Share

5. KANAYA

Shanum berusaha memperbaiki moodnya yang terlanjur rusak. Dia yang tidak sarapan di rumah, masih berharap Gibran akan cepat kembali membawa makanan. Namun, sampai jam sebelas lewat, lelaki itu belum juga kembali. Hati Shanum terasa sakit. Beginikah rasanya diberi janji dan harapan?

Tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung, Shanum segera mengeluarkan bekal dari rumah. Andai Gibran tidak berjanji, tentu dia sudah mengisi perutnya sedari tadi.

Baru beberapa sendok, dia mendengar deheman di samping kanannya. Gibran melempar senyum, terlihat rasa bersalah di wajahnya.

"Makan, Num?" tanyanya sambil membersihkan tenggorokan yang mendadak serak.

"Iya, Uda. Makan, Uda?" Shanum melempar senyum semringah sembari mengangkar sendok.

Gibran tidak menduga kalau Shanum akan menyambutnya hangat. Tadi dia merasa Shanum akan marah melihatnya yang datang terlambat.

"Lanjut, Num. Maaf, ya? Tadi aku lama keluarnya. Kanaya minta ditemani membeli baju."

Kerongkongan Shanum terasa kering. Dia segera mengambil segelas air dan meminumnya cepat. Di dalam hati dia mengucapkan kata sabar berkali-kali.

"Oh, tidak apa-apa, Uda. Tidak ada lelaki yang mampu menolak pesona Kanaya. Hehehe. Lagian dia butuh bantuan Uda, tentu saja harus dibantu. Aku doakan semoga kalian bisa meresmikan hubungan ke jenjang yang lebih serius." Shanum memasang senyum lebar. Jauh di dalam hatinya, ada luka baru yang tercipta.

"Apa, sih, Num? Aku dan Kanaya tidak ada hubungan apa-apa, kok. Sama seperti ke kau, aku sudah menganggap dia seperti adikku sendiri." Rona wajah Gibran berubah. Dia segera menyibukkan diri di depan laptop. Baginya yang terbaik saat ini adalah fokus dengan usahanya.

Sejak wabah global melanda dunia, penjualan di toko pakaiannya turun drastis. Banyak pedagang off-line beralih menjadi pedagang on-line. Jadi, dia tidak mau buang-buang waktu memikirkan hal di luar bisnisnya sendiri.

"Sudah ada yang belanja belum, Num?" Gibran memasang kacamata, dan fokus menatap layar laptop. Shanum yang sudah hampir selesai makan, segera membereskan perlengkapannya.

"Ada, sih, Uda. Baru dua orang yang belanja. Itu pun hanya membeli dua helai jilbab." Shanum mereguk air, lalu menyimpan kembali kotak bekalnya.

"Alhamdulillah, Num. Seberapa pun yang terjual, itulah rezeki kita hari ini. Oh, ya? Sebentar lagi azan Dzuhur berkumandang. Aku mau salat ke masjid. "

Shanum mengangguk dan melirik jam di tangan. Hari sudah menunjukkan jam dua belas. Rasanya masih belum puas dirinya berlama-lama dengan Gibran.

Seperginya Gibran, Shanum duduk di tempat Gibran. Hatinya tergerak memeriksa file yang ada di dalam laptop bosnya itu. Dia tidak melihat ada yang mencurigakan di dalam laptop tersebut.

Namun, ketika mouse di tangannya mengklik folder My Girl, dadanya tersentak kuat. Di dalam folder tersebut begitu banyak foto Shanum. Foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Gambar yang terlihat kebanyakan menampilkan Shanum yang sedang tersenyum dan tertawa riang.

"Kenapa banyak fotoku di laptop Uda Gibran? Apa maksudnya ini? Apakah ini suatu tanda kalau ... dia menyukaiku?" Hati Shanum semakin tidak karuan. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Apalagi folder tersebut diberi nama my girl, tentu saja Shanum riang tidak terkira.

Dia segera menutup kembali file dan folder yang terbuka. Walau ribuan tanya masih memenuhi pikirannya, tapi Shanum berjanji di dalam hati untuk bersikap normal, menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu ke Gibran.

Shanum tidak ingin salah persepsi. Mungkin saja Gibran iseng karena tidak ada pekerjaan. Maklum, sudah beberapa bulan ini toko sepi. Yang jelas, Shanum merasa ada peluang baginya untuk bisa mendapatkan hatinya Gibran.

Mood-nya langsung naik drastis. Semua pikiran buruk tentang Gibran lenyap seketika. Dia segera merekap data-data produk yang akan di upload ke-toko online.

***

Kita kembali dulu sejenak ke saat Kanaya pergi sarapan dengan Gibran.

Gibran berusaha melepaskan pegangan tangan Kanaya di lengannya. Bagaimana pun, berjalan seperti ini di pasar sungguh tidaklah elok dilihat orang lain. Apalagi orang banyak yang kenal dengan Gibran.

