Share

7. ANCAMAN

Syamil menatap Pak Afdal yang terkapar pingsan di lantai gua. Kebencian masih membara di dalam dadanya. Jika dia turutkan hati, ingin dia membunuh lelaki berusia empat puluh lima tahun tersebut.

"Beruntung kau masih bernafas sampai sekarang, Pak Afdal. Andai dulu kau tidak memecatku, hidupku tidak akan hancur begini. Lihatlah, lihatlah bagaimana aku sekarang! Pengangguran! Semua orang meremehkanku. Semua orang memandangku sebelah mata kini. Bahkan, istri yang kucinta pun mulai berubah. Tidak lagi dia bahagia menjalani hidup denganku, Pak Afdal. Semua itu gara-gara kau, Bangsat!" Syamil menendang tulang rusuk Pak Afdal, membuat lelaki itu tersadar, lalu berteriak kesakitan. Tubuhnya melejang-lejang menahan perih di tulang rusuknya itu.

"Kau bajingan, Syamil! Jika kau tidak mau membebaskanku, lebih baik bunuh saja aku sekarang! Aku tidak tahan dengan semua siksaan yang kau berikan. Bunuh aku, Syamil! Bunuh!" Pak Afdal berusaha bangkit walau tangannya masih terikat. Tubuhnya sempoyongan, lalu terjatuh kembali ke tanah.

Syamil tertawa terbahak-bahak. Dia bergerak mendekati Pak Afdal, merenggut kerah baju lelaki malang itu. "Membunuhmu itu perkara gampang, Pak Afdal! Namun, apa kau kira dengan kau mati akan menyelesaikan masalah? Tidak! Kau salah berpikir begitu. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku hanya sedang bersenang-senang denganmu. Kau harus membayar mahal semua apa yang kau lakukan kepadaku! Tenang saja, Pak! Secepatnya aku akan membawa Shanum ke sini. Tentu kau bakalan gembira melihatnya bukan? Pikiran mesummu itu akhirnya kesampaian juga. "

Habis berkata seperti itu, kaki Syamil kembali melayang. Kali ini tendangannya hinggap di mulut Pak Afdal, membuat beberapa gigi lelaki itu patah. Raungan Pak Afdal mendirikan bulu roma . Darah segar merembes dari mulutnya.

Sambil berteriak, dia ingat dengan beberapa hari sebelumnya.

Dia tidak sengaja bertemu dengan Syamil di sebuah rumah makan di kota Batusangkar. Tidak ada kesan kebencian dan amarah yang Syamil perlihatkan ketika itu. Bekas karyawannya tersebut menyambutnya hangat. Bahkan mereka menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol dan mengenang masa lalu.

Pak Afdal jelas terkesan melihat Syamil yang tidak berubah sedikit pun. Masih ceria dan bersahabat.

"Aku minta maaf, ya, Syam, karena harus memberhentikanmu. Kondisi perusahaan sedang sulit. Banyak pengeluaran dari pada pemasukan."

"Akh, tidak ada yang perlu disesali, Pak. Namanya juga hidup. Tidak selamanya berjalan mulus. Itu sudah resiko saya sebagai karyawan. Harus siap diberhentikan kapan saja."

Pak Afdal merasa sangat terharu. Dia sedikit menyesal karena telah memecat Syamil.

"Terus apa yang kau lakukan sekarang, Syam?"

Syamil tersenyum kecut. "Tidak ada, Pak. Sampai sekarang saya masih menganggur. Untungnya, Shanum sudah bekerja. Kalau tidak, tidak tahu lagi saya mesti bagaimana melanjutkan hidup." Walau Syamil memasang wajah ceria, tapi Pak Afdal menangkap nada getir di suara lelaki itu. Dia memegang lengan Syamil, bak kawan lama yang baru bertemu, dia menyampaikan rasa dukanya.

"Maaf, ya, Syam. Andai aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Namun, sekarang semuanya serba sulit. Apalagi pandemi begini, beberapa cabang perusahaan terpaksa ditutup. Entah bagaimana nasib kita ke depannya."

Mereka terus saja berbicara sampai akhirnya Pak Afdal tersadar kalau maghrib telah menjelang.

"Kapan Bapak balik lagi ke Padang?" Syamil menyeruput teh botolnya yang tinggal setengah.

"Kemungkinan empat hari lagi, Syam. Setelah semua urusanku selesai di kota ini. Kau jalan-jalanlah ke Padang. Mungkin nanti aku bisa carikan pekerjaan. Asal ...." Senyuman aneh menghiasi wajah Pak Afdal. Dia menyalakan sebatang rokok, menatap Syamil dengan penuh intimidasi.

"Apa Bapak masih menginginkan Shanum?"

Cengkeraman tangan Pak Afdal di lengan Syamil terasa semakin kuat. Matanya menatap tajam, dengkusan keluar dari hidungnya. "Tidak ada laki-laki yang tidak akan tertarik ke Shanum, Syam! Sampai sekarang, hasratku masih membara untuk bisa merasakan kehangatannya."

