Share

3.

Setelah mencoba menenangkan sang istri, Didi mulai menghampiri Adnan yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikannya.

"Adnan, ayah boleh meminta sesuatu sama Adnan?"

Adnan bingung mendengar permintaan sang Ayah yang tiba-tiba, namun yang bisa ia lakukan hanya menganggukan kepalanya.

"Ayah minta untuk Adnan menikah, boleh?"

"Menikah itu seperti apa, Yah?"

"Menikah itu mempersatukan dua orang yang berbeda, seperti ayah dan Ibu. Adnan mau 'kan seperti Ayah dan Ibu? Memiliki anak juga nanti?"

Rasanya Adnan masih agak bingung dengan penjelasan sang Ayah, tetapi ia mulai berpikir bahwa mungkin dengan menikah, ia bisa bahagia seperti yang Ayah dan Ibunya selalu tunjukan di depannya.

"Menikah, seperti Ayah dan Ibu. Jika Adnan seperti Ayah, lalu sosok 'ibu' nya siapa Yah?"

"Nanti kita ketemu sama dia. Ayah tahu Adnan anak baik, pasti mau menuruti permintaan Ayah. Terima kasih, ya."

Adnan menganggukan kepalanya, kemudian menyunggingkan senyum manisnya.

Ah, rasanya hati Arini sakit melihat senyum manis yang polos anak tengahnya itu. Menurutnya, tentu saja pemikiran Adnan soal pernikahan hanya terfokus dan melihat pada dirinya dan sang suami yang memang selalu memperlihatkan kebahagian di depan Adnan. Padahal, lika-liku rumah tangganya sampai di titik ini juga tidak gampang, bukan hanya terfokus pada kebahagian saja. Ditambah membesarkan anak, tentu hal tersebut tidak mudah dijalani. Ia hanya berharap Tuhan memperlancar semua jalannya jika memang ini keputusan terbaik, meskipun sebenarnya hatinya tetap terasa enggan untuk menyetujui pemikiran sang suami.

"Bu, kenapa harus kak Adnan yang bertanggung-jawab? Kasian kak Adnan harus menanggung hal yang bukan kesalahannya."

Arini terdiam beberapa saat, mendengar bisikan sang bungsu di telinganya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Kalila sudah berada di dekatnya.

"Ibu juga sebenarnya berat untuk menyetujui keputusan Ayahmu, Kal. Tetapi mau gimana lagi, kita harus bertanggung-jawab terhadap kesalahan kakakmu. Apalagi Ibu perempuan, kamu perempuan, pasti rasanya sakit dan berat di posisi Fathia saat ini, apalagi Andi tidak mau bertanggung-jawab dan malah kabur."

Kalila hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan gusar saat mendengar penuturan sang Ibu. Ingin rasanya ia mengeluarkan semua pemikirannya, namun rasanya keputusan tersebut memang hal yang cukup tepat meskipun mengorbankan kakak keduanya, mengorbankan seluruh kehidupan Adnan. Menikah dan memiliki anak, tentu saja akan dihadapi dan dirasakan kakak keduanya itu, selama seumur hidupnya.

"Keputusan ini sudah tepat. Besok atau mungkin lusa, kita ke rumah Ardi dan Anya untuk mendiskusikan semuanya. Nanti ayah tanya ke mereka, kapan memiliki waktu kosong untuk bertemu lagi."

Keheningan seketika melanda mereka semua, setelah ucapan final yang dituturkan sang kepala keluarga. Semuanya terdiam dengan pemikiran masing-masing, dan perasaan yang berbeda-beda.

***

Fathia sebenarnya agak enggan ketika orangtuanya, terutama sang mamah, menyarankannya untuk tinggal bersama neneknya di desa kecil yang berada di Sumedang, sampai ia melahirkan.

Alasannya karena pertama, dia kurang begitu dekat dengan sang nenek. Kedua, seumur hidupnya, dia berkunjung ke rumah sang nenek bisa dihitung pakai jari, saking jarangnya, orangtuanya juga lebih sering berkunjung ke sana tanpa mengajak anak-anaknya. Ketiga, neneknya tentu sudah tua meskipun kelihatannya masih sehat dan kuat jalan, takutnya ia merepotkan sang nenek di sana, apalagi kata orang, ibu hamil memiliki tingkat sensitivitas dan mood-swing yang tinggi. Keempat, pasti nanti akan ada keluarga dari Mamahnya yang berkunjung ke sana dan berujung mengetahui dirinya hamil, dan pasti hal tersebut akan ramai dibicarakan keluarga besar, ia malas mendengar cibiran dari keluarga sang Mamah nantinya, ya meskipun hal tersebut memang pantas di dapatkan karena kesalahannya.

Semuanya terasa serba salah untuk Fathia. Padahal kesalahannya ini dilakukan berdua, tetapi pada akhirnya ia malah menanggung semuanya sendirian. Tetapi untungnya Mamah dan Papahnya memiliki pemikiran terbuka, tidak mengusir dan mencaci anaknya yang hamil di luar nikah. Ia malah mendapatkan support yang luar biasa dari kedua orangtuanya dan kedua adiknya, ya walaupun Rio agak sedikit berbeda, ia masih terlihat kesal dan kecewa.

"Dek, tetap kuat untuk kita, ya. Kita bisa bersama melewati semua ini kok, sampai nanti kita bertemu. See you."

Fathia baru saja akan merebahkan tubuhnya di kasur, namun suara ketukan di pintu kamarnya membuat ia mengurungkan niat.

"Thia, boleh keluar sebentar?"

Ah, sang mamah ternyata.

