“Masih bergaul sama anak orang kaya itu, Ri?” tanya Eyang Putri sambil menatap Matari dengan tajam.
Matari mendengus. “Lisa, Eyang. Bukan anak orang kaya itu.”
“Iyaaa, Lisa kan anak orang kaya. Kamu harus tahu diri. Jangan keseringan main sama dia.” hardik Eyang Putri lagi.
Matari tak menjawab, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Di sana Bulan, kakak perempuannya sedang duduk belajar. Saat itu, kakaknya masih duduk di kelas 2 SMA.
“Kamu harus contoh kakakmu, dia selalu rajin belajar. Kerjaan kamu kalau nggak teleponan, nonton tv, dengerin musik kalau nggak baca novel.” tambah Eyang Putri lagi yang ternyata mengikutinya sampai ke kamar tidurnya yang memang berbagi ruang dengan kakak perempuannya.
“Sudahlah, Yang. Aku lagi belajar nih, besok ada ujian.” Kata Bulan.
“Ya, kamu juga nasehatin adek kamu ini. Kalian berdua ini nasibnya berbeda dengan anak yang lain. Kalian harus bisa berusaha sendiri…”
“Ssst, plis, Yang, aku mau belajar dulu.” kata Bulan memotong.
Eyang Putri akhirnya terdiam dan masih menggerutu sambil keluar dari ruangan itu yang telah menjadi kamar mereka selama bertahun-tahun ini.
Matari menatap Bulan. Bulan sebenarnya tampak tidak benar-benar sedang belajar. Dia hanya memotong potongan artis majalah An*ka Yess! favoritnya, Backstreet Boys untuk ditempel di kliping kecil artis-artis favoritnya. Ada sedikit kesal dalam dirinya, kakaknya kadang begitu manipulatif. Meskipun begitu, kakaknya masih sering membelanya di depan Eyang Putri.
“Eyang Putri nggak akan pernah membedakan bisa belajar atau nggak, Ri. Gue cuma duduk diam di meja gue saja, tapi gue nggak benar-benar belajar. Lo tahu itu. Yang penting Eyang nggak ganggu gue. Lo kudu bisa nemuin space buat lo sendiri, yang bisa lo lakuin sambil ngerjain hobi lo baca novel itu. Kalau dengerin W*lkman, sambil bobo aja. Toh Eyang lebih dulu tidur dibanding kita.” kata Bulan tanpa menoleh.
Matari tidak menjawab apapun. Kemudian melepas seragamnya dan bersiap makan siang.
***************************************************************************
Tidak ada anak manapun yang mau dititipkan. Begitu juga Matari. Dia yakin, kakaknya juga merasa seperti itu. Sepeninggal Ibu mereka karena sakit saat Matari duduk di bangku kelas 5 SD, dan kakak perempuannya duduk di kelas 3 SMP, dunia kecil Matari yang bahagia berubah.
Ayahnya akhirnya mengalah atas bujukan Ibunya alias Eyang Putri Matari untuk tinggal bersama mereka di kota sebelah. Kata Eyang, Ayah bisa fokus bekerja, dan Matari dan Rembulan bisa bersama-sama di bawah pengawasan Eyang Putri.
Eyang Putri, seingat Matari, dulu adalah nenek yang baik kepada cucunya. Jarang sekali marah. Namun, saat Matari dan Rembulan ikut tinggal bersama, sikap Eyang lama kelamaan berubah. Entah karena lelah, entah karena apapun, yang Matari sendiri tidak ingin tahu.
Ayah hanya datang seminggu sekali, karena pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan. Ayah masih bertahan di rumah lama mereka. Sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta yang berjarak kurang lebih dua jam dari rumah Eyang Putri mereka. Kadang, Matari ingin mengadu pada Ayahnya. Namun Ayah selalu tampak letih saat Sabtu pagi datang dengan motornya.
Suara deru mobil mengagetkan lamunan Matari. Dia menatap Bulan.
“Siapa?” tanya Matari pada kakaknya.
“Nggak tahu. Eyang itu disiplin. Mana mungkin nerima tamu jam segini.” sahut Bulan sambil membuka korden kamar mereka, mengintip.
