Rembulan menatap adiknya lekat-lekat.
“Siapa? Siapa? Coba ulangi!” tanya Bulan heran.
“Iko, Kak. Kakak tahu nggak?” ulang Matari sambil tersenyum lagi.
“Iko siapa? Siapa nama panjangnya?” tanya Bulan lagi.
“Nggak tahu, Kak. Pokoknya dia tetangga kita yang rumahnya gede banget itu. Yang warna cream, yang ada keliatan kolam renangnya.” sahut Matari.
“Maksud lo, dia tinggal di rumah Bu Indira? Tetangga kita?”
“Iyah. Dia anaknya.”
“Gue nggak tahu Iko yang mana. Tapi gue tahu anak Bu Indira yang satu lagi. Mungkin kalo sekarang masih hidup, udah mau lulus kuliah kali ya. Dulu kan meninggal gara-gara balap liar kan di jalan besar sana. Heboh banget dulu. Gue masih SMP. Tapi Eyang bantu Bu Indira banget sih waktu pemakaman. Ibu juga datang ke pemakaman. Gue waktu itu disuruh jagain lo. Cuma gue nggak tahu namanya.”
“Abangnya Iko itu, Kak, yang meninggal.”
“Oh, jadi Iko ini anak kedua dari Bu Indira? Terus kenapa tanya-tanya?”
“Ya barang kali kakak pernah lihat di sekolah.”
“Woi, anak SMA tuh banyak banget. Jangan samain sama anak SMP ya. Kelas kalian cuma sampai F kali aja 3. SMA gue aja satu Angkatan ada 9 kelas. Belum yang kakak-kakak kelas yang masih dibagi IPA-IPS-Bahasa. Cobaaaa…. Mana hapal gue.”
“Tapi Iko tahu Kakak lho.”
“Lu manggil Iko, Iko aja? Nggak pake Bang, Mas, Kak? Parah lu. Jangan kaya gitu sama temen-temen gue ya.”
“Enggaklah, Kak. Itu Iko yang mau kok. Gue juga nggak berani di depan Eyang Putri.”
“Iyalah, Eyang Putri pasti marah.”
“Ganteng deh kak, si Iko.”
“Ganteng? Hahahaha. Baru kali ini denger lo ngomong cowok ganteng. Biasanya yang lo komen cuma artis tv.”
“Iya, Kak. Habisnya tadi dia senyum sama gue dan senyumnya itu bikin Matari rasanya kaya malu gitu, kak.”
“Itu namanya lo naksir. Dasar ABG!”
“Woi woi, ada apa nih? Siapa yang naksir siapa?”
Sandra tiba-tiba masuk dan duduk di antara mereka.
“Sandra udah tahu?”
Matari mengangguk.
“Udah dong, udah diceritain gue tadi sama dia. Soal Iko kan? Ganteng emang, Kak. Kalo abangnya ganteng juga kak?”
“Yah, mana gue tahu. Gue nggak ngerti definisi gantengnya gimana. Kalau abangnya biasa aja. Cuma waktu meninggal wajahnya remuk, orang nabrak aspal.”
“KAKAK! Jangan ngomong gitu dong, tega banget.”
“Gue ngomong sesuai kenyataan aja, adik-adik. Sekalian mau ngingetin ya.
Kalian itu masih bocah. Naksir boleh. Pacaran boleh. Asal tahu batas-batasnya ya. Awas kalau gue denger kalian kena skors kaya sepupu kalian itu, si kebanggaan Eyang Putri.”
“Kak Tiwi, anaknya Tante Marini maksud Kak Bulan?” tanya Sandra.
“Iya. Kalian tahu kan, Kak Tiwi kalo pacaran suka nggak lihat tempat. Kemarin kena skors gara-gara ketahuan ciuman sama cowoknya. Jangan ditiru ya! Masa depan itu masih panjang. Jangan sampai masalah cowok jadi penghalang kalian.”
“Tapi dia disayang banget sama Eyang Putri.”
“Kalo itu gue no comment ya. Soalnya Kak Tiwi kan jauh, jarang ketemu
Eyang Putri. Sekalinya datang, mijitin Eyang Putri, bikini minum, cari muka bangetlah.”
