Share

Tanggung Jawab Lily

Seluruh mukanya tampak lebam dan bengkak. Bibirnya sobek dan berdarah.

"Siapa yang melakukan ini pada Adi?" tanya lelaki dengan postur kekar berwajah tampan. Yang berdiri memandangi adiknya yang tak sadarkan diri di pembaringan. Amarahnya membuncah.

Salah satu dari lima pemuda yang berdiri di belakangnya mendekat. “Anak buah Ronggo yang melakukannya, Bang.”

Lelaki tersebut menoleh dan terkejut, “Apa? Memangnya adikku salah apa?”

“Menurut berita yang saya dengar, Ronggo mencurigai ada yang memukuli Rinja. Dan pelakunya adalah seseorang yang memiliki selendang biru.”

Lelaki tersebut kembali melihat ke sang adik. Tak jauh dari pembaringan, ia melihat sebuah selendang biru yang penuh dengan noda darah.

“Tidak masuk akal. Adikku tak pernah jahat pada siapapun. Tega-teganya mereka berbuat demikian pada Adi.” Tangan lelaki tersebut mengepal kuat. Ia balik badan dan melihat lima pemuda di belakangnya. “Jika aku ingin membuat perhitungan dengan Ronggo, kalian bersedia membantuku.”

Salah satu pemuda langsung pasang badan. “Dengan senang hati. Abang selama ini selalu membela saat kami terlibat masalah. Sudah saatnya kami membalas budi,” ucapnya.

"Kami juga siap membantu, bang," ucapnya pemuda kedua. Diikuti anggukan tanda setuju dari yang lain.

Kakak lelaki dari pemuda bernama Adi itu terenyuh. “Terima kasih. Kita bergerak hari ini juga.”

***

Lily keluar dari kamarnya dan melihat ibunya tengah menyiapkan aneka sayur di atas Tampah. Ada Taoge, Kangkung, dan Bayam. Ada juga wadah dari bahan stainless untuk bumbu kacang. Atma menoleh ke arah putrinya.

“Selamat pagi, Anna.”

“Pagi, Bu,” sahut Lily seraya mendekati ibunya dan melihat aneka sayur di atas wadah bundar dari anyaman bambu itu. “Terakhir aku pergi, ibu masih berjualan ini. Bahkan sampai sekarang pun ternyata masih.”

“Ibu menikmatinya. Dan warga sekitar juga banyak yang kangen kalau ibu enggak jualan. Jadi ga enak sama mereka,” tutur Atma seraya tersenyum.

“Lagi lagi mementingkan perasaan orang lain.”

Atma hanya tersenyum mendengar sindiran Lily. Beres dengan bakal dagangan, wanita paruh baya yang masih cantik itu mengangkat Tampah ke atas kepala.

“Kamu mau ikut ibu jualan, Ann?”

Lily menggeleng, “Mungkin lain kali, Bu. Ada yang ingin aku lakukan hari ini.”

“Kamu mau kemana memangnya?”

“Jalan-jalan sekitar kampung saja,” jawab Lily sekenannya.

Atma tersenyum. “Ya sudah. Ibu ditemani Aga sama Nata saja. Kalau mau makan, ibu sudah siapkan,” kata Atma sembari mengedik ke atas tudung saji.

Lily melihat sekilas ke tudung saji lalu matanya kembali berputar pada sang ibu. “Ibu hati-hati.”

“Iya.”

Lily melihat wanita yang mengenakan kebaya itu berjalan dikawal dua malaikat kecil. Agafia dan Natasha menoleh ke arah Lily yang bersender ke pintu. Keduanya tersenyum dan melambaikan tangan. Hal tersebut kian menghangatkan sesuatu di dalam diri Lily.

Setelah yakin ibu dan kedua adiknya jauh, senyum Lily pudar dan wajah seriusnya kembali. “Waktunya beraksi.”

Wanita berambut panjang berwarna pirang itu bergegas menutup pintu depan dan menguncinya. Ia masuk kembali ke dalam kamar. Membuka tas kecil yang ia sembunyikan di bawah tempat tidur dan mengambil kain hitam yang dilipat membulat di dalamnya.

Diurainya kain tersebut dan puluhan pisau kecil terpampang. Lily bergegas mengambil beberapa sampai tangannya berhenti sendiri.

“Mereka hanya warga biasa. Apa harus sampai seserius ini?” gumamnya ragu. Setelah beberapa saat berpikir, Lily mengembalikan pisau-pisau itu ke tempatnya.

“Jika ada pertarungan, setidaknya tidak harus ada yang mati.”

Menyambar Hoodie di atas tempat tidur, Lily bergegas keluar pintu sampai langkahnya terhenti karena terpikirkan sesuatu. Ia menyambar selendang berwarna biru yang disembunyikannya di atas lemari bersama pistolnya.

***

Lily melewati jalanan kampung. Dari kejauhan, ia melihat sang ibu dikerumuni warga yang membeli dagangannya. Ia mengambil jalan lain. Melewati jalan setapak yang sepi di pinggir kampung.