“Mobil kijang hitam itu punyanya Om Budi kan? Ini kan bukan hari libur. Tumben ke sini. Kayanya sekeluarga lagi.” kata Bulan kemudian. “Tante Dina yang nyetir, Om Budi kaya lemes gitu deh.”
Matari berdiri di belakang kakaknya, ingin tahu tapi diurungkan niatnya untuk ikut mengintip juga.
“Sudah saya bilang sama kamu, Dina. Biar Budi saya yang rawat. Lihat kan, kamu nggak becus sih urus dia.” Suara Eyang Putri yang menggelegar terdengar dari luar kamar mereka. Begitu jelas, begitu pedas. Khas kalimat yang dilontarkan Eyang Putri ketika emosi.
Tante Dina adalah istri Om Budi. Om Budi merupakan adik kandung Ayah mereka. Mereka tinggal hanya sekitar satu jam jaraknya, meskipun masih di area Jakarta juga.
“Tok… tok… tok…” terdengar suara kamar mereka diketuk.
“Bulan, Matari, sementara kalian akan tidur bersama Sandra ya,” kata Tante Dina saat Bulan membukakan pintu kamar.
Di samping Tante Dina, berdiri seorang gadis seusia Matari. Tampak tenang meskipun matanya terlihat sembab.
“Sandra, besok Eyang Putri cari kasur tambahan buat kamu. Sementara tidur sempit-sempitan dulu sama Bulan dan Matari.” Kata Eyang Putri sambil berdiri di belakang Tante Dina dan Sandra.
Sandra menggeret kopernya masuk ke dalam. Eyang Putri dan Tante Dina berlalu ke kamar utama, tempat Om Budi tampak samar tertidur di dalamnya. Eyang Putri masih berkomentar mengenai keadaan Om Budi, meskipun tidak sekencang tadi.
“Sorry, girls. Gue numpang sementara ya. Diabetes bokap kambuh. Dan, karena Mama kerja, di rumah kurang diawasin, jadinya nggak bisa ketaker Papa makan apa aja. Padahal harus diet. Mba Arini, ART gue, nggak bisa bantu banyak . Bingung banget, kacau banget deh di rumah. Kalau di sini kan ada Eyang Putri sama Mbok Kalis. Ya semoga bisa bantu ngawasin.” Kata Sandra sambil membongkar kopernya.
“Trus sekolah lo bakalan jauh banget dong dari sini.” Kata Matari pada sepupunya, mendekat berusaha membantu.
Sandra menarik napas. “Iya. Untung Mama udah ada ojek langganan. Jadi selama itu gue bakalan diantar jemput dia.”
“Hhhh, semoga ya, Eyang Putri kita nggak makin menjadi deh…” sahut Bulan sambil kembali duduk di kursinya.
“Maksud kalian apa?” tanya Sandra.
Matari melotot pada kakaknya. “Nggak kok, San. Bulan cuma bercanda.”
**************************************************************************
Pagi itu, begitu berisik dengan suara Eyang Putri yang marah-marah. Sandra yang masih belum terbiasa berangkat sekolah dari rumah Eyang Putri, bangun kesiangan.
Matari yang berjalan beriringan dengan Bulan hanya bisa menahan tawa. Mereka akhirnya berangkat terlebih dulu, berjalan segera menuju sekolah masing-masing. Bulan hanya harus berangkat dengan satu kali angkutan umum, sekitar 5 menit sudah sampai di SMA swasta yang dituju. Sedangkan Matari masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit.
Memasuki gerbang sekolah, tampak olehnya Echa sedang berjalan membawa perlengkapan mading yang baru. Matari akhirnya menawarkan bantuan pada Echa. Selain karena satu ekskul di ekskul mading dan panahan, Matari dan Echa cukup dibilang dekat.
“Hari ini ada pengumuman apa yang harus ditempel ke papan mading, Cha?” tanya Matari pada Echa.