“Iya, Eyang Putri suka pilih kasih kalau sama Kak Tiwi. Tiap lebaran duit angpaunya lebih banyak dari kita-kita.”
“Makanya, kalian mijitin Eyang Putri siapa tahu dapat gocapan.”
“Ih, ogah. Eyang Putri suka ngomel.”
“Ya itu lo tahu. Gue aja ogah. Dah sana kalian nonton tv kek. Gue mau belajar.”
Matari menatap kakaknya, yang kembali duduk dengan serius di meja belajarnya. Kali ini kakaknya tidak mengurusi kliping artisnya. Dia benar-benar belajar.
“Yuk, San. Kita main di luar.”
***************************************************************************
Menjadi kakak, buat Rembulan adalah beban yang berat sepeninggal Ibunya. Adiknya masih kecil, meskipun sudah bisa mengurus diri sendiri secara sederhana seperti makan, minum, menyiapkan bekalnya sendiri dan lain-lain. Hal yang sudah diajarkan Ibu mereka sejak kecil.
Bulan mengira, mungkin Ibunya tahu kalau umurnya tidak akan panjang seperti Ibu anak-anak yang lain. Dan dia harus mempersiapkan dua putrinya menghadapinya.
Bagi Bulan, dia sedih, tidak ada tempat bersandar. Hal-hal remeh temeh seperti hanya memeluk saat nyeri haid datang. Atau menyambut saat mereka pulang sekolah. Membuatkan makanan hangat saat mereka sakit. Mengantar ke dokter. Dan membela mereka saat Eyang Putri mulai menyalahkan apa saja yang bisa disalahkan.
Ayah hanya datang seminggu sekali. Karena laki-laki, dia cukup kaku untuk seorang Ayah. Yang ditanyakan setiap minggu sama. Bagaimana sekolah? Uang saku kamu dan adik masih? Ada yang perlu dibeli? Itu-itu saja.
Dia kadang kasihan pada adiknya. Anak itu sering tampak melamun. Dia hanya terbuka pada Bulan dan Sandra. Punya dua sahabat, namun salah satunya tidak pernah disukai Eyang Putrinya. Pernah, saat haid pertama kali di awal masuk SMP, diantarkan oleh Lisa, wajahnya pucat. Dan tampak kebingungan.
Eyang Putri tentu memanggilnya untuk membantu mengurus adiknya. Jaman dulu pembalut belum semaju sekarang. Bulan mengajari adiknya untuk mencuci pakaian dalamnya sendiri, bagaimana agar noda darah haid itu hilang. Bagaimana membuang pembalut yg benar, semuanya.
Dan meskipun sudah diajarkan, sampai sekarang bekas pembalut terkadang tertinggal di kamar mandi. Eyang Putri pun marah-marah pada Matari dan Bulan. Karena capek, Bulan sering pula memarahi adiknya bagaimana sering teledor seperti itu.
“Ingat, Matari. Di luar sana akan selalu ada orang yang tidak suka dengan kita.” Kata Bulan suatu ketika. “Jadi, kamu harus bisa semuanya sendiri. HARUS!”
“Eyang Putri?”
“Kenapa dengan Eyang Putri?”
“Dia juga nggak suka sama kita ya, Kak?”
“Itu, entahlah. Kadang beberapa nasehatnya masih bisa logis, beberapa enggak sama sekali. Tapi apapun itu, lo harus bisa semuanya. Jangan sampai merepotkan orang lain. Ngerti?”
Matari mengangguk.
“Gue akan cepet lulus SMA, lulus kuliah, dan gue harap gue bisa cari kerja yang layak buat kita. Nanti kita berdua keluar dari rumah ini. Ngekos kek atau ngontrak di mana gitu.”
“Emang boleh sama Ayah?”
“Boleh, mungkin. Ayah sendiri datang hanya seminggu sekali kan?”
“Terus kalau gue mau ketemu Ayah gimana?”
“Kita ke sini. Atau Ayah yang datang ke tempat kita. Gampang kan?”
Matari mengangguk.
