Share

Ziarah ke Makam Ayah

“Jangan bergerak!”

Lily mengangkat kedua tangan dengan perlahan. Suara langkah kaki kian mendekat. Insting Lily langsung bekerja ketika tangan seseorang menyentuh pundaknya. Dengan sigap diputarnya tangan dan dibantingnya sosok tersebut.

“Berhenti!” Tinju Lily tertahan tepat di depan hidung lelaki yang baru saja dijatuhkan. Suara seseorang dari dalam rumah mengalihkan fokusnya. Mata birunya melebar dan tubuhnya kembali tegak berdiri saat melihat perempuan berparas ayu memakai kebaya.

Lily tak dapat bergerak saat mendapati wanita tersebut mendekat lalu menyentuh pipinya yang putih.

“Anna?”

Lily hendak tersenyum lalu teringat kejadian di bandara saat gadis kecil kabur setelah melihatnya tersenyum. Ia mengurungkannya.

“Ibu,” ucapnya lirih dengan muka tanpa ekspresi.

Direngkuhnya tubuh Lily ke dalam pelukan wanita berkebaya yang tak lain adalah ibunya. Tangis wanita itu berurai.

Tak berselang lama, dua gadis remaja keluar dari dalam rumah. Tak ada kata-kata yang terucap dan wanita berkebaya. Ia menarik kedua gadis kecil itu ikut memeluk Lily.

“Kakak kalian telah pulang.”

***

Berkumpul di meja makan, empat orang itu menikmati makan malam yang kelewat malam. Lily melihat jam dinding sudah diangka 23:05. Matanya lalu berputar ke pemuda yang tadi sempat dijatuhkannya. Sedang meringkuk menahan sakit di atas sofa ruang tamu.

“Anna, ayo dimakan. Nanti keburu dingin,” pinta wanita berkebaya berparas ayu.

“Iya, Bu.” Lily mulai menyendok sup yang disajikan sang ibu. Sendok kedua langsung bergerak setelah menyadari supnya enak.

“Bagaimana perjalanmu dari Moskow?” tanya wanita berkebaya itu sembari menikmati sup di mangkuknya.

“Lancar lancar.”

Lily menyadari kedua gadis remaja yang tak lain adalah adiknya itu mencuri-curi pandang ke arahnya. Namun giliran Lily yang melihat, mereka malu-malu dan memalingkan pandangan.

Mereka adalah Agafia dan si bungsu Natasha. Saat Lily pergi sepuluh tahun silam, keduanya bahkan masih belum bisa menyebutkan nama kakaknya itu dengan benar. Kini saat Lily kembali keduanya telah beranjak remaja dan sangat cantik.

Agafia berambut panjang dan pirang sepertinya. Mata coklatnya mewarisi sang ibu. Sedangkan si bungsu Natasha berambut pendek hitam dengan mata berwarna biru mewarisi ayahnya Viktor Grigori.

“Aku ingin melihat makam Ayah,” kata Lily.

Wanita berkebaya itu tersenyum, “Tentu saja kamu tahu soal itu. Aku tebak kamu pulang juga karena alasan itu kan?”

Lily mengangguk.

“Sudah malam. Kamu istirahat dulu. Besok pagi-pagi, Agafia dan Natasha akan mengantarmu.”

Acara makan malam itu selesai. Lily diantar sang ibu ke sebuah kamar yang sangat sederhana. Hampir tak ada barang mewah di kamar tersebut.

“Maaf jika tak sesuai harapanmu ya, tempat ini memang tak banyak berubah. Atas permintaan ayah kamu tentu saja. Viktor pikir, kalau terlalu mencolok disini bisa jadi perbincangan. Dan mereka akan tahu lokasi ini.”

Lily mengangguk. “Tak masalah, Bu. Aku hanya mengenang sesuatu.”

“Tentang kamar ini?”

“Iya. Masih sama seperti saat aku pergi sepuluh tahun lalu.”

Wanita berkebaya berparas ayu itu tersenyum. Dibelainya pipi Lily yang putih sampai ke belakang kepala. Gadis berdarah Rusia-Indonesia itu merasakan kenyamanan yang telah lama hilang. Tanpa sadar matanya terpejam.

“Ibu senang kamu pulang. Sudah lama ibu mencari cara untuk menghubungi kamu namun belum pernah berhasil. Diluar dugaan, malah kamu yang pulang. Ibu senang sekali, Lilianna.”

“Aku juga, Bu,” jawab Lily.

“Yasudah kamu istrahat ya. Biar ibu yang bongkar kopermu dan memasukkan pakaiannya kedalam lemari.”

“Tak perlu, Bu. Aku bisa lakukan sendiri.”

“Ibu mau melakukannya,” ujar ibunda Lily seraya tersenyum.