“Kayanya cuma ada pengumuman pembukaan panitia natal deh, Ri. Nanti bantu fotokopi ya. Besok baru banyak. Kata Kak Seno, besok jatah kelas 2 A ngumpulin mading mereka. Kita bantu sortir dan tempel di kertas asturo berwarna. Kamis bisa langsung tempel.” Sahut Echa sambil berjalan mendahului menuju ruang ekskul mading.
Di sana, Kak Seno sedang berdiri bersama Kak Ben. Berbincang mengenai pengumuman lomba puisi. Wah, seandainya ada Thea, bakalan seneng nih, batin Matari.
“Hai, kak. Ini aku bawain kertas asturo berwarna buat persiapan besok. Wah udah anak kelas 2 aja yang mulai ngumpulin mading. Kayanya baru kemarin kelas gue kumpul karya, Kak.” Kata Echa.
“Iya, ya. Udah giliran kelas 2 sekarang. Dan bakalan ada pengumuman lomba puisi juga. Kebetulan Ben yang jadi panitianya.” Kata Kak Seno.
“Hai, gue Ben.” Kata Kak Ben sambil menyalami Echa dan Matari satu-satu.
“Hahaha, saya Echa, Kak, ini Matari. Sebenarnya kakak nggak usah ngenalin diri, semua sekolah juga tahu sama kakak.” Kata Echa sambil bercanda.
“Hahaha, iya juga ya. Nasib gue jadi ketua Osis. Semua orang kenal gue, tapi gue nggak banyak kenal semua orang. Contohnya kalian. Adek-adeknya si Seno. Lucu banget ya, kalian. Ekskul mading itu nggak banyak orang tertarik loh. Soalnya kerjaannya ribet banget kalo lagi musim pengumpulan mading. Terus setiap 2 minggu sekali bongkar pasang mading. Tahun pas gue dan Seno jadi siswa baru, tahun lalu ya. Ekskul mading hampir nggak laku. Untung ada Seno dan Citra. Hidup lagi sekarang.” sahut Kak Ben panjang lebar.
“Dan untung juga pas tahun ajaran baru mereka ada. Gue aja heran, kenapa mereka bisa mau masuk ekskul ini. Kita dikasih jatah pakek ruangan ekskul barengan sama anak Teater. Untung anak teater seringnya latihan di Gedung Serbaguna. Jadi jarang pakai di sini,” timpal Kak Seno sambil memperhatikan ruangan ekskul mereka yang penuh dengan benda-benda ekskul teater.
“Pokoknya, anggap ekskul ini keluarga kecil kalian ya. Hidupkan kembali suasananya. Biar banyak orang tertarik untuk masuk ekskul ini. Apalagi tahun depan, gue dan Seno bakalan sibuk persiapan ujian nasional. Semoga di antara kalian akan jadi ketuanya.”
Matari tersenyum sambil mengangguk. Kemudian memasukkan barang-barang ekskul mading bersama Echa.
Matari hanya tidak yakin, tahun depan masih akan berada di ekskul yang sama. Mengingat ekskul Panahan cukup membuatnya lebih tertarik untuk lebih serius.
Ekskul Mading sebenarnya beranggotakan sekitar 10 orang lainnya. Namun beberapa hanya muncul sesekali saja. Hanya Echa dan Matari yang paling rajin. Kalau Matari sendiri, karena dari kecil dia gemar menulis cerpen. Mading adalah salah satu wadah kecil yang bisa memuat karyanya tanpa perlu mengirimkan melalui pos atau lewat penerbit.
Untuk kelas 2, selain Kak Seno sebagai ketuanya, ada Kak Citra sebagai wakil ketua. Kemudian Kak Nana sebagai bendahara. Sisanya ada beberapa anak lain yang bahkan Matari dan Echa hanya tahu nama-namanya saja. Kalau Kak Ben, selain aktif di Osis, dia adalah Kapten team Basket kelas 2.
Beberapa kejuaraan antar sekolah membuatnya sibuk. Namun, karena dia hobi membuat puisi dan membuat lagu-lagu sederhana dari puisinya, dia sering mengirimkan karya di ekskul mading. Kalau kata Kak Seno, Kak Ben adalah anggota tidak tetap mereka yang paling rajin mengumpulkan karya.
