Share

Bab 2 Keluarga

“Masih bergaul sama anak orang kaya itu, Ri?” tanya Eyang Putri sambil menatap Matari dengan tajam.

Matari mendengus. “Lisa, Eyang. Bukan anak orang kaya itu.”

“Iyaaa, Lisa kan anak orang kaya. Kamu harus tahu diri. Jangan keseringan main sama dia.” hardik Eyang Putri lagi.

Matari tak menjawab, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Di sana Bulan, kakak perempuannya sedang duduk belajar. Saat itu, kakaknya masih duduk di kelas 2 SMA.

“Kamu harus contoh kakakmu, dia selalu rajin belajar. Kerjaan kamu kalau nggak teleponan, nonton tv, dengerin musik kalau nggak baca novel.” tambah Eyang Putri lagi yang ternyata mengikutinya sampai ke kamar tidurnya yang memang berbagi ruang dengan kakak perempuannya.

“Sudahlah, Yang. Aku lagi belajar nih, besok ada ujian.” Kata Bulan.

“Ya, kamu juga nasehatin adek kamu ini. Kalian berdua ini nasibnya berbeda dengan anak yang lain. Kalian harus bisa berusaha sendiri…”

“Ssst, plis, Yang, aku mau belajar dulu.” kata Bulan memotong.

Eyang Putri akhirnya terdiam dan masih menggerutu sambil keluar dari ruangan itu yang telah menjadi kamar mereka selama bertahun-tahun ini.

Matari menatap Bulan. Bulan sebenarnya tampak tidak benar-benar sedang belajar. Dia hanya memotong potongan artis majalah An*ka Yess! favoritnya, Backstreet Boys untuk ditempel di kliping kecil artis-artis favoritnya. Ada sedikit kesal dalam dirinya, kakaknya kadang begitu manipulatif. Meskipun begitu, kakaknya masih sering membelanya di depan Eyang Putri.

“Eyang Putri nggak akan pernah membedakan bisa belajar atau nggak, Ri. Gue cuma duduk diam di meja gue saja, tapi gue nggak benar-benar belajar. Lo tahu itu. Yang penting Eyang nggak ganggu gue. Lo kudu bisa nemuin space buat lo sendiri, yang bisa lo lakuin sambil ngerjain hobi lo baca novel itu. Kalau dengerin W*lkman, sambil bobo aja. Toh Eyang lebih dulu tidur dibanding kita.” kata Bulan tanpa menoleh.

Matari tidak menjawab apapun. Kemudian melepas seragamnya dan bersiap makan siang.

***************************************************************************

Tidak ada anak manapun yang mau dititipkan. Begitu juga Matari. Dia yakin, kakaknya juga merasa seperti itu. Sepeninggal Ibu mereka karena sakit saat Matari duduk di bangku kelas 5 SD, dan kakak perempuannya duduk di kelas 3 SMP, dunia kecil Matari yang bahagia berubah.

Ayahnya akhirnya mengalah atas bujukan Ibunya alias Eyang Putri Matari untuk tinggal bersama mereka di kota sebelah. Kata Eyang, Ayah bisa fokus bekerja, dan Matari dan Rembulan bisa bersama-sama di bawah pengawasan Eyang Putri.

Eyang Putri, seingat Matari, dulu adalah nenek yang baik kepada cucunya. Jarang sekali marah. Namun, saat Matari dan Rembulan ikut tinggal bersama, sikap Eyang lama kelamaan berubah. Entah karena lelah, entah karena apapun, yang Matari sendiri tidak ingin tahu.

Ayah hanya datang seminggu sekali, karena pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan. Ayah masih bertahan di rumah lama mereka. Sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta yang berjarak kurang lebih dua jam dari rumah Eyang Putri mereka. Kadang, Matari ingin mengadu pada Ayahnya. Namun Ayah selalu tampak letih saat Sabtu pagi datang dengan motornya.

Suara deru mobil mengagetkan lamunan Matari. Dia menatap Bulan.

