Share

MENGUNJUNGI KAK ROSE

Ken nekat mendatangi rumah kakaknya untuk mengetahui perkembangan informasi tentang pencarian orang tuanya. Seperti biasa, ia limpahkan semua pekerjaan cafe pada Roy dan ia pergi sesuai kehendak hatinya. Sayangnya, hasil yang ia dapat tak beda dari hari-hari sebelumnya. Nihil!

“Jadi, polisi sama sekali belum menghubungi kakak?” tanya Ken. Peluh menetes dari kulit kepalanya karena tergesa-gesa mengunjungi rumah kakaknya yang berjarak dua kilometer dari Cafe La Pose. Dia berlari sekencang-kencangnya sampai lupa bahwa dia memiliki sepeda di cafe.

Dengan wajah yang sangat meyakinkan, Kak Rose memberikan jawabannya, “Belum,  Ken. Kakak juga udah sebar berita kehilangan ke semua akun sosial media. Kakak sampai minta temen kakak buat memuat berita kehilangan Mama dan Papa di koran lokal selama satu minggu penuh. Sayangnya, belum ada perkembangan. Padahal kakak udah pasang hadiah yang lumayan besar bagi siapa pun yang bisa menemukan Mama dan Papa.”

Ken mengusap wajah lesunya. Pikirannya memang belum bisa tenang selama orang tuanya belum ditemukan.

Petunjuk sekecil apa pun, Ken sangat menantikannya.

“Berapa banyak uang yang akan kakak hadiahkan?” tanya Ken lagi.

“Emmm.. 300 juta. Apa segitu cukup?” tanya Kak Rose sembari mengelus kucing anggora putih yang sedari tadi bergelayut di pangkuannya.

“Kayaknya cukup. Tapi, kalau orang yang bisa nemuin Papa dan Mama minta hadiah yang lebih besar, kita setujui aja. Kalau perlu kita kasihin lahan peninggalan kakek yang ada di belakang rumah,” jawab Ken putus asa.

Kak Rose manggut-manggut. Keduanya memutar otak untuk menemukan cara yang jitu untuk melacak keberadaan orang tua mereka. Sayangnya, mereka belum bisa berbuat lebih banyak sebelum polisi memberi kabar.

“Kamu yakin nggak mau tinggal sama Kakak dan Edward di sini?” tanya Kak Rose.

“Nggak, Kak. Aku mau di rumah aja. Aku lebih nyaman di sana. Lagi pula, ini kan rumah Kak Edward. Aku takut dia keberatan kalau aku tinggal di sini,” sanggah Ken.

"Mana mungkin dia keberatan. Kamu kan adik dia juga.. Emangnya kamu nggak kesulitan di rumah sendirian?" tanya Kak Rose.

"Aku tetep mau di rumah aja, Kak.. Uang yang kakak kirim kemarin juga masih ada. Gajiku juga masih.. Aku nggak berminat buat keluar dari sana," jawab Ken sinis.

Kak Rose memutar matanya. Dia sangat paham kalau keinginan Ken memang tidak dapat diganggu gugat. Dibandingkan berdebat dengan Ken, Kak Rose hanya akan diam mengiayakan apa yang dikatakan Ken.

“Aku masih nggak paham apa yang sebenarnya terjadi. Apa Mama sama Papa punya musuh? Apa mereka punya hutang? Jangan-jangan.. Mama dan Papa hilang karena nggak bisa bayar hutang?” celetuk Ken.

“Nggak mungkin, lah! Mereka nggak punya hutang.. Lagi pula, kamu tahu kan selama ini kehidupan kita baik-baik aja. Kita nggak pernah pakai banyak uang sampai-sampai mereka harus ngambil pinjaman. Semua aset dan barang-barang yang kita punya, asal-usulnya jelas. Semuanya dari mendiang kakek,” jawab Kak Rose.

Kepala Ken semakin berputar-putar karena lagi-lagi pemikirannya mendapati jalan buntu. Orang tuanya bukanlah orang bermasalah yang harus dikejar-kejar penjahat. Lantas, siapa yang menculik mereka?