Untuk kelas 3, mereka sudah tidak diwajibkan untuk ikut ekskul. Jikapun ikut, mereka tidak akan terlalu terjun berpartisipasi. Kebanyakan anak kelas 3 hanya mengirim karya secara perorangan untuk ikut ditampilkan di giliran mading.
Kelas 1, selain Echa dan Matari, sebenarnya ada Lisa juga, namun gadis itu lebih sering datang bimbel, karena disuruh orangtuanya. Lisa tidak terlalu pintar dalam pelajaran. Oleh karena itu, ekskul yang diikutinya hanya ekskul wajib Pramuka dan ekskul pilihan mading, hanya sebagai anggota biasa.
Selain mereka bertiga, ada beberapa anak laki-laki, yang bergabung karena tidak tertarik dengan ekskul lain. Diantaranya ada Abdi, Pito dan Ronald. Hanya Abdi yang sesekali menengok dan membantu. Pito dan Ronald hanya datang sebentar kemudian main bola di lapangan.
Pembina mereka adalah Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia termuda di SMP mereka. Bu Tasya orang yang baik. Saat ekskul beliau sering membawakan snack dan minuman sisa dari koperasi atau kantin sekolah yang tidak laku secara gratis. Untuk anak-anak SMP yang masih sangat bertumbuh seperti mereka dan uang saku terbatas, tentu hal itu menjadi daya tarik tersendiri.
Bagi Matari, ekskul mading adalah dunia dan keluarga barunya yang lain. Yang lebih nyaman dibandingkan rumah Eyang Putrinya. Setidaknya untuk beberapa saat.
*************************************************************************
“Jadi, Kak Ben ketua panitia lomba puisi nih? Berarti gue harus ikut lomba dong!” kata Thea antusias saat mendengar cerita Matari.
“Woi, jangan maruk, woi. Lo kan udah bakalan gabung jadi team inti basket kelas 1, cadangan anak kelas 2 pas kejuaraan. Waktu lo akan habis buat latihan,” timpal Lisa.
“Woi, puisi tuh gampang beberapa kalimat doang, beres,” sahut Thea. “Yang penting bisa ketemu Kak Ben.”
“Nggak gitu dong. Puisi susah tahu,” timpal Lisa lagi.
“Ya itu mah elo. Apa-apa juga susah buat lo,” kata Thea.
“Sadisss lo, Thea. Gini-gini bakat gue ada. Walopun cuma modelling.” Lisa nyengir, menampilkan kawat giginya yang berwarna pink.
Matari tertawa. “Udah-udah. Kalian yah kalo udah berantem kaga kelar-kelar. Btw, Lis, ntar siang kita harus sebar brosur pembukaan panitia natal 2000. Mendingan elo ikut kepanitiaan itu dah, Thea, soalnya Kak Ben pasti akan ngasih sambutan, doi kan Ketua Osis.”
Thea mengangguk-angguk semangat. “Eh, lo keliling cuma bertigaan palingan kan? Sama anak kelas sebelah tuh, si Echa doang kan? Ikut dooong gue. Gue mau nempel di kelas Kak Ben.”
Lisa menarik napas. “Iya, iya. Jam berapa kelilingnya, Ri?”
“Kata Kak Seno, 30 menit sebelum kelas bubar. Biar nggak ganggu pelajaran kita. Dan informasi juga sampai ke orang-orang yang tertarik.”