“Siapa?” tanya Matari pada kakaknya.

“Nggak tahu. Eyang itu disiplin. Mana mungkin nerima tamu jam segini.” sahut Bulan sambil membuka korden kamar mereka, mengintip.

“Mobil kijang hitam itu punyanya Om Budi kan? Ini kan bukan hari libur. Tumben ke sini. Kayanya sekeluarga lagi.” kata Bulan kemudian. “Tante Dina yang nyetir, Om Budi kaya lemes gitu deh.”

Matari berdiri di belakang kakaknya, ingin tahu tapi diurungkan niatnya untuk ikut mengintip juga.

“Sudah saya bilang sama kamu, Dina. Biar Budi saya yang rawat. Lihat kan, kamu nggak becus sih urus dia.” Suara Eyang Putri yang menggelegar terdengar dari luar kamar mereka. Begitu jelas, begitu pedas. Khas kalimat yang dilontarkan Eyang Putri ketika emosi.

Tante Dina adalah istri Om Budi. Om Budi merupakan adik kandung Ayah mereka. Mereka tinggal hanya sekitar satu jam jaraknya, meskipun masih di area Jakarta juga.

“Tok… tok… tok…” terdengar suara kamar mereka diketuk.

“Bulan, Matari, sementara kalian akan tidur bersama Sandra ya,” kata Tante Dina saat Bulan membukakan pintu kamar.

Di samping Tante Dina, berdiri seorang gadis seusia Matari. Tampak tenang meskipun matanya terlihat sembab.

“Sandra, besok Eyang Putri cari kasur tambahan buat kamu. Sementara tidur sempit-sempitan dulu sama Bulan dan Matari.” Kata Eyang Putri sambil berdiri di belakang Tante Dina dan Sandra.

Sandra menggeret kopernya masuk ke dalam. Eyang Putri dan Tante Dina berlalu ke kamar utama, tempat Om Budi tampak samar tertidur di dalamnya. Eyang Putri masih berkomentar mengenai keadaan Om Budi, meskipun tidak sekencang tadi.

Sorry, girls. Gue numpang sementara ya. Diabetes bokap kambuh. Dan, karena Mama kerja, di rumah kurang diawasin, jadinya nggak bisa ketaker Papa makan apa aja. Padahal harus diet. Mba Arini, ART gue, nggak bisa bantu banyak . Bingung banget, kacau banget deh di rumah. Kalau di sini kan ada Eyang Putri sama Mbok Kalis. Ya semoga bisa bantu ngawasin.” Kata Sandra sambil membongkar kopernya.

“Trus sekolah lo bakalan jauh banget dong dari sini.” Kata Matari pada sepupunya, mendekat berusaha membantu.

Sandra menarik napas. “Iya. Untung Mama udah ada ojek langganan. Jadi selama itu gue bakalan diantar jemput dia.”

“Hhhh, semoga ya, Eyang Putri kita nggak makin menjadi deh…” sahut Bulan sambil kembali duduk di kursinya.

“Maksud kalian apa?” tanya Sandra.

Matari melotot pada kakaknya. “Nggak kok, San. Bulan cuma bercanda.”

**************************************************************************

Pagi itu, begitu berisik dengan suara Eyang Putri yang marah-marah. Sandra yang masih belum terbiasa berangkat sekolah dari rumah Eyang Putri, bangun kesiangan.

Matari yang berjalan beriringan dengan Bulan hanya bisa menahan tawa. Mereka akhirnya berangkat terlebih dulu, berjalan segera menuju sekolah masing-masing. Bulan hanya harus berangkat dengan satu kali angkutan umum, sekitar 5 menit sudah sampai di SMA swasta yang dituju. Sedangkan Matari masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit.

Memasuki gerbang sekolah, tampak olehnya Echa sedang berjalan membawa perlengkapan mading yang baru. Matari akhirnya menawarkan bantuan pada Echa. Selain karena satu ekskul di ekskul mading dan panahan, Matari dan Echa cukup dibilang dekat.