Di sebelah kanannya adalah pepohonan yang cukup tinggi. Sementara sebelah kirinya adalah ilalang. Menurun ke bawah adalah sungai besar tempat ia bermain bersama kedua adiknya beberapa hari lalu.

Di kejauhan mata birunya menangkap seorang ibu membawa ranting pohon di punggung, berjalan ke arahnya. Lily menghentikannya.

“Ibu. Ibu tahu dimana rumah pak Ronggo?” tanya Lily.

Wanita tua yang sudah bongkok itu terkejut. “Mau apa ke rumah pak Ronggo, Nak?”

“Saya mau ada perlu dengan pak Ronggo,” jawab Lily.

“Kamu tahu siapa pak Ronggo kan? Tidak sembarangan orang bisa bertemu dengannya. Dan sebaiknya kamu menjauhi pak Ronggo kalau tidak mau terkena masalah.”

“Anggap saja, saya bukan sembarang orang itu.”

Wanita tua dengan keriput di wajahnya itu terkejut dan memandangi Lily. Akhirnya ia memutuskan bicara.

“Lurus saja di jalan ini. Nanti sebelum gapura selamat datang, kamu belok ke kanan. Ada rumah paling besar disitu. Nah itu rumah pak Ronggo.” Wanita tua itu menunjukkan arah dengan tangannya.

Lily tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia melanjutkan perjalanan diikuti tatapan penasaran dari sang wanita tua pembawa ranting pohon.

Tak butuh waktu lama, Lily berhasil menemukan lokasi rumah Ronggo. Lily mengawasi dari kejauhan. Tampak di gerbang rumah ada yang berjaga.

“Sepertinya tak mungkin kalau lewat depan.”

Sedang memikirkan bagaimana caranya untuk masuk ke dalam rumah Ronggo, Lily melihat enam orang pemuda melompati pagar samping layaknya ninja. Membuatnya terhenyak setelahnya karena keenam orang itu menghajar orang-orang di rumah tersebut.

"Apa-apaan ini?"

Dengan langkah terburu, Lily menuju gerbang. Penjaga gerbang yang dilihat sebelumnya tampak bergabung dengan yang lain menghadapi enam orang penyusup. Lily membuka gerbang yang ternyata tidak dikunci.

“Tidaakkkk!!!”

Teriakan pilu seorang perempuan terdengar dari dalam rumah. Lily mengambil selendang biru di saku dan mengenakannya. Berlari secepatnya ke sumber suara.

“Hentikan!” teriaknya.

Seorang lelaki berbadan kekar berwajah tampan, tampak tengah mengangkat tubuh Rinja ke udara dengan satu tangan. Terkejut melihat Lily memakai selendang warna biru menutupi muka.

Rinja yang masih lemah, dijatuhkan di lantai. Lily memeriksa sekeliling. Belasan orang terkapar.

‘Rupanya Ronggo tak sekuat itu,’ batin Lily.

“Sosok misterius yang mengenakan selendang biru ... jadi kamu yang sebenarnya mereka cari?” tanya lelaki tersebut yang menoleh pada Rinja. “Bukan Adi!” hardiknya pada wanita muda yang sudah tak berdaya.

“Aku tak tahu soal penangkapan Adi, Bang Din. Aku akui, aku memang salah,” ucap Rinja dengan suara lemah.

Lelaki yang dipanggil Bang Din itu mendengus. “Sudah terlambat untuk menyesal, Rinja.”

“Kalian sudah mendapat balas dendam yang kalian cari. Aku sarankan kalian segera pergi,” kata Lily.

Din dan kelima temannya mendekati Lily. “Tidak sebelum Ronggo bertanggung jawab atas ini semua. Dan kamu ... ” Din mengepalkan tinjunya. "juga akan menerima akibatnya."

Salah seorang teman Din tiba-tiba saja melayangkan pukulan yang tak terduga oleh Lily. Nyaris saja mengenai badannya namun dengan sigap Lily mundur ke belakang. Sontak membuat lelaki yang menyerangnya terkejut.

“Bukan orang sembarangan rupanya,” kata pria tersebut. Yang langsung memasang kuda-kuda. Tak mengambil jeda lama, pukulan pukulan berikutnya dilayangkan bertubi-tubi namun tak satu pun yang mengenai Lily. Membuat lelaki tersebut frustasi.

“Ayo! Lawan aku!” teriaknya. “Hiyaaaaa!!” Pukulan berikutnya dilayangkan.

“Maaf,” kata Lily singkat. Ditangkapnya lengan lelaki tersebut dan dibantingnya tubuh sang lelaki ke lantai.

Rinja yang tergeletak lemah di lantai terkejut dengan gerakan itu. Gerakan itulah yang sampai sekarang masih mebuatnya kesakitan. Bersamaan dengan jatuhnya teman Din, selendang biru itu tersingkap. Rinja terkejut melihat siapa sebenarnya sosok misterius di depannya.

“Kamu ... ?”

Tunggu bab berikutnya ya. Yuk subscribe biar saya makin semangat update babnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status