Share

2. LUBUAK BURAI

Pagi menjelang. Udara terasa begitu dingin. Shanum sudah berkutat di dapur semenjak selesai salat Subuh. Sementara Syamil masih bergelung di dalam selimut.

"Bagaimana hidup bisa berubah lebih baik, kalau bangun pagi saja malas? Heran aku sama laki. Bukan salahku juga kalau aku harus keguguran untuk kedua kalinya. Tidak patut juga dia kecewa berlebihan, seolah-olah keguguran itu akibat aku tidak berhati-hati. Padahal sudah sedaya upaya aku menjaga kehamilanku itu. Namun, semua sudah kehendak Tuhan. Aku mesti bagaimana? Protes sama Tuhan? Atau ikut mati bersama dengan gugurnya janin di dalam perutku? Uda Syamil benar-benar tidak masuk di akal." Shanum menggerutu sambil menggiling cabe. Dia masih tidak puas dengan pertengkarannya tadi malam. Belum ada titik temu antara dia dan Syamil.

"Apa, sih, susahnya mengabulkan permintaanku? Hanya ingin dia berbaur dan bersosialiasi dengan orang-orang. Apa dia tidak malu digunjingin orang banyak? Aku sebagai bininya saja sudah serasa ingin menghilang dari kampung ini. Kalau sabarku nanti habis, mending dia keluar saja dari rumah ini. Untuk apa punya suami kalau hanya bikin sakit kepala?"

Shanum terus saja merepet. Sampai akhirnya dia mendengar langkah kaki. Syamil terlihat berjalan malas menuju kamar mandi yang ada di samping dapur.

"Buatkan aku kopi." Syamil menguap lebar.

"Kopi habis." Shanum menjawab tanpa menoleh. Tangannya sibuk memasukkan ikan ke dalam kuali.

"Ya, kau belilah. Masak itu saja harus kuberitahu."

"Halah, beli pakai apa? Daun!?"

"Ooo ...! Jadi kau sudah mulai perhitungan sekarang? Mentang-mentang aku pengangguran kini, terus kau merasa aku menjadi beban, begitu, Num?" Syamil berkacak pinggang, matanya melotot. Dia sangat tersinggung dengan gaya Shanum yang terkesan ketus.

Shanum menghempaskan spatula yang dia pegang ke lantai. Matanya tak kalah melotot, menatap Syamil dengan kemarahan yang menggelegak.

"Apa harus aku jelaskan, Uda? Setahun sudah kau menganggur. Semua kebutuhan rumah tangga aku yang memenuhi. Aku pontang-panting bekerja, sementara kau hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Untuk apa aku punya suami kalau tidak berguna?"

Pelipis Syamil bergerak-gerak menahan emosi yang membuncah. "Kau sudah keterlaluan. Berani kau sama suami, ha? Kutampar kau nanti, Num!"

"Tampar? Kau ingin menamparku, Uda? Tampar, ha? Orang tuaku saja tidak pernah menamparku. Coba saja kalau berani!" Shanum menyodorkan pipinya.

"Dasar perempuan bodoh! Tidak berguna! Baru setahun aku menganggur, sudah panjang lidahmu. Kali ini kutahan-tahan, Num, emosiku. Jika sudah penuh kepalaku ini, tak segan-segan kugampar kau punya mulut." Syamil bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Hanya sekadar mencuci muka, lalu dia keluar lagi dari ruangan tersebut.

"Terserah kaulah, Uda. Aku tidak peduli lagi. Lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Mulai sekarang, kita urus urusan masing-masing!"

Syamil yang baru keluar dari kamar mandi, tertegun di depan Shanum. Dia tidak percaya dengan apa yang istrinya katakan. Segurat kesedihan membayang di tampangnya yang kusut. Tanpa bicara lagi, dia segera menjauh dari Shanum.

"Jangan harap aku akan menangis lagi. Cukup sudah aku meneteskan air mata. Mau mati dia, mau pergi dia, tidak akan aku tahan lagi. Tak perlu aku pusing memikirkan suami tak berguna macam itu."

Dia kembali tenggelam dalam kesibukan aktifitas dapur. Selesai memasak dia harus bersiap-siap ke tempat kerjanya di pasar Batusangkar. Satu-satunya tempat baginya menghilangkan samaknya pikiran.

Shanum bekerja sebagai karyawan toko yang menjual pakaian. Walau hanya bergaji satu juta lima ratus, itu sudah cukup menghidupinya di kampung kecil yang berada di lingkungan Bukit Barisan. Walau dia harus super irit.

Semenjak kembali ke kampung halaman, kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat.

Tiga tahun lamanya merantau di kota Padang, mengikuti Syamil yang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Namun, efek omset perusahaan yang kian tergerus, membuat Syamil termasuk karyawan yang mendapatkan PHK.