Pak Afdal melihat wajah Syamil berubah keruh. Dia tahu dada lelaki itu terasa sesak. Aura kebencian menyeruak dengan jelas. Pak Afdal juga tahu kalau Syamil  sudah begitu lama memendam kemarahan di dadanya yang seakan-akan hendak meledak.

REAKSI Syamil tersebut kontan membuat Pak Afdal terbahak. Dia masih memegang erat lengan mantan karyawannya itu." Dengar, Syam! Sampai sekarang aku masih menyimpan rekaman itu, lho. Sekali saja aku share ke internet, tamat riwayatmu."

Syamil terlihat sangat terkejut mendengar ucapan mantan bosnya itu. Dia menatap Pak Afdal dengan tatapan yang susah untuk dilukiskan. "Apa yang Bapak inginkan?"

"Shanum!" Mata Pak Afdal berkilat. "Aku sudah memberikanmu waktu setahun untuk berpikir. Jika kali ini aku masih tidak mendapatkan apa yang kuinginkan, jangan salahkan aku jika aku membuatmu menyesal seumur hidup!"

Syamil menggigit bibir bawahnya getir. Andai saja Pak Afdal tidak memiliki kelemahannya, mungkin dia tidak akan peduli dengan apa yang akan terjadi. Rekaman yang ada di tangan pria separuh baya itu, sangatlah berbahaya dan bisa membuat Syamil kehilangan harkat dan martabatnya di masyarakat.

Setelah menarik napas dalam, Syamil menenangkan pikirannya yang tadi kacau. Senyuman kembali dia perlihatkan. " Apa Bapak bisa memberiku uang jika kupenuhi semua keinginanmu?"

Pak Afdal tertawa renyah. Dia merasa mendapatkan lampu hijau. "Berapa pun yang kau minta, asal aku bisa menikmati tubuh Shanun seharian. Bagaimana? Kau setuju?" Mata Pak Afdal penuh dengan binar bahagia. Wajahnya diliputi rasa senang.

Syamil tertawa, menutupi suasana hatinya yang buruk. " Baik, Pak! Kebetulan di kampung saya ada sebuah tempat yang sangat bagus, bisa digunakan untuk kencan. Kalau Bapak mau, bagaimana kalau besok Bapak saya ajak ke sana?"

Tawaran Syamil terasa begitu menggoda.   "Seperti apa tempatnya?" tanyanya antusias.

Sambil tersenyum, Syamil mengeluarkan ponselnya, membuka galeri dan memperlihatkan beberapa foto pemandangan yang sangat indah.

"Gua?" Debaran di dada Pak Afdal kian kuat. Dia sangat excited. "Bagus sekali dan sangat eksotis, Syam!"

Syamil lagi-lagi tertawa. "Ya iyalah, Pak. Gua ini baru saya yang menemukan. Kebetulan ada di lahan saya. Jadi, tidak akan ada yang tahu dengan apa yang akan Bapak lakukan di sana."

Pak Afdal membasahi bibirnya yang terasa kering. "Bagaimana cara mengajak Shanum ke sana?"

"Yap, kalau masalah itu Bapak tenang saja. Saya akan antar Bapak ke sana dulu pagi besok. Setelah itu saya akan membawa Shanum. Lalu Bapak bisa melakukan apa saja dengan istri saya itu."

Jakun Pak Afdal bergerak naik turun. Dia lagi-lagi membasahi bibirnya. Deru napasnya terasa kasar, menyapu wajah Syamil. "Kau serius, Syam?"

Syamil menatap tajam bola mata Pak Afdal. "Saya serius, Pak! Yang penting Bapak mau menghapus file rekaman berbahaya itu. Nanti aku akan berikan obat perangsang untuk Shanum. Gua itu gelap, Pak. Jadi dia tidak akan menduga kalau dia telah bercinta dengan Bapak. Bagaimana ide saya, Pak?"

Pak Afdal tidak bisa menahan perasaannya. Dia memeluk Syamil erat. "Kau memang paling bisa diandalkan, Syamil. Aku jadi tidak sabar menunggu hari esok!"

"Hahaha. Iya, Pak. Pokoknya besok pagi saya akan jemput Bapak ke penginapan. Kita perginya pakai motor saya saja. Bapak pakaiannya yang santai saja, ya? Biar orang tidak  curiga." Syamil  menatap Pak Afdal penuh arti.

Mereka mengakhiri rundingan setelah malam turun ke bumi. Syamil kembali pulang ke Galogandang dengan jutaan kebencian yang mendekam di dalam dadanya. Sedangkan Pak Afdal tertawa riang mengendarai mobilnya menuju penginapan. Sungguh, dia tidak menduga kalau setiap waktu yang berdetik, akan mengantarkannya pada kematian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status