banget sih waktu pemakaman. Ibu juga datang ke pemakaman. Gue waktu itu disuruh jagain lo. Cuma gue nggak tahu namanya.”“Abangnya Iko itu
Saat tahun 2000-an, seperti beberapa orang di zaman sekarang, hampir semua remaja gemar mengirim salam lewat radio dan memesan lagu untuk diputarkan setelah pesan diucapkan oleh si pembawa acara. Tak terkecuali Thea. Dia hampir setiap hari memesan lagu untuk Kak Ben. Entah Kak Ben dengar atau tidak, tapi, Thea selalu merasa puas mengirimkan pesan dan lagunya lewat radio Prambors, radio yang digemari Thea dan teman-temannya saat itu.“Lo beneran nggak mau kirim salam buat Iko, Ri?” tanya Thea saat mereka berempat mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Lisa.Lagu yang dipesan oleh Thea: “Baby One More Time” nya Britney Spears mengalun di radio.“Iko? Siapa?” tanya Gilang, salah satu anggota kelompok mereka yang terpaksa bergabung karena harus genap sesuai jumlah kelompok yang diinformasikan Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia mereka.“Gebetannya Matari, Gilang.” Sahut Lisa.“Loh terus Abdi dikema
Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.“Kenapa lo?” tanya Lisa.“Bingung gue, gimana pulangnya?”“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”“Sepeda gue?”“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”“Iya juga ya.”&l