Desember 2000 Matari memakai sarung tangan ekskul panahnya saat Abdi mendekat. Saat itu ekskul panahan akan mulai beberapa saat lagi. “Lo lagi sibuk, Ri? Ekskulnya belum mulai kan?” tanya Abdi sambil memperhatikan Matari. Matari merapikan anak panahnya dengan cepat. Pembina ekskul, Pak Adnan sudah tampak mengumpulkan peserta ekskul di kejauhan. “Elo nggak main bola?” tanya Matari, tanpa menjawab pertanyaan Abdi sebelumnya. “Minta nomor rumah lo dong, Ri.” jawab Abdi sambil mengambil bolpoinnya dari saku celana biru tuanyanya. “Hah? Buat apaan? Tumbennn…” sahut Matari heran. “Enggak, cuma mau nanyain soal mading.” kata Abdi. Matari mengerutkan keningnya, kemudian menyebutkan nomor telepon rumahnya dengan cepat. “Udah ya, gue ekskul dulu.” ************************************************************************** Keesokan harinya Matari tidak masuk sekolah. Malam sebelumnya dia demam setel
Matari menatap ruang ekskul Mading yang sepi seperti biasanya. Hanya ada Kak Citra yang sedang mengobrol dengan Kak Nana. Kak Seno tak terlihat di manapun. Bahkan Echa.“Itu dia, Matari. Gimana Ri? Denger-denger lo abis sakit ya?” tanya Kak Citra.“Si Seno pake bilang Matari kecapekan ngurus mading. Kita jadi enggak enak. Maap ya, Ri. Gue sekarang udah nggak akan bolos ekskul lagi, kok.”Matari tersenyum. “Bukan, Kak. Emang lagi drop aja.”“Oh iya, tadi Abdi nitipin ini buat lo. Roti sama susu kotak. Duh, enaknyaaaaa punya temen baik banget.” kata Kak Citra.Matari menatap merk susu kotak yang sama yang diberikan Abdi hari Senin kemarin lusa. Roti yang diberikan pun roti yang bukan dibeli di koperasi atau kantin sekolah. Orang yang memberikannya pasti terlalu niat sampai membeli produk di luar sekolah.“Sekarang Abdinya mana, Kak?” tanya Matari lagi.“Udah main bola lag
Rembulan menatap adiknya lekat-lekat.“Siapa? Siapa? Coba ulangi!” tanya Bulan heran.“Iko, Kak. Kakak tahu nggak?” ulang Matari sambil tersenyum lagi.“Iko siapa? Siapa nama panjangnya?” tanya Bulan lagi.“Nggak tahu, Kak. Pokoknya dia tetangga kita yang rumahnya gede banget itu. Yang warnacream, yang ada keliatan kolam renangnya.” sahut Matari.“Maksud lo, dia tinggal di rumah Bu Indira? Tetangga kita?”“Iyah. Dia anaknya.”“Gue nggak tahu Iko yang mana. Tapi gue tahu anak Bu Indira yang satu lagi. Mungkin kalo sekarang masih hidup, udah mau lulus kuliah kali ya. Dulu kan meninggal gara-gara balap liar kan di jalan besar sana. Heboh banget dulu. Gue masih SMP. Tapi Eyang bantu Bu Indira banget sih waktu pemakaman. Ibu juga datang ke pemakaman. Gue waktu itu disuruh jagain lo. Cuma gue nggak tahu namanya.”“Abangnya Iko itu
Saat tahun 2000-an, seperti beberapa orang di zaman sekarang, hampir semua remaja gemar mengirim salam lewat radio dan memesan lagu untuk diputarkan setelah pesan diucapkan oleh si pembawa acara. Tak terkecuali Thea. Dia hampir setiap hari memesan lagu untuk Kak Ben. Entah Kak Ben dengar atau tidak, tapi, Thea selalu merasa puas mengirimkan pesan dan lagunya lewat radio Prambors, radio yang digemari Thea dan teman-temannya saat itu.“Lo beneran nggak mau kirim salam buat Iko, Ri?” tanya Thea saat mereka berempat mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Lisa.Lagu yang dipesan oleh Thea: “Baby One More Time” nya Britney Spears mengalun di radio.“Iko? Siapa?” tanya Gilang, salah satu anggota kelompok mereka yang terpaksa bergabung karena harus genap sesuai jumlah kelompok yang diinformasikan Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia mereka.“Gebetannya Matari, Gilang.” Sahut Lisa.“Loh terus Abdi dikema
Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.“Kenapa lo?” tanya Lisa.“Bingung gue, gimana pulangnya?”“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”“Sepeda gue?”“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”“Iya juga ya.”&l
Januari, 2001Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. G
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Februari 2001“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepedabro, bukan santai-santai di tepi jalan!”Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama