Share

Bab 8 Duka Rumah Eyang Putri

Januari, 2001

Suara Tante Dina menangis, membuat Matari terbangun. Hari itu, seingatnya adalah Hari Minggu di awal bulan Januari yang cukup menguras emosi seluruh anggota keluarga di Rumah Eyang Poer.

Matari duduk di kasurnya. Kakak dan Sandra tak tampak di manapun. Dia melihat jam weker di meja kakaknya yang menunjukkan pukul setengah 7 pagi.

“Matari, ayo bantu-bantu. Pakai baju muslim kamu yang warna putih," kata Bulan, lirih dan sendu menjadi satu.

Tiba-tiba Bulan masuk, rambutnya masih tampak berantakan dan segera membuka lembari pakaian.

“Kenapa, Kak?” tanya Matari kebingungan.

“Tengah malam, Om Budi drop. Subuh tadi, Ayah bangunin gue dan Sandra untuk menemani Tante Dina yang baru datang dari Rumah Sakit. Om Budi meninggal sebelum subuh di Rumah Sakit. Jenasah baru saja datang. Sandra sudah siap di depan. Lo sikat gigi, wudhu, cuci muka, ganti baju muslim putih yang kembaran sama gue. Gue ke kamar mandi sekarang, abis itu gantian lo ya.”

Matari masih tampak bingung. “Tapi Kak, baju muslim itu udah kesempitan.”

Bulan menarik napas. “Oke, lo gue cariin baju muslim. Sekarang, lo bebersih dulu di kamar mandi. Nggak ada waktu kalau harus mandi. Sandra kasihan di depan sendirian. Gue harus ke warung buat beli aqua gelas. Si mbok masih siap-siap di belakang.”

Matari turun dari kasurnya menatap kasur Sandra yang kosong tanpa pemiliknya dan tampak masih berantakan seperti ditinggalkan begitu saja.

“Masih bengong? Cepet!!!!” seru Bulan kesal dan berlalu keluar.

***

Dengan baju muslim putih kebesaran milik Tante Marini yang tertinggal, Matari perlahan-lahan mendekat ke arah Sandra.

Sepupu kesayangannya itu tampak berbeda dari biasanya. Tatapan matanya kosong. Dia menggenggam tissue yang sudah entah berapa kali dipakai untuk menyeka air matanya. Beberapa orang berlalu-lalang menyalami Sandra.

Dengan sedikit ragu, Matari mendekat ke arah Sandra.

“San, yang tabah ya. Maaf gue baru bangun.” kata Matari berbisik di belakang Sandra sambil mengelus-elus pundaknya.

Sandra hanya tersenyum tipis. Matanya bengkak dan merah.

“Lo temenin gue ya, Ri. Gue… entahlah, Ri…” bisik Sandra berusaha kuat.

Matari merangkul sepupunya dan tidak sadar airmatanya jatuh. Saat Ibunya meninggal beberapa tahun lalu, dia tidak sesedih ini. Malah di hari itu dia bermain barbie dengan Sandra di ruang tidur utama, tempat belakangan ini Om Budi berbaring sakit di sana. Saat itu dia masih lebih muda dan belum begitu mengerti.

Namun entah kenapa, hari ini, bayangan Ibunya saat meninggal terlintas lagi. Dan dia pun ikut menangis. Entah karena teringat kejadian itu atau memang sedih saat melihat Sandra tak seperti biasanya.

*************************************************************************

“Ri, turut berduka cita ya.” Kata Iko sambil mendekat ke arah Matari.

Saat itu, pemakaman telah usai. Di rumah Eyang hanya tersisa kerabat dekat, teman-teman Om Budi dan Tante Dina yang datang belakangan. Teman sekolah Sandra pun beberapa sudah pulang, hanya menyisakan Lia dan sahabat-sahabat dekat Sandra yang kebanyakan cowok-cowok di geng Pramukanya.

Matari sedikit merasa senang saat melihat dari jauh Sandra sudah mulai sedikit tertawa akibat bercandaan konyol teman-temannya. Dia akhirnya hanya duduk di sisi lain rumah sambil makan camilan. Dia menyadari perutnya kosong dan lapar karena belum terisi apa-apa.

Seseorang yang dikenalnya, tiba-tiba menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Dia adalah Iko.

“Kenapa ya, orang kaya kita ini salah apa, ya, Ko?” tanya Matari pada Iko.

“Kenapa memangnya, Ri?” Iko mengambil aqua gelas dan meminumnya. “Untung ya, hari ini nggak hujan.”

“Lo kehilangan Abang, gue nyokap, sekarang Sandra kehilangan bokapnya. Kenapa ya? Gue pikir nggak semua orang merasakan kehilangan kaya gitu. Kenapa cuma kita-kita yang merasakan di saat kita masih butuh mereka?”

“Kayanya kita bisa bikin geng tahu nggak?”

“Apa sih, Ko? Kadang suka nggak nyambung lo!”