“Ken, emangnya kamu nggak masalah ninggalin cafe jam segini? Ini masih jam 2 siang, lho. Kasihan temen kamu kerja sendiri. Bukannya jam 10 malem baru tutup?” ucap Kak Rose.

Meong..

Meong..

Meonggg..

Anggora putih di pangkuan Kak Rose memberontak karena ekornya terhimpit tangan Kak Rose.

“Aduh.. Aduh.. Maaf Lucifer..,” pekik Kak Rose sambil mengelus-elus punggung Lucifer.

“Tadi cafe lagi sepi, Kak. Lagi pula, Roy udah biasa aku tinggal, kok. Ada beberapa chef yang bantuin dia di sana. Lagi pula, aku kan punya pelayan di sana. Nggak terlalu berpengaruh juga,” jawab Ken ketus.

“Hey! Jangan mentang-mentang cafe itu milik keluarga kamu, kamu jadi seenaknya begitu. Kalau kamu nggak serius kerja, kakak bakal ngomong ke Edward untuk potong gaji kamu! Kalau perlu, kamu resign (mengundurkan diri) aja sekalian!” bentak Kak Rose tegas.

Kepala Ken tertunduk lesu. Dia benar-benar terombang-ambing saat ini. Kepalanya serasa ingin pecah.

“Aku nggak bisa fokus semenjak Mama dan Papa hilang, Kak! Pikiranku kacau!” Ken menekankan lagi.

Kak Rose menghela napasnya. Dipandangnya adik satu-satunya yang kini tengah duduk di sofa bulu bersamanya.

“Ken! Kakak tahu masalah ini sangat berat. Tapi, tetep kontrol diri. Jangan sampai kamu hancur dan tenggelam. Kamu harus kuat tangani ini. Kamu bisa, kan?” nada bicara Kak Rose melunak. Berharap dapat sedikit menenangkan Ken.

Balasan dari Ken hanyalah anggukan kepala yang terasa sangat berat.

Tringg..

Tringg..

Ponsel Ken berdering beberapa kali.

Tringg..

Tanp jeda, Ken segera menarik ponsel dari saku celananya dan menjawab telepon itu.

“Halo? Ada apa, Roy? Maaf aku masih di..,” belum selesai Ken menuntaskan perkataannya, Roy sudah memotongnya.

“KEN! KEN! Tolong cepet balik kesini!” ucap Roy panik. Ucapannya terbata-bata dan gugup.

“Hey.. Roy! Tenang dulu! Ada apa?” tanya Ken panik pula.

“Kamu cepetan balik ke cafe dulu.. Nanti aku ceritain semuanya. Buruan!!!” tukas Roy.

Pembicaraan itu berakhir dengan telepon yang secara tiba-tiba dimatikan oleh Roy. Tanpa menunggu jawaban mau pun persetujuan dari Ken.

“Halo? Halo? Roy?” Ken memanggil-manggil ke dalam ponselnya. Berharap panggilannya masih terhubung.

“Ada apa?” tanya Kak Rose. Wajahnya ikut tegang melihat ekspresi Ken yang mendadak panik.

“Nggak tahu, Kak.. Kayaknya ada hal buruk menimpa Roy. Aku balik dulu ke cafe, Kak! Kabarin aku kalau polisi udah ngasih kabar!” pinta Ken. Tangannya bergegas merapikan pakaiannya dan segera pergi keluar dari rumah kakaknya.

                                                                                        ***

Tap.. Tap.. Tap..

“ROY! ROY!” panggil Ken setengah berlari memasuki cafe.

Di dalam cafe, nampak Roy yang tengah mencengkeram kepalanya karena saking bingungnya. Dia ditemani Chef Danny di meja baristanya.

“Ken.. Maaf.. Cafe terpaksa saya tutup jam segini. Sepertinya ada sesuatu dengan Roy. Kami nggak bisa melanjutkan pelayanan karena dari tadi Roy kayak orang panik,” ucap Chef Danny.

