Share

6. RENCANA JAWINAR

Lama Gibran termangu di meja makan setelah mendengar ucapan Kanaya. Dia tidak menduga sama sekali kalau Shanum memiliki rasa kepadanya.

"Sudah, jangan dipikirin. Toh, kalau jodoh enggak bakalan ke mana, Uda. Lagian cocok, kok. Uni Shanum cantik alami, Uda juga tidak kalah gagah dan tampannya. Cocoklah kalian berdua itu." Kanaya menghapus sisa-sisa makanan di bibirnya dengan sehelai tisu. Dia menatap Gibran yang terlihat kebingungan.

"Masalahnya, Naya, Shanum itu masih mempunyai suami. Rasanya tidak mungkin kami bisa bersatu. Walau jujur kukatakan, aku menyukainya. Dia itu ... bisa membuatku merasa penting." Wajah Gibran memerah. Terlihat malu setelah menyatakan hal tersebut.

"Hahaha. Ampun, deh. Uda kayak anak ABG saja. Ya, kalau tidak memungkinkan untuk mendapatkan dia, berarti ada peluang bagiku untuk mengisi ruang hatimu."

Seketika senyum di bibir Gibran menghilang. Wajahnya kembali pucat.

"Hahaha,  Ya Tuhan, wajah Uda pucat sekali. Kuylah, Uda, kita balik. Aku mesti ke kantor hari ini. Banyak laporan yang harus aku buat." Kanaya berdiri dan berinisiiatif hendak membayar. Namun, Gibran menahan langkahnya.

"Jangan bikin malu aku, Naya." Gibran mengeluarkan dompetnya. Dia bergegas menuju kasir untuk membayar apa yang telah mereka makan.

"Uda, ingat pesanku ini. Uni Shanum ada rasa sama Uda. Entah Uda yang akan memberi kesempatan, atau Uni Shanum yang akan berterus terang ke Uda tentang perasaannya." Sebelum berpisah, Kanaya berbisik ke telinga Gibran. Selanjutnya Gibran membawa mobilnya kembali ke rumah. Dia lupa dengan pesanannya untuk Shanum.

Rumahnya berada di kawasan Malana Ponco. Sebuah rumah bergaya minimalis, dengan halaman yang tidak terlalu luas. Dengan tergesa-gesa Gibran memasuki rumahnya, lalu menuju kamar pribadinya.

Di dalam kamar dia mengempaskan tubuhnya. Pikirannya benar-benar kacau. Apa yang dikatakan Kanaya mengiang kembali di telinganya.

'Uni Shanum cemburu, Uda.'

'Benarkah Shanum menyukaiku? Aku tidak melihat sedikit pun tanda-tanda kalau dia memiliki rasa untukku. Ya Tuhan, kenapa aku jadi berharap Shanum berpisah dengan Syamil. Aku hanya ingin MENYELAMATKANNYA dari kejatuhan yang menyakitkan.'

Hati Gibran mendua. Ada dua pilihan yang berkecamuk di dalam hatinya. Pilihan pertama mendoakan yang terbaik agar Shanum dan Syamil bisa kembali bersama-sama membangun rumah tangga yang mulai retak. Pilihan kedua, dia perlahan-lahan masuk ke dalam pikiran Shanum, memberi perhatian lebih ke perempuan itu, sehingga Shanum merasa terjerat, lalu jatuh ke dalam pelukannya.

Gibran memukul kepalanya karena gusar. Selama ini dia berusaha sok bijak, sok paham, dan sok memberi wejangan ke Shanum, padahal hati kecilnya menginginkan Shanum menjadi kekasih hatinya.

Perlahan-lahan Gibran turun dari ranjang. Dia mendekati meja belajar di sudut kamarnya. Di atas meja ada satu set komputer. Segera dia nyalakan komputer tersebut. Dia aktifkan aplikasi CCTV yang terhubung dengan camera CCTV di tokonya. Di saat itulah dia melihat Shanum sedang sibuk menginput sesuatu di laptop. Berkali-kali Gibran memperbesar layar monitornya. Menatap wajah cantik Shanum yang terlihat serius.

"Sepertinya aku akan memilih option ke dua. Bukankah cinta itu harus diperjuangkan?" Senyuman aneh muncul di wajah Gibran. Dia segera mematikan CCTV, lalu keluar dari kamar.

***

"Sungguh tidak amak duga, Erna, kalau si Shanum ternyata berselingkuh dengan bosnya."

Etek Jawinar sampai di rumah dengan nafas terengah-engah. Erna--anak gadisnya--menatap perempuan tua itu heran. "Apa pasal, ni, Mak? Baru pulang sudah membawa kabar buruk. Selingkuh bagaimana maksud Amak, nih? Eh, tapi duduklah Amak dulu. Erna ambilkan minum, ya? Terkejut sekali Amak aku lihat."