"Tidak usahlah pegang-pegang, Nay. Uda tidak mau orang salah tanggap. Apalagi kita bukan muhrim dan tidak mempunyai hubungan apa-apa."

Namun, Kanaya tidak sedikit pun melepaskan pegangannya di lengan Gibran. "Uda, kalau begitu, halalkan aku, Uda. Aku siap, kok, jadi istrimu." Kanaya berbisik lirih di telinga Gibran. Lelaki itu sampai berhenti berjalan karena terkejut. Dia segera menepis tangan Kanaya.

"Maaf, Nay. Aku tidak bisa. Saat ini aku belum punya hasrat untuk kembali berumah tangga." Tatapan mata tajam Gibran menancap kuat di mata Kanaya. Perempuan itu perlahan menjauhkan tangannya. Wajahnya berubah murung dan sedih.

"Apa aku kurang cantik, Uda?" Kanaya menunduk, menahan getir di dada. "Apa aku tidak baik menurutmu?"

Gibran jadi panik ketika Kanaya mulai sesenggukan. Beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. "Buk ... bukan begitu, Nay. Tolong, jangan menangis. Aku ... aku paling tidak bisa melihat orang menangis."

Lelaki itu mengeluarkan sehelai sapu tangan dari saku celananya. Dengan lembut dia seka air mata yang bergulir di pipi mulus Kanaya. Kanaya memegang lembut tangan Gibran. "Aku mencintaimu, Uda. Jauh di dalam hatiku aku sangat menyukai dan mengagumimu. Jangan biarkan hatiku patah dan rusak, Uda. Aku mohon terimalah cintaku."

Gibran sampai terpana mendengar ucapan Kanaya. Seumur hidup, baru sekali ini dia ditembak perempuan. Lidahnya mendadak kelu. Keringat dingin membasahi dahinya. Di tidak tahu mesti menjawab apa. Di saat itulah, dia mendengar kekehan Kanaya.

"Kau mengerjain aku, ya?" Mata Gibran terbelalak. Sementara Kanaya tidak kuasa menahan tawa.

"Kau benar-benar lugu, Uda. Hahaha. Ya ampun, andai tadi kurekam taei ekspresimu itu, mungkin kau akan tertawa melihat wajahmu sendiri, Uda. Hahaha."

"Ya Allah, Kanayaaa! Kau benar-benar membuat Uda hampir dapat serangan jantung. Untunglah kalau ini hanya prank!" Gibran mengusap dadanya. Tidak menyangka akan dikerjai sedemikian rupa oleh Kanaya.

"Maaf, ya, Uda. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Habis, kau terlalu serius menjalani hidup, Uda. Coba lihat wajahmu itu, sudah kayak Om-om usia enam puluh tahun. Hahaha."

Gibran mengernyitkan dahi, lalu jemarinya mencubit pelan pipi Kanaya. "Kau nakal, ya?"

"Hahaha. Ya udah, ayo, kita cari sarapan. Aku tidak mau Uda dapat magh karena terlambat mengisi perut."

Kali ini Gibran tidak melarang Kanaya memegang lengannya, karena dia benar-benar shock. Jantungnya masih belum sempurna berdetak. Dia melangkah MAJU bersama gadis cantik itu menuju sebuah warung makanan.

"Jangan diambil hati, ya, Uda? Aku hanya bercanda, kok. Entah kenapa aku suka sekali membuatmu jengkel. Aura panikmu itu selalu keluar." Kanaya menghempaskan pantatnya di sebuah kursi panjang. Gibran duduk di sampingnya dengan tenang. Lelaki itu tertawa lebar untuk sesaat. Mereka memesan minuman dan makanan setelah pelayan mendekati meja mereka.

"Uda?"

"Hmm?"

"Ada yang ingin aku sampaikan sebenarnya." Kanaya mengaduk teh hangat pelan. Matanya melirik ke arah Gibran yang sedang menatap layar ponselnya.

"Tentang apa, Nay?" tanya Gibran tanpa menoleh.

"Aku rasa ... tapi maaf dulu, yah, kalau aku salah ...." Suara Kanaya meragu. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Gibran. Bos Shanum itu segera menutup layar ponselnya dan menyimpannya kembali ke dalam saku. Dia menatap Kanaya lekat.

"Please, to the point aja. Jujur itu lebih baik. Semua bisa dibicarakan."

Kanaya mereguk ludah untuk membasahi kerongkongannya. "Aku rasa ... Mbak Shanum itu menyimpan rasa untukmu, Uda."

Gibran terkejut. Lalu terbahak kemudian. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"

"Aku seorang perempuan, Uda. Tentu saja aku tahu. Sering kuperhatikan, kalau aku sudah ke tempatmu, wajahnya berubah menjadi jutek. Sepertinya dia cemburu denganku, Uda."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status