Share

8. BALAS DENDAM

"Aku tidak habis pikir kenapa Bapak begitu terobsesi dengan istriku? Bahkan setelah aku tidak lagi bekerja di perusahaan Bapak, dan kita bertemu secara tidak sengaja, Bapak masih berharap bisa mendapatkan istriku. Sungguh, orang seperti Bapak tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama lagi di dunia ini!" Syamil kembali mendudukkan Pak Afdal di atas kursi. Mengikat kembali tangan dan kaki lelaki setengah baya tersebut. Darah yang menetes dari mulutnya mulai berkurang. Wajahnya benar-benar tidak bisa lagi dikenali. Penuh lebam dan bengkak di beberapa bagian.

"Syamil ... tolong lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan melaporkanmu ke polisi. Aku juga bersumpah akan menghapus semua rekaman itu. Aku mohon belas kasihmu, Syam. Ini ... ini sangat menyakitkan. Aku mohon maafmu! Aku ... aku akan ... melakukan apa saja untukmu. Tolong aku ...."

"DIAAAM!" Mata Syamil melotot, telapak tangannya menampar pipi Pak Afdal kuat. Saking kerasnya tamparan itu, telapak tangan Syamil terasa kebas. Sementara akibat tamparan tersebut, Pak Afdal merasakan kepalanya seakan-akan meledak. Pandangannya kian berkunang-kunang. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah sesal, takut, cemas, dan rasa ingin keluar dari gua terkutuk ini.

Terbayang wajah orang-orang yang dia cintai. Wajah anak-anaknya, wajah istrinya yang yang kerap dia dustai. Di dalam hati, Pak Afdal berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kesempatan kedua. Kesempatan untuk bisa berbuat baik, beramal saleh, meninggalkan segala larangan, melakukan semua kewajiban.

Sekarang yang tersisa di dalam hatinya hanyalah rasa pasrah, menyerah pada kehendak takdir. Dia tahu, peluangnya untuk selamat sangatlah kecil. Tanda-tanda Syamil akan membebaskannya tidak terlihat. Yang ada hanyalah siksaan demi siksaan yang terus dialamatkan ke tubuhnya. Seakan-akan Syamil menjadikannya bahan untuk pelampiasan rasa sakit hatinya.

"Aku tidak akan pernah memenuhi keinginanmu itu, Pak Afdal. Enak saja! Kebencian yang Bapak torehkan ke hatiku, tidak bisa hilang begitu saja. Saat ini, Bapak hanya bisa pasrah dan menerima apa yang kulakukan. Kalau pun nanti Bapak mati, itulah kematian yang sangat terhormat. Hahaha."

Waktu kian bergulir menjemput sore. Syamil sempat tertidur di dalam gua, lalu bangun ketika telinganya menangkap suara bergedebuk. Dia segera bangun dan mendapati Pak Afdal terjatuh bersama kursinya.

Syamil menatap malas, lalu beringsut mendekati Pak Afdal. "Sudah kubilang, terima nasib saja. Percuma Bapak berusaha membebaskan diri. Ikatan tali ini sangat erat. Jangan coba-coba lagi, atau aku akan putuskan urat-urat di nadimu. Bapak dengar, ha?" Jemari Syamil memegang rahang Pak Afdal kuat.

"Syam, aku begitu kotor. Aku ingin buang air. Tolong lepaskan aku, Syam. Sebentar saja!"

"Kalau buang air kecil, kencing saja di dalam celanamu. Namun, jangan coba-coba buang air besar. Kalau sampai terjadi, aku akan sumpalkan kotoran itu ke mulutmu, Pak!"

Mata Pak Afdal kian terbelalak mendengar ucapan Syamil. Sungguh tidak masuk di akal dengan apa yang dikatakan lelaki di depannya itu. "Kau gila! Psikopat! Lebih baik kau bunuh saja aku, Syamil!"

Bukannya menjawab, Syamil tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk bahu Pak Afdal. "Hari sudah senja. Aku akan pulang. Bapak pasti betah di sini, bukan? Namun, malam ini tidak ada obor. Bapak akan berada di dalam kegelapan sampai pagi. Hati-hati, ya, Pak! Di sini banyak hantunya!" Syamil mengambil obor yang berada di dinding gua. Sebelum melangkah menjauh, dia menyeringai menatap Pak Afdal. Lelaki tua itu berteriak murka. Kutuk serapah keluar dari mulutnya.