Mereka masih mencoba untuk bertahan dengan sisa pesangon yang Syamil miliki. Namun, ketika tidak ada lagi pemasukan, Syamil dan Shanum memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.

Saat pulang ke kampung, Shanum sedang hamil tiga bulan. Banyaknya beban pikiran, membuat kesehatan Shanum terganggu. Puncaknya dia harus dilarikan ke rumah sakit dan dia dinyatakan keguguran oleh dokter.

Hati Shanum kian hancur. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, Shanum dan Syamil tidak lagi merasa bahagia.

Syamil merasa Shanum pembawa sial. Setiap kali melihat perempuan itu, yang ada hanya sesal di lubuk hatinya. Kenapa dia harus menikahi perempuan sial seperti Shanum?

Dia mulai tenggelam dalam kesunyian. Sedikit bicara, memilih untuk mengurung diri di dalam kamar. Cinta yang dulu terasa begitu indah, perlahan-lahan memudar. Semangat hidupnya kian terbang tak tentu arah.

Sementara Shanum bukannya tidak tahu apa yang Syamil rasakan. Dia sangat paham kalau suaminya itu sedang berada di fase terendah hidupnya. Shanum berusaha memberi waktu untuk Syamil merenung dan menyendiri.

Namun, Shanum tidak menduga kalau Syamil akan terus bermalas-malasan, sampai akhirnya mereka berada di kampung satu tahun lebih lamanya.

Satu hal yang jadi perhatian Shanum, kalau Syamil hanya mengunjungi satu tempat yang menjadi pelipur laranya. Lubuak Burai.

Kampung Shanum terkenal dengan pembuatan gerabah atau kerajinan tangan yang diolah dari tanah liat. Desa itu bernama Galogandang. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya adalah petani.

Walau Shanum orang Galogandang, tapi dia dilahirkan di Padang Tujuah, sebuah daerah di Kabupaten Pasaman Barat, yang terpaut enam jam dari Batusangkar. Orang tuanya menetap di sana. Sehingga, dia dan Syamil menghuni rumah yang dibangun neneknya untuk ibunya.

Cuma rumah itu hanya didiami ketika mereka pulang dari rantau. Tepatnya setiap ada acara. Baik itu hari raya, atau pun ada kenduri.

Namun, keluarga besar ibunya masih ada di kampungnya itu. Salah satunya itu Etek Jawinar, yang rumahnya saling berhadap-hadapan dengan rumah Shanum.

Sedangkan Syamil juga sekampung dengannya. Namun, kedua orang tua Syamil sudah meninggal. Dia anak tunggal. Sanak saudara ibu bapaknya juga banyak berada di rantau. Sehingga, Syamil merasa sangat kesepian, dan juga ketakutan yang tidak bisa dipahami oleh Shanum.

Jadi untuk menghilangkan stres, Syamil sering menghabiskan waktu di Lubuak Burai, yang berada di lereng Bukik Batubasi. Lubuak Burai terlihat indah dengan sungai kecil yang mengalir di sela bebatuan.

Kerap Syamil berteriak, mencoba melepaskan beban berat yang menggayuti pundaknya. Bukan karena dia gila, bukan pula karena syarafnya putus. Jauh di dalam hatinya, dia hanya menginginkan anak. Dua kali dia merasakan kecewa. Dua kali dia kehilangan harapan. Lalu di saat hatinya merasa terluka, kenapa Shanum tidak berusaha memberi obat? Malah turut menyudutkannya.

Pagi ini, ucapan Shanum bagaikan ribuan jarum yang ditancapkan ke jantung hatinya.

"Kita urus urusan masing-masing."

Kalimat itu mengiang jelas kembali di telinganya. Bukankah itu suatu pertanda betapa muaknya Shanum dengannya?

Ke mana akan kulangkahkan kaki? Sementara kekasih hati tidak lagi mau mengerti. Tidakkah Shanum merasa betapa berat derita yang kualami. Aku di PHK, anakku mati, dan sekarang Shanum seolah tidak lagi peduli. Bukan aku tidak mau bangkit, bukan aku tidak mau lagi kembali seperti dulu, tapi luka di batinku ini terasa begitu dalam. Ya Tuhan, kuatkan imanku.

Suara hati Syamil membawanya melangkah kian jauh menyusuri jalan persawahan. Menjejakkan kaki di pematang-pematang yang berlunau. Lubuak Burai kembali membayang di matanya. Hanya itulah tempat di mana dia bisa berteriak sekeras mungkin. Menangis dan menertawakan nasib buruk yang membayangi langkah-langkahnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
De Edward
Sedihnya jadi shanum
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status