“Hari ini ada pengumuman apa yang harus ditempel ke papan mading, Cha?” tanya Matari pada Echa.

“Kayanya cuma ada pengumuman pembukaan panitia natal deh, Ri. Nanti bantu fotokopi ya. Besok baru banyak. Kata Kak Seno, besok jatah kelas 2 A ngumpulin mading mereka. Kita bantu sortir dan tempel di kertas asturo berwarna. Kamis bisa langsung tempel.” Sahut Echa sambil berjalan mendahului menuju ruang ekskul mading.

Di sana, Kak Seno sedang berdiri bersama Kak Ben. Berbincang mengenai pengumuman lomba puisi. Wah, seandainya ada Thea, bakalan seneng nih, batin Matari.

“Hai, kak. Ini aku bawain kertas asturo berwarna buat persiapan besok. Wah udah anak kelas 2 aja yang mulai ngumpulin mading. Kayanya baru kemarin kelas gue kumpul karya, Kak.” Kata Echa.

“Iya, ya. Udah giliran kelas 2 sekarang. Dan bakalan ada pengumuman lomba puisi juga. Kebetulan Ben yang jadi panitianya.” Kata Kak Seno.

“Hai, gue Ben.” Kata Kak Ben sambil menyalami Echa dan Matari satu-satu.

“Hahaha, saya Echa, Kak, ini Matari. Sebenarnya kakak nggak usah ngenalin diri, semua sekolah juga tahu sama kakak.” Kata Echa sambil bercanda.

“Hahaha, iya juga ya. Nasib gue jadi ketua Osis. Semua orang kenal gue, tapi gue nggak banyak kenal semua orang. Contohnya kalian. Adek-adeknya si Seno. Lucu banget ya, kalian. Ekskul mading itu nggak banyak orang tertarik loh. Soalnya kerjaannya ribet banget kalo lagi musim pengumpulan mading. Terus setiap 2 minggu sekali bongkar pasang mading. Tahun pas gue dan Seno jadi siswa baru, tahun lalu ya. Ekskul mading hampir nggak laku. Untung ada Seno dan Citra. Hidup lagi sekarang.” sahut Kak Ben panjang lebar.

“Dan untung juga pas tahun ajaran baru mereka ada. Gue aja heran, kenapa mereka bisa mau masuk ekskul ini. Kita dikasih jatah pakek ruangan ekskul barengan sama anak Teater. Untung anak teater seringnya latihan di Gedung Serbaguna. Jadi jarang pakai di sini,” timpal Kak Seno sambil memperhatikan ruangan ekskul mereka yang penuh dengan benda-benda ekskul teater.

“Pokoknya, anggap ekskul ini keluarga kecil kalian ya. Hidupkan kembali suasananya. Biar banyak orang tertarik untuk masuk ekskul ini. Apalagi tahun depan, gue dan Seno bakalan sibuk persiapan ujian nasional. Semoga di antara kalian akan jadi ketuanya.”

Matari tersenyum sambil mengangguk. Kemudian memasukkan barang-barang ekskul mading bersama Echa.

Matari hanya tidak yakin, tahun depan masih akan berada di ekskul yang sama. Mengingat ekskul Panahan cukup membuatnya lebih tertarik untuk lebih serius.

Ekskul Mading sebenarnya beranggotakan sekitar 10 orang lainnya. Namun beberapa hanya muncul sesekali saja. Hanya Echa dan Matari yang paling rajin. Kalau Matari sendiri, karena dari kecil dia gemar menulis cerpen. Mading adalah salah satu wadah kecil yang bisa memuat karyanya tanpa perlu mengirimkan melalui pos atau lewat penerbit.

