Share

3. SHANUM

Shanum sampai di pasar Batusangkar setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit dari kampungnya menggunakan ojek. Dia sampai di toko pukul sembilan lewat lima menit. Selama masa pandemi ini, toko buka agak siang dan juga tutup lebih cepat.

Beruntungnya Shanum memiliki majikan yang sangat baik. Walau Shanum sering datang terlambat, pemilik toko tidak menganggap itu masalah besar.

Majikannya itu bernama Gibran. Usianya hanya terpaut lima tahun dari Shanum. Kalau Shanum tiga puluh tahun, maka bosnya itu tiga puluh dua tahun, sedang  Syamil usianya tiga puluh dua tahun.

Gibran berperawakan tinggi besar, berwajah bak orang Arab. Badannya yang tegap dan rupa yang tampan, sedikit banyaknya menjadi dilema tersendiri bagi Shanum. Apalagi Gibran sudah dua tahun menduda. Sedangkan Shanum adalah satu-satunya karyawati di toko tersebut.

Gibran sedikit tersentak ketika mendengar salam dari luar toko. Dia yang sedang menyusun baju, segera menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya seketika menyeruak begitu melihat Shanum datang. Namun, melihat wajah perempuan itu, senyum Gibran langsung pudar.

"Bertengkar lagi?"

Wajah Shanum memerah. Dia mengangguk pelan dan masuk ke dalam toko dengan tampang lesu. Sesaat kemudian dia ikut membantu Gibran menyusun pakaian yang akan dijual . "Lelah aku, Uda. Uda Syamil masih saja tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Aku BINGUNG harus bersikap bagaimana. Tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia bisa menerima kenyataan."

Gibran menerima bungkusan plastik yang disodorkan Shanum. "Sabarlah, Num. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan dengan cepat. Kalau aku di posisi Syamil, mungkin tidak akan jauh berbeda. Dia dipecat, lalu kau keguguran. Bagaimana tidak hilang semangat hidupnya?"

"Tapi sampai kapan, Uda? Waktu terus berjalan. Sesuatu yang sudah mati, tidak akan bisa kembali lagi. Setiap hari itu ke itu saja yang kami ributkan. Belum lagi gunjingan orang-orang tentang Uda Syamil. Aku malu."

Gibran menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali Shanum curhat masalah rumah tangganya. Gibran juga tidak keberatan. Dia sudah menganggap Shanum seperti adiknya sendiri. Makanya sedaya upaya dia memberikan pandangan agar Shanum tidak salah dalam mengambil langkah.

"Num, hidup berumah tangga tentunya tidaklah mudah. Banyak halangan dan rintangan. Makanya pernikahan itu bernilai ibadah di mata Allah. Kalau kita mampu melewati semua ujian, sudah bisa dipastikan kalau Allah akan menempatkan kita di tempat terindah dan menaikkan derajat kita di mata manusia. Bersabarlah. Tidak ada yang lebih baik dari itu."

"Makasih, Uda. Aku akan coba lebih keras lagi. Namun, jika suatu saat aku tidak mampu lagi bertahan, mungkin aku akan melepaskan semuanya, Uda. Aku juga berhak untuk bahagia, bukan?"

Gibran terkejut mendengar ucapan Shanum. "Astaghfirullah, Num. Istighfar. Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan biarkan iblis memenangkan pertempuran, Num. Bukankah prestasi tertinggi mereka kalau bisa memisahkan suami dari istri? Please, kendalikan emosimu. Aku yakin, kau pasti bisa melewati semua ini. Percayalah!"

Air mata tidak mampu lagi Shanum tahan. Dia terisak-isak menahan kepedihan hati. Melihat Shanum menangis, walau sedikit ragu, Gibran membawa tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Shanum pun menumpahkan kesedihannya di dada pria tampan tersebut.

Di saat seperti itulah Etek Jawinar muncul. Dia terkejut, segera menyembunyikan diri di sebuah tiang bangunan agar tidak terlihat oleh Shanum dan Gibran. Tubuh perempuan tua itu bergetar hebat. Dia yang tadi berniat hendak mengantarkan makanan untuk Shanum, jadi urung dia lakukan. Tungkainya terasa lemas. Berbagai pikiran buruk melintas di pikirannya.

'Pantas saja Syamil hilang akal dan pikiran. Perbuatan Shanum seperti ini rupanya. Tidak bermalu! Mau saja dipeluk lelaki lain. Akan aku apakan anak ini? Hmmm, mungkin ini kesempatan bagiku agar bisa membuatnya hengkang dari kampung. Sejak dia ada Galogandang, semua sawah dan ladang yang biasanya aku kelola, berpindah ke tangannya. Kau tunggu saja, Num! Tak akan aku biarkan kau menginjakkan kaki lebih lama di kampung kita.' Seringai culas membayang di wajah tuanya. Dengan cepat Etek Jawinar mengabadikan momen Shanum dan Gibran berpelukan melalui ponsel cerdas miliknya. Sambil bersorak di dalam hati, dia menjauh dari tempat tersebut.

