Sabtu itu hujan deras sepanjang hari sejak mata pelajaran pertama. Matari menatap sepedanya dengan kesal. Dia bingung harus bagaimana.
“Kenapa lo?” tanya Lisa.
“Bingung gue, gimana pulangnya?”
“Ya pulang tinggal pulang aja kan. Lo kan selalu bawa payung.”
“Sepeda gue?”
“Gampang, bareng aja sama gue. Tapi agak telat ya. Supir gue masih otw. Nanti sepeda lo masukin ke mobil aja.”
Matari memeluk Lisa. “Entah gimana tanpa lo, Lis.”
Lisa memutar bola matanya. “Kaya sama siapa aja. Lagian mendingan musim ujan elo kurangin bawa sepeda deh. Kejadian gini bakalan ada lagi tahu, nggak. Untung Sabtu gue nggak les. Coba kalo pas gue lagi nggak bisa nolongin elo.”
“Ya paling gue nungguin sampe hujan kelar.”
“Kalo kelarnya malem? Gila lo. Gue sih ogah sendirian di sekolah malem-malem.”
“Iya juga ya.”
“Hadehhhh… pusing emang kadang sama lo. Pinter-pinter suka bengong."
“Kebalik kan sama lo? Hahaha…”
“Sialan! Btw btw, gue penasaran, kado lo isinya kemarin apa sih? Mumpung ngga ada Thea nih. Kadang mulutnya suka nggak bisa direm kalo ngatain orang.”
“Ya ampun! Gue lupa buka!”
“HAH???? SERIUS LO?”
“Iya! Aduh, aduh, bego banget gue. Udah lewat dua hari. Bentar, bentar, kayanya masih di dalam tas deh.”
Matari segera merogoh hingga dalam ke tasnya.
“Ah, ketemu!”
“Ya ampun lemot banget lo, Ri…. Itu ada yang KAYANYA naksir sama lo, dan ELO LUPA! Nggak kebayang jadi dia, pasti dia ngira lo nggak suka karena sikap lo biasa aja padahal udah nerima kadonya.”
Matari hanya tertawa. Kemudian pelan-pelan membuka kado itu. Ternyata di dalamnya adalah kaset Band Element.
“Ciyeeeeeeee….. dari siapa, Ri?”
Matari menemukan kertas kecil sticky note warna kuning dan sebuah tulisan cakar ayam berwarna biru.
“Dear Matari, Semoga kamu suka ya, Davian. Hah? Davian???? Davi? Davinya Thea?”
Bukan Lisa saja yang terkejut. Matari sampai tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian dia mendadak flashback akan sikap Abdi selama ini padanya. Bahkan dia sempat hampir percaya omongan Thea bahwa Abdi yang suka padanya.
“Gue nggak tahu harus ngomong apa, Lis.”
“Gue juga…”
“Gila, gue nggak nyangka. Tapi tapi kok bisa? Bukannya dia suka sama Thea??”
“Udah, mendingan sekarang kita pulang dulu. Udah jam setengah 3. Supir gue udah di depan, dia bakalan bawa payung ke sini buat bawa sepeda lo dulu. Kita pake payung lo sama-sama. Oke? Feeling gue, kita harus ngerahasiain dulu dari Thea deh, Ri. Lo bisa kan sementara rahasiain ini dulu dari dia?”
“Gue juga mikir gitu sih. Terus kalo dia inget, trus nanyain kado itu dari siapa gimana?”
“Kayanya kalo dalam waktu dekat ini dia nggak bakalan sempet untuk tanya sama lo. Dia kan lagi full latihan buat kejuaraan basket. Terus kayanya dia kalo ada waktu pasti buat tidur di kelas. Nah, kalo pas dia udah senggang dan ingat soal kado ini, baru deh kita ngomong yang sebenarnya. Gimana?”
Matari mengangguk pasrah. Mengikuti Lisa yang berjalan duluan menghampiri sopirnya untuk meminta tolong membawakan sepeda miliknya. Saat tanpa sengaja menoleh ke belakang. Tampak Abdi dan Davi berdiri dari jauh memperhatikan mereka, tanpa bicara apa-apa.
***
Di rumah, hujan tampak tak ada tanda-tanda akan reda. Di ruang keluarga begitu sepi. Tante Dina di dalam kamarnya menemani Om Budi. Sandra belum pulang. Kakaknya juga. Mbok Kalis sedang membuatkan dirinya teh hangat. Eyang Poer masih belum pulang dari RS bersama temannya.
Saat Matari hendak mengembalikan handuk ke tempatnya, telepon berdering.
Matari melihat sekilas jam dinding di dekatnya. Pukul empat sore.
“Halo, assalamualaikum?”
“Walaikumsalam. Matarinya ada?”
Deg! Secara reflek, Matari langsung merasa ini adalah orang yang tadi dilihatnya, mengingat Abdi pernah menanyakan nomor telepon rumah kepadanya. Dan cerita-cerita Thea tentang Davi ketika masih suka padanya. Cerita mengenai telepon-teleponnya yang selalu berdatangan itu. Sampai akhirnya suara di telepon itu berkata lagi.
“Matarinya ada, Mba?”
“Gue Matari. Ini... siapa ya?”
“Hehe, suara lo beda, Ri. Ini Davi.”
Benar dugaannya. Entah kenapa nama itu meski terlintas di kepalanya tadi, hanya saja enggan dia sebutkannya.
“Oh, hai Dav. Ada apa? Tumben nelepon.”
“Nggak papa, Ri. Cuma mau ngobrol aja. Tadi nggak kehujanan kan?”
“Alhamdulillah, enggak. Untung aja ada Lisa.”
“Hmmm iya ya, tadi gue juga lihat. Btw udah dibuka pemberian gue, Ri?”
Matari teringat tatapan Davi padanya yang tanpa sengaja dilihatnya tadi.
“Oh, iya. Makasih ya, Dav. Tapi gue jadi nggak enak dikasih ginian sama lo.”
“Kenapa?”
“Ya, gue kurang suka aja. Itu kan duit dari ortu lo. Terus juga, kaya apa ya, rasanya aneh. Setahu gue, biasanya Thea yang suka lo kasih-kasih barang.”
Matari mendengar Davi menarik napas panjang.
“ Pertama ya, Ri, iya, duit itu dari ortu gue, tapi kan udah dikasih ke gue. Ya terserah gue dong mau beli apa. Kedua, gue udah berhenti suka sama Thea sejak dia nolak gue terakhir kali. Jadi, gue berhak dong ngedeketin orang lain. Dan yang terakhir, kenapa sih lo harus konfrontasi gue di telepon pertama gue sama lo?"
Matari terdiam. Untuk masalah uang saku, percuma bicara pada orang yang keadaan keluarganya berbanding terbalik dengan dirinya. Apalagi soal masalah penghematan uang saku. Yang ada malah uang saku mereka yang berlebihan. Benar yang dikatakan Davi, Matari memang tidak berhak berkomentar apapun dengan kehidupan orang lain yang sama sekali tidak diketahuinya.
Matari pun tidak mengira, Davi begitu terang-terangan menjelaskan semuanya di obrolan pertama mereka lewat telepon seperti ini. Apakah semua anak laki-laki seperti itu jika di telepon? Davi adalah anak laki-laki yang meneleponnya pertama kali untuk membicarakan bukan pekerjaan sekolah. Dia benar-benar merasa gugup.
“Kenapa kok diem?”
Matari bingung harus menjawab apa. Hujan deras di luar memberinya ide.
“Enggak. Nggak papa. Hujan deras. Suara lo nggak kedengeran begitu jelas, jadi tadi gue sempet kaya nyambung-nyambungin kalimat dulu di otak gue.”
Nyambung-nyambungin kalimat di otak? Matari, keliatan banget nervous nya lo!batinnya sambil menepuk jidat.
“Btw, suka nggak?”
“Suka apa?”
“Kaset Element yang gue kasih. Gara-gara kata Abdi lo suka mereka, gue juga jadi dengerin. Bagus juga lagunya.”
Matari sebenarnya ingin bilang bahwa dia juga mendengarkan Element karena orang lain, tapi diurungkan niatnya.
“Makasih ya.”
“Hehehe, iya,sama-sama. Gue denger juga dari Abdi, kalau lo suka minjem punya Lisa. Gue jadi kepikiran buat ngasih. Jadi biar nggak minjem-minjem lagi.”
Saat Davi berkata begitu, Matari tiba-tiba teringat akan susu kotak yang diterimanya beberapa kali.
“Kalo soal susu yang Abdi bawain itu?"
"Iya, iya, itu juga dari gue. Hehehe, maaf, kalau lo nggak suka atau gimana."
"Bukan itu, Dav. Sebenernya gue kasihan sama Abdi. Dia disangka suka sama gue sama anak-anak kelas gue.”
“Iya, maaf. Gue juga nggak enak sama Abdi. Jadi lain kali boleh ya gue kasih lagi tapi nggak lewat Abdi?”
Matari ingin sekali bertanya: Kenapa? Tapi diurungkan niatnya. Dia takut suasana obrolan akan berubah aneh. Apalagi, ketika disadarinya bahwa saat itu, rumah terasa sepi. Lumayan juga ada teman mengobrol selain keluarganya di rumah ini di jam seperti ini. Rasa gugupnya telah mencair dan menghilang entah ke mana. Gaya bicara Davi yang ramah sejujurnya membuat Matari nyaman.
“Gimana, Ri? Boleh nggak?”
“Iya, boleh. Tapi gue boleh minta satu hal nggak?”
“Apa, Ri?”
“Kalo bisa, sembunyikan semua itu dari Thea dulu ya. Sementara aja kok. Karena banyak orang yang tahu dan termasuk Thea, kalau lo masih suka sama dia.”
“Hah? Thea?”
“Iya. Thea.”
“Kenapa?”
“Gue mau nanya sesuatu boleh?”
“Boleh…”
“Lo masih suka nggak sama Thea?”
“Nggak. Nggaklah. Kalo gue masih suka sama Thea, ngapain gue kasih susu dan kaset sama lo? Kan tadi gue udah bilang, Ri."
Matari diam. Tidak mau melanjutkan kalimat apapun. Sepertinya Davi pun begitu. Sebenarnya setelah kalimat yang diucapkannya dia bisa mengakui perasaaannya langsung. Tidak secepat itu, Davi tidak mau salah langkah lagi. Dia harus ganti strategi kali ini. Apalagi Matari dan Thea adalah dua orang yang bertolak belakang. Bersahabat baik pula. Akhirnya Davi mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.
“Eh, ekskul panahan keren juga ya?”
“Oh ya? Lo mau join? Nggak semua orang tertarik sih, peralatannya agak mahal. Eh tapi uang kan bukan masalah buat lo ya. HAHAHA!”
“Sinis amat. Tapi nggak papa. Gue udah biasa disinisin cewek sebenernya. Hahaha.”
“Curhat lo, Dav?”
“Hahaha, emang semahal itu peralatannya, Ri?”
“Iya, mahal, cari aja di toko olahraga. Gue juga pakai bekasan Eyang Kakung gue.”
“Hebat banget Eyang Kakung lo, Ri. Pantesan nurun ke elo ya. Pas nggak sengaja liat lo main, jujur aja ya, gue kira gue yang bakalan kena panah. Hahahaha.”
“Elo jayus juga ya. Gue pikir lo orangnya serius.”
“Nggaklah. Kalo serius nggak cocok main sama Abdi.”
“Kalian deket banget ya?”
“Lumayan. Dari SD sebenernya. Dia tetangga rumah gue juga. Di blok gue itu, cuma dia yang seumuran. Suka main PS dan bola, cocok udah.”
Setelah itu, Matari dan Davi terlibat obrolan yang mengalir lancar, bahkan sampai beberapa kali Davi menelepon di hari-hari berikutnya. Davi berencana cukup hati-hati kali ini. Matari pun enggan menanyakan apa alasan Davi selalu meneleponnya. Di tengah lingkungan keluarganya yang tidak cukup menyenangkan, paling tidak dia jadi merasa nyaman berada di rumah.
Januari, 2001Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. G
Jumat sore yang ditunggu Matari tiba. Setelah selesai ekskul Pramuka, topi pramukanya dia letakkan dengan sekadarnya di keranjang sepeda kemudian bersandar di dekat possecuritySMP. Dia melihat ke arah datangnya Iko. Namun cowok berambut Ikal dan berkulit terang itu belum Nampak sama sekali.“Nungguin siapa, Ri?” tanya Davi, kali ini dia berjalan dengan canggung, mendekat ke arah Matari.Abdi hanya mengawasi dari beberapa meter saja.“Temen.”Davi hendak bertanya siapa, namun diurungkan niatnya.“Hmmm, gitu. Gue temenin boleh?”“Boleh. Tapi kalo dia dateng gue langsung cabut, nggak papa?”“Iya, nggak papa. Sini, Di. Jangan di situ dong kaya patung aja.”Abdi menggeleng dengan mantap sambil menjulurkan lidahnya.“Nggak mau ah. Mending gue di sini jadi patung, daripada di situ jadi obat nyamuk.”Matari dan Davi sontak langsun
Februari 2001“Kalo gue jadi lo, gue akan mendadak sakit perut. Trus nggak jadi ikut, padahal gue akan seharian di kasur pake selimut dan nangis sepuasnya.” kata Lisa berbisik di hari Senin pagi saat mereka sedang mengikuti upacara. “Terus gue akan bertanya-tanya siapa cewek itu? Kenapa bisa mengusap kepala Iko semudah itu? Kenapa Iko harus menanyakan capek nggak terus-terusan sama dia? Menurut lo? Ya capeklah! Kita itu ngayuh sepedabro, bukan santai-santai di tepi jalan!”Matari cuma tersenyum tipis. Matari menatap Thea yang berdiri dua baris di depannya. Sebagai anak bertubuh jangkung, Matari dan Lisa berdiri di deretan murid perempuan bagian belakang, hampir sejajar dengan deretan murid laki-laki. Thea menoleh dan menatapnya, menatap dengan tatapan ikut menyesal atas apa yang terjadi antara dirinya dan Iko kemarin.“Mana bisa? Gue kalo seharian di kasur dan pake selimut akan diomelin sama
Davi menghentikan Lisa yang sedang membayar dua buah aqua botol di kantin. Aqua itu akan diberikannya pada Matari yang sedang berlatih menyanyi di ruang ekskul mading.“Apa sih, Dav? Kaget gue! Gue lagi bayar nih!” bentak Lisa sambil tetap memakan lolipopnya.“Kalian ke mana aja sih? Ekskul mading sama Panahan juga nggak keliatan?” tnya Davi heran."Eh, kalian-kalian… Matari doang kali maksudnya?” tanya Lisa.“Iya, iya, si Matari maksud gue. Ke mana sih dia? Kok nggak keliatan? Masuk kan? Gue telepon ke rumahnya Mbok… mbok siapa itu yang ngangkat teleponnya mulu. Bahkan Sabtu aja dia nggak ada.”“Mbok Kalis maksud lo? Iyaaa dia lagi sibuk persiapan buat lomba puisi.”“Dia ikut? Kayanya nggak ada namanya deh di daftar peserta yang ditempel sama si Ben.”“Emang. Bukan sebagai peserta.”Lisa tiba-tiba mendadak punya ide untuk memberikan sur
14 Februari 2001Semua siswa berkumpul di Gedung serbaguna berukuran sebesar lapangan basketindooritu. Ada yang duduk di kursi penonton, namun lebih banyak yang memilih duduk lesehan di pinggir lapangan sambil membawa snack dan minum yang sudah dibeli di kantin. Panggungperformanceberada di salah satu sisi lapangan. Lengkap dengan lampu-lampu dan alat band. Tahun ini, lomba puisinya terasa megah dengan bantuan sponsor orangtua murid, termasuk orangtua Lisa tentu saja.Dan karenanya, seluruh siswa tertarik untuk datang, mereka tidak menyangka akan diadakan semegah itu. Tahun lalu mendapatkan peserta lomba saja sudah bersyukur. Tapi tahun ini antusiasmenya luar biasa. Kak Ben sebagai ketua panitia tampak senang dan sumringah. Tidak sia-sia usahanya selama ini.Davi berjalan santai bersama Abdi. Di depan mereka, team ekskul sepakbola berjalan mendahului.“Mau di atas atau di bawah aja?
