Share

4. GUA RAHASIA

Syamil sedang duduk di bebatuan sembari tangannya bermain-main di dalam air yang mengalir tenang di sela-sela akar pohon.

Kicau burung terdengar riang, angin pun berbisik lirih. Sepi. Itulah yang Syamil rasakan. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menyendiri dan menghabiskan waktu di tempat sunyi seperti Lubuak Burai ini.

Namun, tidak ada satu pun yang benar-benar tahu apa yang Syamil lakukan di daerah itu. Semua orang menduga Syamil hanya stres dan depresi. Bukan rahasia lagi kalau dia kehilangan banyak hal dalam hidupnya.

Awal-awal dia dipecat dari pekerjaannya, semua orang menaruh simpati. Begitu juga ketika Shanum keguguran, semakin banyak orang yang menaruh iba. Namun, ketika Syamil mulai berteriak-teriak di Lubuak Burai, satu per satu gunjingan memenuhi langit Galogandang.

Dia yang selama ini dikenal ramah, suka bergaul, dan menjadi tempat bertanya bagi orang-orang, perlahan-lahan penduduk kampung mulai menjaga jarak. Mereka membiarkan Syamil tenggelam dalan dunianya sendiri.

Sehingga satu tahun pun berjalan tanpa ada yang mau peduli dengan Syamil. Mereka menganggap pria tersebut antara ada dan tiada. Tidak ada yang mau lagi menjadi sahabat atau temannya. Sehingga, Syamil kian terpuruk dalan derita yang tidak berkesudahan.

Orang banyak tidak lagi peduli dengan apa yang Syamil kerjakan di Lubuak Burai. Bagi mereka, sudah bagus Syamil pergi keluar dari kampung daripada di dalam negeri dan bikin onar. Walau sekali pun, Syamil tidak pernah melihatkan gejala-gejala gila ketika berada di perkampungan.

Syamil melirik jam di tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh siang. Dia segera berdiri dan bergerak cepat meninggalkan kawasan tersebut.

Kakinya kian mengayun melewati satu per satu kayu-kayu yang melintang menghalangi jalannya. Dia terus mendaki menuju lereng Bukik Batubasi.

Tidak sampai setengah jam, dia sampai di sebuah pohon beringin tua. Sulur-sulur pokok tersebut banyak menjuntai. Syamil menyibak pelan akar-akar tersebut. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Seakan-akan memantau situasi agar tidak ada orang yang melihat apa yang dia lakukan.

Ketika sampai di lempengan bukit yang tertutup pohon beringin, kembali Syamil menyibak kerumunan rumput ilalang. Begitu tersibak, sebuah pintu gua terpentang.

Syamil tanpa ragu masuk ke dalam lubang tersebut. Kerasnya bau menyan menyeruak, dibawa angin dingin menembus hidung.

Gua tersebut sangat gelap, tapi Syamil seolah tidak peduli dengan kegelapan tersebut, seakan-akan sudah terbiasa dengan keadaan tersebut.

Namun, semakin masuk ke dalam semakin terlihat ada seberkas cahaya obor. Syamil mempercepat langkahnya.

Begitu sampai di dekat cahaya obor, Syamil berhenti dan wajahnya menyeringai penuh misteri.

"Kau sudah bangun, Pak?" Syamil bergerak cepat menuju sesosok tubuh yang terikat di atas kursi. Mulutnya disumpal dengan sehelai kain. Wajahnya terlihat penuh lebam.

Sosok tersebut meronta-ronta. Matanya menyiratkan ketakutan. Dia berharap Syamil segera membebaskannya dan membiarkannya pergi dari tempat itu.

"Ohhh, jangan tatap aku seperti itu, Pak! Itu hanya akan membuatku teringat masa lalu. Engkau yang sangat kuhormati, kuhargai, bahkan aku begitu loyal ke padamu, tapi engkau balas dengan menghancurkan hidupku dan keluargaku. Tidak! Aku tidak akan berbelas kasih terhadapmu, Pak. Sekarang, bagaimana rasanya tinggal di sini? Sudah lima belas hari kau menghilang. Namun, aku heran, kenapa tidak ada polisi yang mencarimu? Apakah keluargamu tidak peduli denganmu?" Syamil melipat tangan, sementara kaki kanannya dia injakkan ke paha lelaki yang terikat di atas kursi.

"Aku masih ingat, lho, Pak dengan apa yang kau katakan dulu. Engkau mau mempertahankanku asal aku mau berbagi Shanum denganmu. Oh, hahaha. Jika kuingat, ingin aku membunuhmu saat ini. Namun, maaf, Pak! Walau aku mati sekali pun demi menjaga Shanum, tidak masalah bagiku. Dia hidupku, dia permata hatiku. Yang namanya harta berharga, tentu tidak ada yang mau membaginya dengan siapa pun." Syamil menurunkan kakinya. Dia merogoh kantong celana. Mengeluarkan sebungkus rokok, mengambilnya sebatang, lalu menyulutnya dengan korek api.