Fathia pun segera membuka pintu kamarnya, dan di sana sudah ada sang Mamah bersama Nadia.

"Ada apa, mah?"

"Boleh ke ruang tamu sebentar? Ada orangtua Andi."

Sebenarnya Fathia sudah malas bertemu dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan Andi, tapi ya mau gimana lagi, sang mamah yang meminta untuk menemui mereka.

Saat sampai di ruang tamu, ternyata keluarga Andi sudah dijamu oleh orangtuanya. Tapi yang membuat Fathia bingung, kenapa Tante Arini dan om Didi, datang bareng Adnan ya?

Fathia tentu tahu Adnan seperti apa, begitupun dengan kekurangannya. Saat Andi masih bersamanya, dia sering menceritakan adiknya yang katanya 'cacat' itu. Dia sering kali mencaci-maki sang adik di depannya, karena orangtuanya benar-benar ekstra dalam menjaga dan mendidik Adnan.

Ini masalahnya dengan Andi, untuk apa Adnan ikut ke rumahnya, pemikiran pria itu pasti tidak akan mengerti tentang permasalahan ini.

"Nah, Fathia kan sudah di sini. Silahkan bicarakan langsung, Pak, Bu, hal yang tadi bapa bicarakan kepada saya dan istri."

Fathia menatap bingung orang-orang yang ada di ruangan ini. Pembicaraan seperti apa sebenarnya, yang telah disampaikan dari pihak mereka?

"Nak Fathia, kita tahu anak kita bersalah dan seharusnya tanggung-jawab, tetapi sampai saat ini kami belum menemukan Andi, bahkan kabarnya pun kami tidak tahu. Tetapi kami juga tidak mau untuk lepas tangan begitu saja terhadap kesalahan anak saya. Insyaallah kami akan tetap bertanggung-jawab. Saya tahu, pasti berat sekali untuk nak Fathia menjalani semua ini sekarang. Akhirnya, setelah berdiskusi panjang dan agak cukup berat juga untuk kami, Adnan yang akan menggantikan Andi untuk bertanggung-jawab. Adnan yang akan menikahi kamu untuk menggantikan Andi, sebelum semuanya terlambat dan perutmu semakin membesar."

Fathia shock bukan main mendengar penuturan dari Didi. Tak pernah terpikir bahwa keluarga mereka ternyata bisa berpikiran untuk mengorbankan anak keduanya, yang bahkan mereka tahu sendiri bahwa Adnan berbeda. Fathia sangsi anak itu bisa bertindak selayaknya suami dan ayah.

Adnan memang lebih tua satu tahu daripada Fathia, tetapi pemikiran anak itu mungkin lebih lambat daripada anak normal seusianya. Ia tentu saja sudah tahu bahwa pria yang berada di hadapannya sekarang, yang sedari tadi hanya diam, mengidap Autis spektrum disorder (ASD). Meskipun ia bukan pemerhati hal tersebut, tetapi ia sedikit paham mengenai kepribadian seseorang yang mengidap autis. Apalagi dahulu ia pernah mendapati Adnan 'tantrum', ketika waktu itu sedang bersama Andi  di taman rumah mereka.

"Fathia, kami menunggu jawabanmu."

Fathia mengerejapkan matanya beberapa kali, saat mendengar ujaran dari Arini.

Jujur Fathia bingung dihadapkan pilihan seperti ini. Ia tidak pernah berpikiran untuk sampai di titik ini. Ingin menolak, tapi ia berpikir bahwa anaknya butuh sosok ayah. Ingin mengiyakan, tapi pernikahannya pasti tidak akan berjalan sebagaimana mestinya pernikahan di luaran sana. Yang ada, mungkin ia yang malah harus repot mengurusi Adnan.

"Jujur saja saya bingung. Saya tahu kondisi Adnan seperti apa. Jika saya mengiyakan, apakah bisa pernikahan saya dengannya akan berjalan dengan semestinya? Apakah dia bisa menjadi sosok ayah untuk anak saya nantinya? Jujur saya agak ragu untuk mempercayai rencana ini. Jika pun menolak, saya harus jujur kalau bayi saya juga butuh sosok ayah yang menantikan kelahirannya. Saya takut anak saya diejek oleh orang-orang di masa depannya, karena tidak memiliki ayah dan terlahir di luar pernikahan."

Semuanya hening menyimak ucapan Fathia. Ucapan Fathia memang ada benarnya, tapi mau gimana lagi, semuanya memang benar-benar serba salah.

"Sekarang begini saja. Mungkin nak Fathia bisa mencoba mendekatkan diri kepada Adnan beberapa minggu atau bulan sebelum nanti akhirnya memutuskan untuk menerima Adnan atau tidak. Setidaknya kami juga berusaha dan menawarkan solusi terhadap permasalahan ini. Diterima atau tidaknya, semua kembali kepada nak Fathia. Adnan agak sulit terbuka terhadap orang baru atau bukan orang terdekatnya, meskipun dia kenal. Jadi bagaimana?"

Fathia menarik nafasnya perlahan, dan menghembuskannya agak gusar. Saat ini ia benar-benar bingung. Matanya beberapa kali melirik kedua orangtuanya juga Nadia, bermaksud memberi kode bahwa ia ingin meminta pendapat dari keluarganya.

"Kalau mamah sih kembali ke kamu, ya. Seenggaknya keluarga Pak Didi sudah menawarkan itikad baiknya. Kalau kamu butuh sedikit waktu untuk memikirkan hal ini, ya boleh, tetapi mungkin jangan terlalu lama."

Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.

Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia.

"Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."

Bersambung

(Selesai ditulis pada hari selasa, 07 september 2021, pukul 11.53 wib).

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status