Abdi menatap sahabatnya yang sedang menggambar mobil F1 acakadul di buku tulisnya. Saat itu pelajaran Matematika. Semua anak kelas 1 B, sesuai absen mendapat giliran mengerjakan soal di depan. Abdi dan Davi yang termasuk abjad awal sudah mendapat giliran. Sehingga mereka hanya duduk-duduk mengobrol sambil berpura-pura memperhatikan.“Gimana, gimana, kapan nembaknya?” tanya Abdi setengah berbisik.“Nggak bisa sekarang. Gue kudu pelan-pelan, Di. Matari itu kaya bunga yang nggak berani sama sekali gue sentuh, takut rusak,” sahut Davi.“Hmmm, tapi waktu Thea dulu lo maju terus pantang mundur.”“Beda. Thea sama Matari beda banget. Matari itubackgroundkeluarganya aja udah kaya gitu kan. Gue beberapa kali denger cerita dari Lisa aja, gue jadi kasihan sama dia. Gue nggak mau nyakiti dia. Jadi gue kudu pelan-pelan banget.”“Masalahnya, Dav, pesona Matari pas perform di lomba puisi ke
Theana Gemintang Puspitasariadalah anak kedua dari Ibu Irma Sudibyo dan Bapak Paulus Andika. Panggilannya Thea. Thea memiliki kakak perempuan yang bernama Nikita Gemintang Puspasari atau yang biasa dipanggil Niki. Niki hanya berjarak sekitar 2 tahun dari Thea. Niki tidak bersekolah di SMP yang sama, dia mengambil SMA swasta Kristen yang berjarak cukup dekat dari rumahnya, sehingga hanya berjalan kaki pun sudah cukup.Seperti halnya Thea, Niki juga memiliki tubuh yang bagus dan atletis, meski sama-sama tidak terlalu tinggi. Thea sangat disayang kedua orangtuanya, karena saat lahir, Thea hampir kehilangan nyawanya karena keracunan air ketuban.Akibatnya, seluruh kasih sayang orangtuanya tercurah sepenuhnya pada Thea sejak kecil. Menjadi pusat perhatian, mendapatkan apa yang diinginkan, selalu menjadi yang pertama diberikan sesuatu, menjadikan Thea tumbuh sebagai anak yang narsistik. Itulah yang menyebabkan Niki selalu merasa tidak adil atas perlaku
Saat tiba di rumah, Eyang Putri belum tampak di mana-mana. Menurut info dari Mbok Kalis, Eyang Putri pergi bersama rombongan arisannya menjenguk seorang tetangga lain di RSCM yang tengah dirawat karena sakit lambung.Tante Dina dan Sandra sedang berkunjung dan berencana menginap di rumah mereka sekaligus bebersih. Kak Bulan belum pulang, seperti biasa ada latihan paskibraka di sekolahnya. Ayah belum tampak kehadirannya, biasanya setelah magrib baru tiba.Saat Matari sedang mengobrol dengan Mbok Kalis yang sedang menyiram tanaman di depan rumah, Iko tiba-tiba lewat. Dia menghentikan sepedanya dan masih menggunakan seragam SMAnya, tersenyum menyapa Matari. Rambut ikalnya tertiup angin sesekali. Wajah tampannya tampak semakin terang tertimpa cahaya matahari sore.“Halo, Ri, Mbok Kalissss…. Lama nggak ketemu…” sapa Iko.Mbok Kalis tersenyum sambil mengangguk tanpa menjawab apa-apa. Matari hanya melempar senyum tipis dengan enggan.