Sambil mengelus dada, Etek Jawinar melambaikan tangannya menyuruh Erna segera bersilekas. Tampak dia sangat haus. "Cepatlah, Erna. Amak haus sangat. Jantung ini serasa mau putus. Andai amak tidak lihat dengan mata kepala sendiri, tentu amak tidak akan sekaget ini."

Erna segera memberikan segelas air yang langsung disesap Etek Jawinar dengan cepat.

"Nah, sekarang ceritakanlah, Mak. Ada masalah apa dengan si Shanum?"

Etek Jawinar menatap Erna dengan tatapan berbinar-binar. "Kau tahu tidak, Erna? Amak punya senjata untuk membuat si Shanum keluar dari kampung ini."

Mendengar ucapan Etek Jawinar, Erna terkejut. Mulutnya ternganga, tidak percaya dengan pendengarannya. "Astaghfirullah, Mak. Apa maksud, Amak? "

Bukannya mendapat jawaban langsung,  paha Erna dipukul pelan oleh Etek Jawinar, "Kau benar-benar bodoh, pikun, atau bagaimana, Erna?"

Erna semakin heran dan bingung. "Kenapa pula Amak bertanya macam itu? Tentu sajalah anak Amak ini pintar. Sama-sama kuliah aku dengan si Shanum di Padang. Emang dasar rezeki aku saja yang kurang baik."

"Eyayai! Bukan itu maksud amak, Erna! Tidakkah kau sadar, semenjak si Shanum di kampung, penghasilan kita jadi berkurang. Dulu, semua sawah Amaknya kita yang urus. Dia tahu bersih saja. Begitu juga dengan hasil kebun, tahun ini tidak ada lagi jatah untuk kita. Semuanya sudah dikuasai oleh si Shanum. Amak tidak bisa lagi beli emas tahun ini."

Erna tercenung mendengar ucapan ibunya. Dia garuk-garuk kepala yang tiba-tiba saja terasa gatal. "Sudahlah, Mak. Itu 'kan hak dia. Sudah untung kita dibantu selama ini. Sudahlah. Amak jangan mikir aneh-aneh lagi. Mending kita makan, yuk, Mak?"

Wajah Etek Jawinar jelas menyiratkan kata tidak suka mendengar perkataan putrinya itu. Dia kembali menepuk paha Erna, kali ini sedikit lebih keras. "Kau benar-benar bodoh, Erna. Pantas saja kau tidak laku, miskin, dan menyusahkan saja. Coba kau lihat si Shanum, dia bekerja dengan orang kaya. Kalau dia cerai dengan si Syamil yang kurang waras itu, dia bisa hidup senang dengan juragannya itu. Bertambah-tambah hartanya. Sedangkan kau? Kau akan menjadi wanita lapuk dimakan usia. Tidak laku-laku! Andai saja kau mau amak carikan jodoh, sudah barang tentu senang hidupmu sekarang."

Panjangnya rentetan kalimat Etek Jawinar membuat Erna membekap kupingnya. Wajahnya kesal dan bibirnya manyun.

"Jadi apa yang akan Amak lakukan?"

Etek Jawinar tertawa lebar. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecilnya. Mengusap layar benda tersebut lalu memperlihatkan sebuah foto ke Erna.

Untuk ke dua kalinya Erna ternganga. Terlihat di dalam foto, Shanum sedang memeluk erat seorang pria.

"Amak akan perlihatkan foto ini ke Syamil. Dia pasti akan marah besar, lalu menceraikan si Shanum. Kalau mereka cerai, Shanum tidak akan mungkin tinggal lebih lama di kampung kita, lalu dia akan kembali ke Pasaman. Dengan begitu, sawah dan ladangnya bisa kita kuasai kembali." Senyum culas menghiasi wajah tua Etek Jawinar. Sementara Erna tidak menduga kalau ibunya akan tega melakukan hal sejahat itu.

"Apa ini tidak berbahaya, Mak? Aku khawatir melakukan hal-hal seperti ini."

"Diam! Dan ikuti saja perintah amak. Semua ini amak lakukan demi kau, Erna. Kalau hidupmu senang, amak juga senang. Lagian, sampai kapan kita akan hidup melarat, ha?"

Erna bungkam seribu bahasa. Hati kecilnya merasa apa yang dilakukan Etek  Jawinar tidaklah benar. Namun, di sisi lain, dia merasa iri selama ini dengan Shanum. Shanum selalu menjadi pembanding bagi kehidupannya. Dia hanyalah bayang-bayang di keluarga besarnya. Sementara Shanum selalu mendapatkan perhatian penuh.

Luka itu sempat tertutupi setelah Shanum menikah dan menetap di Padang. Namun, setelah Syamil di-PHK, dan mereka kembali pulang ke kampung. Ketenangan Erna dan Etek Jawinar mulai terusik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
De Edward
Berbahayaaaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status