Sementara itu setelah merasa lega, Shanum perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan Gibran. Dia menatap malu lelaki keturunan Arab tersebut. Dadanya berdegup kencang. Ada perasaan nyaman dan aman yang selama ini dia rindukan. Hangatnya tubuh Gibran membuat desir-desir aneh di hati Shanum. Kembali dia mencuri pandang, menatap Gibran yang tersenyum tulus kepadanya.

"Sudah mendingan?" Gibran mengelus kepala Shanum lembut. Perempuan itu mengangguk, wajahnya memerah.

"Ya sudah, sekarang kita fokus kerja dulu, ya? Kau jangan pernah merasa putus asa. Apa pun masalahmu, ceritakan saja kepadaku. Aku siap mendengarkanmu, dua puluh empat jam. Hehehe."

Untuk kesekian kalinya dada Shanum berdebar melihat senyum manis yang terpatri di wajah Gibran.

'Ya Tuhan, tolong aku ....' rintihnya pilu, gamang dengan suasana hatinya sendiri. Dia sadar dan paham, ada satu benih yang tidak seharusnya dia biarkan tumbuh di dalam hatinya. Benih yang jika dibiarkan akan bertunas, lalu akar-akarnya akan menancap kuat menghunjam ke dalam jiwa. Jika itu terjadi, maka akan sulit baginya untuk keluar dari lingkaran setan yang nantinya akan tercipta.

Namun, jauh di dalam pikirannya, dia bertanya-tanya, sampai kapan dia akan tahan dengan pesona Gibran? Lelaki itu begitu baik hati, bersahabat, saleh, dan pastinya menjadi idaman setiap wanita.

Bukannya Shanum tidak tahu kenapa Gibran masih kuat menduda sampai sekarang. Cintanya begitu besar kepada --Zaira--istrinya yang meninggal sewaktu melahirkan. Zaira tidak saja kehilangan nyawanya, tapi nyawa anaknya pun tidak tertolong. Hal itu membuat Gibran memendam luka yang entah kapan bisa disembuhkan.

Shanum merasa iri dengan almarhumah Zaira. Dibanding Syamil, tentu Gibran jauh lebih unggul. Tidak saja memiliki paras dan tubuh yang sempurna, tapi juga memiliki uang yang banyak. Hasrat untuk bisa memasuki hati Gibran pun kian berkobar di hati Shanum.

'Aku tidak peduli. Bagaimana pun, aku punya hak untuk bahagia. Aku punya hak untuk menikmati hidup. Jika perkawinanku dengan Uda Syamil tidak bisa lagi dipertahankan, maka aku akan berjuang agar Uda Gibran mau menerimaku sebagai istrinya.' Shanum menatap lekat-lekat punggung Gibran yang berdiri membelakanginya. Dia tidak pernah merasakan perasaan ingin memiliki yang begitu kuat menguasai hatinya.

Namun, suasana hati Shanum berubah drastis ketika seseorang datang melenggang-lenggok menuju toko. Seorang perempuan cantik berbaju warna kuning gading, dan memakai rok biru selutut. Kulitnya putih bersih. Sementara rambutnya panjang bergelombang. Sungguh kecantikan yang sempurna.

Shanum tentu saja tahu dan kenal dengan gadis tersebut. Namanya Kanaya, biasa dipanggil Naya. Seorang karyawan Bank Daerah yang berprofesi sebagai Marketing. Sering mendatangi toko dan merayu Gibran agar mau mengambil modal yang dia tawarkan. Namun, Gibran kerap menolak. Kanaya bukannya kapok, tetapi kian tertantang. Dia tidak segan-segan merayu dan bersikap manja ke Gibran. Hal itu membuat Shanum terbakar api cemburu.

"Selamat pagi, Uda Gibran?" Kanaya menyapa Gibran sambil tersenyum cantik.

"Halo, pagi juga, Naya. Wah, semakin cantik saja." Gibran memuji sambil mempersilakan Kanaya masuk. Di dalam toko hanya ada dua kursi. Shanum yang sadar diri, segera memberikan kursi yang dia duduki ke perempuan itu. Di dalam hati dia menyumpah habis-habisan. Susah bagi Shanum untuk menyembunyikan perasaannya. Dari pada terbakar api, Shanum memutuskan untuk izin keluar dan berdalih membeli sarapan.

"Uda mau aku belikan sarapan?" Shanum sudah hendak berdiri. Namun, Kanaya segera menahan tubuhnya.

"Uni di sini saja. Kebetulan aku belum sarapan. Maksudku ke sini mau mengajak Uda Gibran sarapan di luar. Nanti, aku bungkuskan untuk Uni, ya?"

Wajah Shanum seketika berubah. Dia menoleh ke arah Gibran yang seperti terpukau dengan kecantikan Kanaya. "Benar Uda mau pergi dengan Naya?"

Suara Shanum membuyarkan lamunan Gibran. Lelaki itu terlihat salah tingkah. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh ... eh ... oh, ya .... Ya. Nanti aku belikan kau sarapan, Num. Jaga toko, ya? Aku dan Naya pergi dulu."

Sakit. Itu yang terasa di hati Shanum sekarang. Dia menggigit bibir dan menghela napas panjang begitu melihat Kanaya menggandeng lengan Gibran.

Untuk kesekian kalinya, air mata mengalir membasahi pipi Shanum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status