Asap rokok yang memenuhi ruang mulut, Syamil hembuskan pelan ke wajah lelaki yang dia panggil 'Bapak'.

Tangannya membetot kuat kain yang menyumpal mulut lelaki yang terlihat lebih rua darinya itu. Pria tersebut mengembuskan udara kencang, lalu menghirupnya kembali.

"Tolong lepaskan aku, Syamil! Ini sudah tidak lucu lagi. Kau gila! Kau seharusnya dikirim ke rumah sakit jiwa!" Lelaki itu dengan berani meludahi wajah Syamil. Syamil yang tidak menduga akan dilepehkan air liur, tanpa belas kasih tangan kanannya melayang, menampar pipi tawanannya itu.

"Bapak lancang dan berani meludahiku! Tidak akan aku maafkan. Terima ini!" Syamil seperti kesetanan, dia menampar bolak-balik wajah lelaki tersebut, lalu di ujung kekesalannya, rokok yang masih menyala itu dia sumpalkan ke dalam mulut sanderanya itu.

Lelaki malang tersebut menjerit keras. Dia hendak memuntahkan rokok yang ada di dalam mulutnya. Namun, Syamil memegang rahangnya kuat. Lidahnya langsung terbakar oleh api rokok.

"Ampuni ... aku, Syamil. Jika kau ingin bekerja lagi, bekerjalah. Bahkan aku akan berikan gaji tinggi, asal kau mau BERDAMAI, membebaskanku dan membiarkanku pergi dari sini. Aku mohon. Kasihani aku, Syam. Anak-anakku masih kecil. Tolong, ampuni selembar nyawaku." Lelaki itu menangis meraung-raung. Bukan saja karena rasa sakit yang ada di lidahnya, tapi juga karena rasa khawatir yang menyesakkan dada.

"Tsss ...." Syamil menaruh telunjuknya di bibir lelaki tersebut. "Tidak usah berjanji, Pak Afdal. Tidak usah buang-buang air ludah, jika apa yang kau janjikan itu hanyalah isapan jempol belaka. Aku sudah tidak tertarik menjadi karyawanmu lagi. Aku hanya menginginkan kau menderita, Pak. Hahaha."

Syamil kembali menyalakan sebatang rokok. Lalu dengan paksa dia merobek baju yang dikenakan Pak Afdal. Pak Afdal ketakutan setengah mati. Do'a - do'a berlompatan di mulutnya. Berharap Syamil tidak melakukan perbuatan yang tidak senonoh ke padanya.

"Apa yang akan kau lakukan, Syam? Please, jangan aneh-aneh, Syam!"

Mata Syamil berkilat mendengar ucapan Pak Afdal. " Aku tidak sebejat kau, Pak." Syamil menggeram marah. Ujung rokok yang masih menyala tersebut dia tempelkan ke kulit dada Pak Afdhal.

"Sakit! Ya Tuhan, ini sakit sekali, Syam! Tolong aku, Syam! Tolong hentikan semua kegilaan ini. Aku akan lakukan apa saja, asal kau mau melepaskanku, Syamiiil! Syamiiil! Aaaaaaa ...."

Untuk kesekian kalinya Pak Afdal berteriak ketika Syamil mengeluarkan korek, lalu tanpa banyak bicara dia langsung menyalakan api dan membakar janggut lebat yang tumbuh subur di dagu Pak Afdal.

Jeritan ketakutan Pak Afdal menggema di dalam ruangan gua yang sangat dingin. Lelaki itu benar-benar merasa diteror, diintimidasi, dan suatu saat bisa saja nyawanya melayang. Sungguh, dia tidak menyangka kalau Syamil--mantan karyawannya--memiliki dendam yang begitu besar terhadapnya.

"Aku tidak akan membunuhmu, Pak. Aku hanya ingin bersenang-senang denganmu di sini. Menyiksamu adalah kesenangan tersendiri bagiku. Bukankah begitu, Pak Afdal?"

Pak Afdal tidak menjawab. Matanya melotot marah.

Melihat Pak Afdal menatapnya berang, Syamil tanpa perasaan menendang dada lelaki itu kuat. Kursi yang diduduki Pak Afdal terjungkal kuat ke belakang. Kepala Pak Afdal sukses membentur batu gua. Lelaki itu merasa pusing, dunia seolah berputar, lalu semuanya gelap.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
De Edward
Jadi ini biang keroknya. Sayang shanum tak tahu fakta ini.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status