“Lo harus rajin sekolah, nggak boleh sampe DO. Ayah udah janji sama gue, bakalan nyekolahin kita berdua sampe jadi sarjana. Jadi, lo nggak boleh nyia-nyiain kesempatan itu.”
Matari menatap kakaknya. Kakaknya harus lebih dewasa dari usia sebenarnya, karena dia harus membawa adiknya menuju cita-citanya dan juga cita-citanya sendiri.
“Nggak semua orang yang single parent, anaknya punya kesempatan bisa sampe kuliah. Bisa sampai jadi sarjana. Nggak semua orang, Matari. Temen gue pun ya, bahkan selepas SMA ada yang udah pasti nggak akan lanjut kuliah. Dia bahkan udah pernah ngomong sama gue. Mau jadi SPG aja. Kerja. Karena ya itu tadi, Ri. Nggak semua orang punya kesempatan yang sama. Padahal temen gue itu ortunya masih lengkap. Tapi, biaya nggak ada. Kalau dia kuliah, adik-adiknya nggak akan bisa sekolah.”
“Terus kalo kakak kuliah, gue sendirian dong di rumah Eyang ini?”
“Hmmm, iya. Mau gimana lagi, Ri. Dan ketika gue kuliah, lo pasti mungkin sebentar lagi masuk SMA. Lo akan sibuk. Belajar aja, Ri. Pake meja belajar gue aja. Mungkin saat SMA lo akan sibuk. Coba bujuk Ayah buat ambil sekolah swasta, kaya gue kemarin. Sekolah swasta ekskulnya lebih banyak macemnya. Cuma emang lebih mahal. Tapi bisa isi waktu luang lo. Kalo lo di SMA negeri, selain yang bagus itu jauh dari sini, akan banyak habis waktu di jalan.”
“Nggak papa, Kak. Malah enak kalau aku sampe sini udah malem. Tinggal bobo doang.”
Bulan menggeleng. “No. Lo kudu mikir, pulang malem itu rawan. Lo kudu bisa jaga diri lo sendiri. Oke, mungkin lo bisa naik sepeda, tapi, trus mau apa? Tetep aja lo cewe yang kalau di jaman sekarang, kaum kita itu gampang dengan mudah dilecehkan oleh para orang-orang di luar sana. Jadi lo kudu mikir panjang, OK?”
“Oke, Kak.”
“Dan mungkin, entah gue mau ngomong ini kabar bahagia atau enggak. Tapi, Sandra mungkin akan lama di sini.”
“Maksud Kakak?”
“Om Budi kayanya udah parah banget. Kemarin pas Ayah datang, gue denger mereka ngomongin soal wasiat gitu. Dan gue juga liat Tante Dina banyak nangis. Eyang Putri juga. Kemungkinan terburuk adalah, mereka akan lama di sini dan mungkin lo sama Sandra akan ada di SMP yang sama nantinya. Tahun depan, Sandra akan dipindahin ke SMP lo.”
Matari tidak bisa berkata-kata.