Untuk kelas 2, selain Kak Seno sebagai ketuanya, ada Kak Citra sebagai wakil ketua. Kemudian Kak Nana sebagai bendahara. Sisanya ada beberapa anak lain yang bahkan Matari dan Echa hanya tahu nama-namanya saja. Kalau Kak Ben, selain aktif di Osis, dia adalah Kapten team Basket kelas 2.

Beberapa kejuaraan antar sekolah membuatnya sibuk. Namun, karena dia hobi membuat puisi dan membuat lagu-lagu sederhana dari puisinya, dia sering mengirimkan karya di ekskul mading. Kalau kata Kak Seno, Kak Ben adalah anggota tidak tetap mereka yang paling rajin mengumpulkan karya.

Untuk kelas 3, mereka sudah tidak diwajibkan untuk ikut ekskul. Jikapun ikut, mereka tidak akan terlalu terjun berpartisipasi. Kebanyakan anak kelas 3 hanya mengirim karya secara perorangan untuk ikut ditampilkan di giliran mading.

Kelas 1, selain Echa dan Matari, sebenarnya ada Lisa juga, namun gadis itu lebih sering datang bimbel, karena disuruh orangtuanya. Lisa tidak terlalu pintar dalam pelajaran. Oleh karena itu, ekskul yang diikutinya hanya ekskul wajib Pramuka dan ekskul pilihan mading, hanya sebagai anggota biasa.

Selain mereka bertiga, ada beberapa anak laki-laki, yang bergabung karena tidak tertarik dengan ekskul lain. Diantaranya ada Abdi, Pito dan Ronald. Hanya Abdi yang sesekali menengok dan membantu. Pito dan Ronald hanya datang sebentar kemudian main bola di lapangan.

Pembina mereka adalah Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia termuda di SMP mereka. Bu Tasya orang yang baik. Saat ekskul beliau sering membawakan snack dan minuman sisa dari koperasi atau kantin sekolah yang tidak laku secara gratis. Untuk anak-anak SMP yang masih sangat bertumbuh seperti mereka dan uang saku terbatas, tentu hal itu menjadi daya tarik tersendiri.

Bagi Matari, ekskul mading adalah dunia dan keluarga barunya yang lain. Yang lebih nyaman dibandingkan rumah Eyang Putrinya. Setidaknya untuk beberapa saat.

*************************************************************************

“Jadi, Kak Ben ketua panitia lomba puisi nih? Berarti gue harus ikut lomba dong!” kata Thea antusias saat mendengar cerita Matari.

“Woi, jangan maruk, woi. Lo kan udah bakalan gabung jadi team inti basket kelas 1, cadangan anak kelas 2 pas kejuaraan. Waktu lo akan habis buat latihan,” timpal Lisa.

“Woi, puisi tuh gampang beberapa kalimat doang, beres,” sahut Thea. “Yang penting bisa ketemu Kak Ben.”

“Nggak gitu dong. Puisi susah tahu,” timpal Lisa lagi.

“Ya itu mah elo. Apa-apa juga susah buat lo,” kata Thea.

“Sadisss lo, Thea. Gini-gini bakat gue ada. Walopun cuma modelling.” Lisa nyengir, menampilkan kawat giginya yang berwarna pink.

Matari tertawa. “Udah-udah. Kalian yah kalo udah berantem kaga kelar-kelar. Btw, Lis, ntar siang kita harus sebar brosur pembukaan panitia natal 2000. Mendingan elo ikut kepanitiaan itu dah, Thea, soalnya Kak Ben pasti akan ngasih sambutan, doi kan Ketua Osis.”

Thea mengangguk-angguk semangat. “Eh, lo keliling cuma bertigaan palingan kan? Sama anak kelas sebelah tuh, si Echa doang kan? Ikut dooong gue. Gue mau nempel di kelas Kak Ben.”

Lisa menarik napas. “Iya, iya. Jam berapa kelilingnya, Ri?”

“Kata Kak Seno, 30 menit sebelum kelas bubar. Biar nggak ganggu pelajaran kita. Dan informasi juga sampai ke orang-orang yang tertarik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status