“Loh, gue masih nyambung omongan lho yang tadi loh hahaha. Kita bisa bikin geng orang-orang yang kehilangan orang yang disayanginya. Nanti anggotanya lo, gue, Mama, Papa, sekeluarga besar lo, eh Mbok Kalis juga nggak???”

“Hahaha, dasar gila lo!”

“Akhirnya ketawa juga.”

“Aneh juga kenapa gue ketawa. Padahal nggak lucu.”

“Btw, keluarga lo banyak juga ya. Gue tadi dikenalin Mama sampe bingung. Yang namanya Kak Tiwi cantik yaaaa, kaya Dian Sastro.”

“Hah, siapa tuh?”

“Artis film baru keluar. Filmnya judulnya Bintang Jatuh.”

Tentu bagi Matari wajar dia tidak tahu. Karena pada saat itu, tahun 2000an, Dian Sastrowardoyo belum seterkenal sekarang. Dia baru debut di film-film indie. Belum masuk ke Box Office.

“Nggak tahu gue. Belum pernah nonton bioskop. Petualangan Sherina aja gue nonton vcd bajakannya aja.”

“Ya udah, kapan-kapan kita nonton bareng ya kalau ada film bagus.”

Deg! Jantung Matari berdegup kencang lagi. Diajak nonton? Oleh Iko?

“Kok bengong gitu sih?”

“Gue belum pernah nonton bioskop. Kampungan banget ya gue?”

“Nggaklah. Wajar, lo masih SMP kan. Jadi nanti kita akan cari film yang ratingnya bisa lo tonton.”

***************************************************************************

Meskipun besok adalah hari Senin, pengajian hari pertama untuk mengenang Om Budi di rumah Eyang terlihat cukup ramai. Tante Dina masih di kamar, ditemani Sandra dan Tante Marini sambil membawa buku yasin. Tasbih tak terlihat lepas dari jemari tangannya yang panjang-panjang.

Matari sedang membantu Bulan dan Kak Tiwi mengantarkan minuman teh hangat pada masing-masing peserta pengajian yang didominasi oleh Bapak-bapak kompleks. Di antaranya menyelip Iko dan Papanya. Tante Indira ikut membantu dengan menemani Eyang Putri yang masih tampak syok dan berdiam juga di kamarnya.

“Lan, kamu masih jomblo aja?” tiba-tiba terdengar suara Kak Tiwi setengah berbisik.

Matari memperhatikan Kak Tiwi berbisik pada kakaknya. Logat Banjarmasinnya tampak kental berpadu dengan Bahasa Indonesia yang tidak baku.

“Kagak. Kenapa sih?” tanya Bulan heran.

“Trus yang mana pacar kamu? Nggak datang?” tanya Kak Tiwi lagi.

“Kagak. Kagak usah datang. Nanti digenitin sama lo.”

“Dih, emang aku cewek apaan? Aku penasaran aja. Miss paskibra tahun 2001 ini cowoknya kaya apa?” timpal Kak Tiwi sambil tersenyum-senyum ingin tahu.

Kemudian giliran menatap ke arah Matari, mencari korban baru. “Kalo kamu, Ri?”

Matari pura-pura tidak dengar dengan panggilan Kak Tiwi padanya.

“Ihhh, rese deh. Tuh pacarnya Matari dateng sama Papanya. Mamanya yang cakep banget itu, yang nemenin Eyang Putri di kamar.”

“Oh, tante-tante yang rumahnya gede banget itu ya?”

“Iyah, itu pacar Matari, puas lo?”

“Ciyeee, Matari. Cowoknya keren juga, rambutnya ikal-ikal gitu. Gemes.”

“Heiiii, dia tuh junior kita.” Tandas Bulan sambil menginjak kaki Kak Tiwi.

“Bulaaaan, sakit tau! Kan aku cuma muji aja. Matari kamu hebat banget bisa dapet gituan.”

Matari tersenyum malu, kemudian menatap Iko. Iko membalas senyumnya dengan tulus. Kupu-kupu kembali terasa menari-nari di perutnya.

*************************************************************************

Saat Matari tiba di rumah saat hari Senin setelah sekolah, Sandra tampak tiduran di samping Mamanya. Tante Dina masih sedih dan tiduran di kamarnya terus menerus. Eyang Putri pun juga. Rumah tampak begitu sepi. Semua orang masih berduka dengan kehilangan Om Budi.

Kak Bulan, seperti biasa, sudah bisa kembali dengan kegiatan Paskibrakanya. Mbok Kalis tampak kembali melakukan aktivitasnya yang sudah teratur seperti hapal di luar kepala. Salah satunya dengan memberikan makanan pada ikan-ikan koi. Rumah Eyang Putri telah kembali sepi tidak seperti kemarin-kemarin.

Keluarga Tante Marini dan Om Wiryo, adik ke 3 dan 4 Ayah Matari, sudah kembali ke kotanya tadi pagi-pagi dengan pesawat. Ayah Matari mengambil cuti dan sibuk membantu mengurus surat kematian di Pak RT, karena Tante Dina masih belum mampu mengurusnya sendirian.