“Itu yang gue bilang, Ri. Nggak ada garansi gue, elo, siapapun di rumah ini akan hidup selamanya. Jadi, kalau lo bisa berjuang sendirian, berjuanglah. Kita harus lihat Tante Dina. Beliau kerja, jadi ketika Om Budi nggak bisa memenuhi nafkah keluarga kaya gini, keuangan mereka nggak terlalu berantakan.”Ba
Saat tahun 2000-an, seperti beberapa orang di zaman sekarang, hampir semua remaja gemar mengirim salam lewat radio dan memesan lagu untuk diputarkan setelah pesan diucapkan oleh si pembawa acara. Tak terkecuali Thea. Dia hampir setiap hari memesan lagu untuk Kak Ben. Entah Kak Ben dengar atau tidak, tapi, Thea selalu merasa puas mengirimkan pesan dan lagunya lewat radio Prambors, radio yang digemari Thea dan teman-temannya saat itu.“Lo beneran nggak mau kirim salam buat Iko, Ri?” tanya Thea saat mereka berempat mengerjakan tugas kelompok bersama di rumah Lisa.Lagu yang dipesan oleh Thea: “Baby One More Time” nya Britney Spears mengalun di radio.“Iko? Siapa?” tanya Gilang, salah satu anggota kelompok mereka yang terpaksa bergabung karena harus genap sesuai jumlah kelompok yang diinformasikan Bu Tasya, guru Bahasa Indonesia mereka.“Gebetannya Matari, Gilang.” Sahut Lisa.“Loh terus Abdi dikema
Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.“Kenapa lo?” tanya Lisa.“Bingung gue, gimana pulangnya?”“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”“Sepeda gue?”“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”“Iya juga ya.”&l
Januari, 2001Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. G
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Februari 2001“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepedabro, bukan santai-santai di tepi jalan!”Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama
Davi menghentikan Lisa yang sedang membayar dua buah aqua botol di kantin. Aqua itu akan diberikannya pada Matari yang sedang berlatih menyanyi di ruang ekskul mading.“Apa sih, Dav? Kaget gue! Gue lagi bayar nih!” bentak Lisa sambil tetap memakan lolipopnya.“Kalian ke mana aja sih? Ekskul mading sama Panahan juga nggak keliatan?” tnya Davi heran."Eh, kalian-kalian… Matari doang kali maksudnya?” tanya Lisa.“Iya, iya, si Matari maksud gue. Ke mana sih dia? Kok nggak keliatan? Masuk kan? Gue telepon ke rumahnya Mbok… mbok siapa itu yang ngangkat teleponnya mulu. Bahkan Sabtu aja dia nggak ada.”“Mbok Kalis maksud lo? Iyaaa dia lagi sibuk persiapan buat lomba puisi.”“Dia ikut? Kayanya nggak ada namanya deh di daftar peserta yang ditempel sama si Ben.”“Emang. Bukan sebagai peserta.”Lisa tiba-tiba mendadak punya ide untuk memberikan sur
14 Februari 2001Semua siswa berkumpul di Gedung serbaguna berukuran sebesar lapangan basketindooritu. Ada yang duduk di kursi penonton, namun lebih banyak yang memilih duduk lesehan di pinggir lapangan sambil membawa snack dan minum yang sudah dibeli di kantin. Panggungperformanceberada di salah satu sisi lapangan. Lengkap dengan lampu-lampu dan alat band. Tahun ini, lomba puisinya terasa megah dengan bantuan sponsor orangtua murid, termasuk orangtua Lisa tentu saja.Dan karenanya, seluruh siswa tertarik untuk datang, mereka tidak menyangka akan diadakan semegah itu. Tahun lalu mendapatkan peserta lomba saja sudah bersyukur. Tapi tahun ini antusiasmenya luar biasa. Kak Ben sebagai ketua panitia tampak senang dan sumringah. Tidak sia-sia usahanya selama ini.Davi berjalan santai bersama Abdi. Di depan mereka, team ekskul sepakbola berjalan mendahului.“Mau di atas atau di bawah aja?
Abdi menatap sahabatnya yang sedang menggambar mobil F1 acakadul di buku tulisnya. Saat itu pelajaran Matematika. Semua anak kelas 1 B, sesuai absen mendapat giliran mengerjakan soal di depan. Abdi dan Davi yang termasuk abjad awal sudah mendapat giliran. Sehingga mereka hanya duduk-duduk mengobrol sambil berpura-pura memperhatikan.“Gimana, gimana, kapan nembaknya?” tanya Abdi setengah berbisik.“Nggak bisa sekarang. Gue kudu pelan-pelan, Di. Matari itu kaya bunga yang nggak berani sama sekali gue sentuh, takut rusak,” sahut Davi.“Hmmm, tapi waktu Thea dulu lo maju terus pantang mundur.”“Beda. Thea sama Matari beda banget. Matari itubackgroundkeluarganya aja udah kaya gitu kan. Gue beberapa kali denger cerita dari Lisa aja, gue jadi kasihan sama dia. Gue nggak mau nyakiti dia. Jadi gue kudu pelan-pelan banget.”“Masalahnya, Dav, pesona Matari pas perform di lomba puisi ke