Lily menyerah dan membiarkan ibunya membongkar kopernya. Lily mengambil handuk yang baru saja dikeluarkan ibunya dari dalam tas.

“Kamar mandi masih di tempat yang sama, Bu?” tanya Lily.

“Masih. Kamu mau ibu hangatkan air?”

“Kalau tidak merepotkan.”

“Tentu tidak sayang.”

Wanita berkebaya itu berdiri lalu menghilang ke arah dapur. Lily bergegas memeriksa koper dan mengambil pistol yang ia sembunyikan di celah rahasia di koper tersebut. Menaruhnya di atas lemari.

***

Matahari pagi menyambutnya ketika mereka sampai di perbukitan di pinggir desa. Lily menghentikan langkah menikmati hangatnya sang surya di negara yang berbeda.

“Disini lebih hangat,” gumamnya.

“Ayo, Kak,” panggil Agafia yang sudah berjalan agak jauh di depan.

“Aku datang,” sahut Lily.

Perbuktian dengan rumput hijau membentang menyapa mata Lily. Setelah berjalan beberapa menit, tampaklah ratusan batu nisan berbagai ukuran. Makam terbalut sempurna dengan rumput. Beberapa yang masih baru hanya berupa gundukan tanah coklat.

“Makam ayah disebelah sana,” kata Agatha sembari menunjuk ke sebuah gundukan tanah yang masih basah. Lihat menyentuh pipi Agatha dan mendekati makam sang ayah.

“Hi, Dad, aku datang.” Lily berjongkok dan disentuhnya nisan sang ayah. Tertulis Viktor Grigori di nisan batu tersebut.

“Apa yang terjadi?” tanya Lily.

Agafia ikut jongkok, “Usia tua,” jawabnya.

“Begitu rupanya.” Lily melihat Natasha yang tampak menjaga jarak. “Kenapa dengan adikmu?”

Agafia menoleh ke arah mata Lily melihat. “Oh. Dia memang pemalu. Jangankan pada orang baru, tetangga yang sudah lama mengenalnya saja kadang dia masih takut.”

“Bagaimana denganmu?”

“Denganku?” tanya Agafia yang memiringkan kepala. Mata coklatnya mengamati sang kakak.

“Lupakan,” sahut Lily seraya menyentuh kepala sang adik. Diluar dugaan Agatha memeluk Lily erat. Membuat gadis dengan pembawaannya yang dingin itu terhenyak.

“Aku senang kakak pulang,” ucap gadis kecil berambut pirang itu lirih.

Lily tak mengucapkan kalimat apapun sebagai balasan. Ia hanya menunjukkannya dengan belaian lembut di punggung Agafia. Tampak dari kejauhan, Natasha berjalan malu-malu namun semakin dekat.

“Kemarilah,” kata Lily dengan tangan memanggil.

Natasha akhirnya mempercepat langkah dan berlari ikut memeluk kakaknya. Mereka tak menyadari, dari kejauhan ibu mereka menitikan air mata bahagia.

***

Keempat orang itu berjalan bergandengan. Si bungsu yang sebelumnya malu-malu, menjadi yang paling lengket dan memeluk lengan Lily paling erat.

“Ada yang udah ga malu-malu lagi nih kayaknya?” goda Agafia.

“Iiiihhhhhhh.” Natasha merajuk.

“Ssshhh, Aga,” seru sang ibu. Adik Lily itu cekikikan karena berhasil menggoda si bungsu.

Sedang berjalan pulang, tak jauh dari mereka tampak keributan di pasar tradisional. Tampak seorang pemuda dipukuli tiga orang wanita.

“Parmin,” panggil ibu Lily seraya berlari mendekat ke sosok pemuda yang tengah meringkuk di tanah dengan kaki salah seorang wanita menginjak perutnya.

“Tolong lepaskan,” pinta ibu Lily.

“Tidak bisa, Bu Atma. Parmin harus membayar hutangnya.”

“Biar saya yang bayar.”

“Jangan, Bude!” seru Parmin dengan suara lemah. Yang langsung dihadiahi tendangan di perut lagi.

“Ini,” diserahkannnya beberapa lembar uang ratusan ribu ke wanita yang menginjak perut Parmin. Diterimanya dan dilihat sebentar. “Ini kurang.”

Atmarini mengambil seluruh isi dompetnya dan diserahkan sambil menunduk. Seringai puas terbit dari wanita yang menginjak perut Parmin. “Nah, segini baru pas.”

Parmin dilepaskan dan segera mendapat pelukan dari Atmarini. Wanita yang menerima uang dari ibu Lily hendak memasukkan uanganya ke saku. Diluar dugaan Lily memegang lengannya. Menerbitkan amarah di mata wanita tersebut.

“Apa-apaan ini?”

Terima kasih sudah membaca. Tunggu bab berikutnya ya. Dan jangan lupa subscribe.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status