Ken baru menyadari kalau tanda “OPEN” di pintu sudah diganti dengan tanda “CLOSE”.

“Pantes aja nggak ada pelanggan sama sekali,” ucap Ken lirih.

Roy beberapa kali mengusap matanya. Raut wajahnya begitu muram.

“Ada apa, Roy? Kamu baik-baik aja?” tanya Ken mendekati Roy. Ken duduk di kursi yang terletak di hadapan Roy.

“Bertha..,” jawab Roy lirih.

“Bertha? Adik kamu? Dia kenapa?” tanya Ken lagi.

“Dia.. JADI BURONAN! Dia ngambil berlian pacarnya. Polisi baru aja telepon aku karena mereka lagi nyari keberadaan Bertha! Aku harus gimana Ken!!!” kata Roy panik. Kedua pelupuk matanya diisi oleh air bening.

“Tenang.. Tenang dulu, Roy.. Orang tua kamu udah tahu?” tanya Ken.

“Mereka nggak tahu.. Orang tuaku udah satu bulan di Australia. Selama ini Bertha cuma tinggal sama aku di rumah. Nomor handphone Bertha nggak bisa dihubungi sama sekali. Aku nggak tahu dia ada di mana, Ken! Aku harus cari dia di mana? Dia pasti nggak punya tempat buat sembunyi!!” Roy semakin panik.

Ken memang baru dua kali bertemu Bertha, adik Roy yang berusia 19 tahun. Tubuhnya mungil dengan postur yang sedikit berisi. Rambutnya ikal sebahu berwarna hitam gelap. Secara penampilan, tidak dipungkiri bahwa Bertha adalah gadis yang sangat cantik dan memiliki daya tarik yang kuat. Dengan kecantikannya itu, Bertha pandai memikat laki-laki kaya raya untuk menjadi kekasihnya. Bahkan Bertha pernah tiga kali datang ke cafe dengan tiga pacar yang berbeda-beda.

Yang pertama, dia menggaet salah satu teman kuliahnya yang merupakan anak dari rektor (pemimpin) kampus tersebut. Yang kedua, Bertha datang bersama anak pengusaha batu bara yang kekayaannya tidak bisa dihitung dengan jari. Lalu, kunjungan terakhirnya di cafe, pria kaya raya dengan mobil keluaran terbaru menjadi gandengan Bertha kala itu.

“Hmm.. Kamu tahu siapa pacar Bertha? Orang yang berliannya dicuri Bertha?” tanya Ken.

Roy menggelengkan kepalanya. Sedangkan Ken memutar otaknya.

“Kita harus ketemu dulu sama pacar Bertha. Minta polisi buat mempertemukan kita dengan pacar Bertha. Kalau dia bisa kita bujuk, siapa tahu masalah ini nggak perlu dilanjutkan secara hukum. Siapa tahu berlian itu nggak sengaja ada di tas atau di saku Bertha.. Kita belum tahu apa tanggapan Bertha. Kita nggak bisa nuduh Bertha seenaknya,”

“Tapi.. Bertha dimana..,” ucap Roy lirih.

“Dia pasti pulang. Anggep aja sekarang dia lagi berlindung dari kejaran polisi. Nggak heran kalau dia ketakutan. Polisi udah jelas tahu rumah kalian. Nggak mungkin kalau Bertha pulang ke rumah! Kita.. harus bujuk pacar Bertha! Dia nggak bisa seenaknya langsung manggil polisi bahkan sebelum Berta buka suara,” papar Ken.

Tak disangka, ucapan Ken sedikit menenangkan hati Roy. Terlihat beberapa kali Roy menghembuskan napas untuk melegakan dadanya yang sesak. Diingatnya bagaimana pagi ini adiknya berpamitan ingin hang out (jalan-jalan) untuk membeli kue keju di salah satu food court.

Hari ini belum berakhir. Bahkan, sama sekali belum gelap. Tapi, adik Roy seketika berubah menjadi incaran polisi. Gadis manis yang pagi ini tersenyum hangat ketika hendak pergi, pasti kini sedang menangis di suatu tempat yang tersembunyi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status