Kata Mbok Kalis, pagi tadi hingga menjelang siang masih ada pelayat yang menyusul datang. Beberapa ada teman Om Budi dan Tante Dina.

Tiba-tiba telepon berdering. Setelah beberapa kali, Matari mengangkatnya.

“Halo, assalamualaikum.”

“Walaikumsalam, hai. Lagi sibuk?” suara serak-serak basah itu langsung dikenalinya.

“Hai, Dav.”

“Gue turut berdukacita ya, Matari. Maaf kemarin gue nggak ngedeket ke lo. Karena kayanya lo lagi sibuk banget.”

“Oh, lo datang kemarin?”

“Iya. Sebenernya barengan sama Abdi dan Lisa.”

“Hmm, kok gue nggak liat?”

“Iya. Lo lagi sibuk menyapa tamu di sebelah sepupu lo itu. Titip salam buat dia ya.”

“Iya, makasih.”

“Dia masih sedih ya, pasti?”

“Iya. Mungkin sebenernya keluarganya udah siap, karena Om gue itu udah lama sakitnya. Cuma sekarang mungkin Tante gue mulai merasa kesepian karena ngerasa benar-benar ditinggalkan untuk selamanya. Kata orang, emang lebih terasa sedih waktu seluruh pelayat sudah pergi dan rumah kembali sepi.”

Davi terdiam.

Sorry, maaf ya. Gue ngomong apa ya tadi, hahaha…”

Matari merasa aneh berbagi perasaan kehilangan itu pada Davi, yang mungkin tidak mengerti rasanya. Setidaknya untuk sekarang.

“Gue yang mau minta maaf, Ri. Gue nggak tahu gimana rasanya. Gue pun nggak tahu mau ngomong apa sama lo. Itulah kenapa gue kemarin nggak ngedeket sama lo. Bukan karena lo sibuk.”

Matari tersenyum lega meski dia tahu, Davi tidak akan melihat dirinya tersenyum.

“Ri, kata Abdi, lo kalo hari Rabu, Kamis, Jumat ekskul ya?”

“Eh…. Iya. Abdi rasa-rasanya kaya informan lo ya?”

“Kurang lebih. Karena soal lo gue buta sama sekali.”

“Beda ya kalo soal Thea…”

“Udahlah, nggak usah nyebut dia lagi.”

“Lo marah sama dia?”

“Nggak sih. Cuma itu kan udah masa lalu. Udah ya. End. Trus kalo pas nggak ekskul, boleh ya gue nelepon elo sepulang sekolah kaya gini?”

“Ya terserah lo sih…”

“Kalo pulang ekskul kira-kira jam berapa?”

“Kenapa emangnya, Dav?”

“Enggak, nanya doang.”

“Beda-beda, gue ngga bisa bilang secara pasti jam berapa gue udah pulang.”

“Iya, iya. Lo seneng banget ya sama ekskul-ekskul lo itu.”

“Ya soalnya kalo ada wadah buat nyalurin hobi gue. Kenapa nggak? Kaya lo kan suka bola, ya elo gabung di ekskul bola bareng Abdi.”

“Iya, sebenarnya dia masuk mading itu nggak sengaja. Gue yang iseng nulis di formulir tanpa dia tahu. Hahaha….”

“Pantesan…. Mana bentrok mulu sama jadwal ekskul bola.”

“Iya. Makanya dia lebih sering nitip tas doang. Setor muka sama Bu Tasya.”

“Jahat banget lo.”

“Ya tapi sekarang, ada gunanya juga dia masuk mading.”

“Kenapa gitu?”

Davi tertawa. “Lo ngegemesin ya. Masa nggak tahu?”

“Nggak….”

Davi cuma tertawa lagi.

“Matari, kalau gue nelepon gini ada yang marah ga sih?”

“Ada….”

“Siapa?”

Matari menyadari nada suara Davi berubah dingin.

“Eyang gue. Dia suka kesel kalo gue make telepon lama-lama.”

“HAHAHAHA. Ya ampun MATARI! Gue kiraaa…”

“Gue serius.”

Davi masih tertawa. Padahal bagi Matari tidak ada yang lucu.

“Eh iya, gue pernah lihat lo sepedaan sama cowo. Cowok lo?”

Matari terdiam. Dirinya berpikir sebentar.

“Bukan. Dan belum sih.”

“Kok belum?”

“Gila lo. Dia anak SMA. Eyang gue bisa marah-marah dong. Tetangga gue pula.”

“Berarti kalo sama anak SMP boleh dong?”

Matari bingung harus menjawab apa. Davi tampak begitu pintar membuatnya merasa kebingungan.

“Tuh, kan, diem aja. Boleh nggak?”

“Hmmm, tergantung. Emang kenapa?

“Nggak, nggak papa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status