"Akh, untung Bapak memakiku. Aku jadi ingat untuk menyumpal mulut kurang ajarmu itu!" Syamil kembali menancapkan obor, lalu jongkok mengambil kaus kaki yang terlihat begitu kotor. Seringai jahat kembali menghiasi wajah tampannya. Dia berusaha sekuat tenaga menyumpal mulut Pak Afdal, sementara pria malang itu mati-matian menutup mulutnya. Syamil lalu menggigit tangan Pak Afdal, membuat mantan pimpinannya itu menjerit. Kesempatan itu langsung digunakan Syamil untuk memasukkan kaus kaki tersebut ke dalam mulut Pak Afdal.

"Selesai!" Syamil tersenyum senang. Dia menepuk-nepuk pipi Pak Syamil. "Aku pergi, ya, Pak. Jangan mati dulu. Urusan kita belum selesai. Jaga dirimu baik-baik, Pak. Selamat sendirian." Sambil bersiul, Syamil mencabut obor dan perlahan-lahan dia keluar dari dalam gua tersebut.

Begitu berada di luar, matahari sudah dimakan rembulan. Sang Dewi Malam pun terlihat kurang bercahaya menjalankan tugasnya. Seakan-akan ikut khawatir dengan apa yang Syamil lakukan.

Dengan obor di tangan, dia menyusuri jalanan yang dipenuhi ilalang dan tumbuhan rambat. Jika tidak hati-hati, bisa saja dia tersandung dan terjatuh. Namun , Syamil sudah begitu familiar dengan kawasan tersebut. Dia kembali sampai di Lubuak Burai. Deru air sungai terdengar syahdu. Menciptakan ketenangan di hati Syamil. Obor yang tadi dia bawa, padam karena kehabisan sumbu.

Lelaki itu menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia rentangkan tangan dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin yang dinginnya seperti hendak menembus sum-sum tulang.

Di bawah naungan cahaya bulan yang suram, Syamil berendam di dalam sungai kecil itu. Tidak peduli dengan keheningan alam yang menggetarkan kalbu. Tiada rasa takut di dalam hatinya. Dia terus bersiul, melantunkan kidung yang menyayat hati.

Dia bersandar ke sebuah batu dengan kondisi badannya masih berada di dalam air. Matanya kembali dia pejamkan. Ingatannya melayang ke saat-saat bagaimana dia berhasil membawa Pak Afdal ke Lubuak Burai.

Waktu itu senja sedang tidak bersahabat karena ditindihi gerimis. Syamil sampai di tempat penginapan Pak Afdal. Lelaki setengah baya itu sudah stand by menanti kedatangan Syamil. Melihat kedatangan Syamil, senyum merekah di wajahnya.

"Kau datang."

Syamil tersenyum. "Bapak sudah siap?"

"Oh, tentu, dong! Aku cuma menggunakan baju santai ini saja. Apa kita langsung pergi sekarang?"

Syamil mengangguk. "Ingat, ya, Pak. Kita akan langsung ke gua. Saya sudah menyiapkan segala sesuatunya di sana. Setelah nanti Bapak di dalam gua, saya akan menjemput Shanum dan membawanya ke lokasi. Saya sudah mengatakan kepadanya kalau saya akan mengajaknya menikmati malam di bawah cahaya rembulan di Lubuak Burai. Dia sangat excited, Pak. Jadi, semoga semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan rencana."

Pak Afdal tertawa puas. Rasa tidak sabar mengungkung hatinya. Dia segera mengajak Syamil untuk lekas. Rasa rindu di dadanya terhadap istri mantan karyawannya itu tidak terbendung. Bukan karena dia cinta, tapi dia sangat penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan Shanum.

Sayang seribu sayang. Semua impian dan harapan Pak Afdal buyar begitu berada di kedalaman hutan Lubuak Burai. Ketika kakinya menginjak kaki gua, Syamil yang berada di belakangnya, tanpa terduga melayangkan balok kayu sebesar lengan ke tengkuk Pak Afdal.

Lelaki itu tidak sempat mengelak. Lenguhan kesakitan keluar dari mulutnya dan akhirnya tumbang ke lantai gua.

Mata Syamil dipenuhi amarah dan kebencian menyaksikan tubuh tua itu rubuh tak berdaya.

"Kau hanya mencari mati ke tempat ini, Pak Afdal!"

Semua ingatan itu menyentakkan kesadaran  Syamil. Dia menatap sekeliling, udara kian dingin, cahaya bulan sudah lindap. Tempat itu benar-benar berada dalam kegelapan yang teramat sangat.

Syamil segera keluar dari sungai. Dia segera mengenakan bajunya kembali. Selanjutnya dia bergegas menembus gelapnya malam.

Hati dan pikirannya terasa lelah ketika bayangan Shanum melintas. Akankah RANTAI yang mengikat hubungan mereka putus begitu saja?

Syamil gamang menatap masa depan yang kian tak terarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status