Share

5.

Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.

Daripada pusing memikirkan hal tersebut, Fathia segera mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet yang ia beli tadi. Kemudian mulai memikirkan ide, apa yang mau dilukisnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memilih untuk melukis taman bunga yang ada di depannya. Taman bunga dengan berbagai jenis bunga yang indah dilihat mata. Ia mulai mengayunkan kuasnya di atas kanvas. Matanya sesekali melirik lukisan Adnan, dan dia cukup terkejut saat melihat lukisan Adnan bahkan sudah setengah jadi. Memangnya berapa lama ia diam untuk berpikir memikirkan hal apa yang ingin dilukisnya, ia rasa tidak sampai setengah jam ia berpikir, tapi pria di sampingnya itu sudah setengah jalan saja.

Fathia pun mulai terfokus untuk melukis kanvasnya, walaupun fokusnya terganggu sedikit karena sering melirik ke arah Adnan. Kalau boleh jujur, Adnan terlihat tampan sekali saat terfokus dengan lukisannya, apalagi sesekali pria itu menaikan kaca mata yang sedang dipakainya karena melorot, menambah kesan cool dari pria itu. Mungkin orang-orang di luaran sana yang hanya melihat Adnan sekilas, pasti akan mengira bahwa sosok pria yang ada di sampingnya ini adalah sosok yang sempurna. Tampang, jago melukis, tubuhnya yang tinggi dan terlihat pas, membuatnya benar-benar terlihat sempurna.

Oh ayolah, Fathia harusnya fokus untuk melukis, bukan malah kemana-mana.

Rasa-rasanya jadi kebalik ya? Adnan beserta keluarganya yang melamar, tapi malah Fathia yang harus berjuang. Mau gimana lagi, semuanya harus dijalani, untuk masa depannya, juga anaknya.

***

Fathia meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah duduk tiga jam karena melukis. Ia saja kesal bukan main, dan beberapa kali menggerakan tubuhnya supaya tidak kaku. Eh ternyata seorang Adnan malah tetap diam di posisinya, hanya tangannya yang fokus bergerak untuk melukis, terlihat anteng sekali.

Adnan mulai membereskan alat lukisnya saat ia merasa lukisannya sudah selesai. Ia baru menyadari jika sedari tadi ada Fathia di sampingnya, yang juga melukis. Ia terlalu fokus dengan lukisannya dan fokus dengan menuangakan imajinasinya ke dalam lukisan.

"Bagus."

Fathia yang sedang asik meregangkan tubuhnya, langsung terdiam dan melirik ke arah sumber suara. Satu kata dari bibir Adnan, mampu menghentikan aktivitasnya. Ada apa sebenarnya dengan Fathia?

"Apanya yang bagus?"

"Lukisan kamu."

Fathia kembali mendudukan tubuhnya, kemudian ia melirik lukisan Adnan dan dirinya bergantian. Ingin rasanya ia tertawa saat Adnan berucap bahwa lukisannya bagus. Lukisan taman tapi gak jelas juntrungannya, sedangkan lukisan Adnan sebuah pemandangan yang sangat indah, yang begitu detail dan rapih.

"Tukar ya."

Belum juga Fathia selesai mencerna ucapan Adnan, pria itu malah sudah berjalan sembari membawa lukisan taman amburadul itu.

"Dek, calon ayah kamu ganteng, tapi kayak begitu tuh, sulit banget buat dipahami." Tutur Fathia, tak lupa tangannya mengelus perutnya yang masih datar. Dia sendiri bahkan tidak sadar hal yang diucapkannya.

Fathia segera berdiri sembari membawa kanvas yang sudah dilukis Adnan, kemudian mulai berjalan mengikuti jejak Adnan yang memasuki rumahnya.

"Kak, kok malah asik makan sendirian, calon istrinya gak diajak."

Fathia tersenyum kikuk saat mendengar ucapan Kalila. Kebetulan adik dari Adnan itu memang sedang berdiri di pantri dapur, tak jauh dari meja makan yang sedang ditempati Adnan.

"Kak silahkan duduk, makan dulu."

Fathia pun mendudukan tubuhnya di kursi makan yang berhadapan dengan Adnan, kemudian menyenderkan lukisan Adnan di kursi kosong yang ada di sebelah kanannya. Fathia mulai memperhatikan cara Adnan makan, agak terburu-buru dan sedikit berantakan, namun terlihat sangat menikmati. Baru saja sehari Fathia merasakan dekat dengan Adnan, rasanya lelah karena pria itu lebih banyak diam dan fokusnya, ketimbang ngobrol atau pun melakukan sesuatu yang memancing obrolan. Bagimana dengan pernikahan mereka nanti, jika seperti ini.

Fathia jadi merenung sendiri, apakah hal yang dilakukannya ini sudah benar, mencoba membuka hati dan mendekatkan diri terhadap pria yang ada di hadapannya ini. Ia mungkin memang membutuhkan Adnan untuk menjadi Ayah dari bayi yang dikandungnya, tetapi apakah mungkin bisa seorang Adnan pengidap ASD, menerima dan menyayangi bayinya nanti? Baru sehari, tapi ia sudah ragu. Padahal wajar saja ia ragu, karena baru satu hari berada di sekitar pria itu, belum ada hari-hari di mana Adnan tantrum, atau bahkan marah karena hal sepele, atau ketika pria itu berperilaku manis sekali.

Fathia baru mengenal Adnan sedikit, ia belum menjelajahi dan memahami lebih dalam Adnan yang sebenarnya seperti apa. Meskipun ini bukan kali pertamanya melihat Adnan, tetapi baru kali ini ia mencoba lebih dekat kepada pria di hadapannya ini. Pria yang terasa dekat dan mudah digapai, tetapi sebenarnya sangat sulit dan butuh pemahaman yang berbeda. Tak akan semudah ia menaklukan Andi. Tuhan, semoga keputusannya saat ini tepat. Semoga semuanya berjalan dengan lancar, walaupun hasilnya tidak akan pernah tahu seperti apa.

"Kak, malah melamun. Ayo makan, kasian dedek bayinya kelaperan."

Fathia tersadar dari lamunannya, tangannya refleks mengusap perutnya saat mendengar teguran dari Kalila. Kini gadis itu sudah berada di hadapannya juga, lebih tepatnya di samping kiri Adnan. Ia bahkan tidak menyadari sejak kapan Kalila berpindah tempat, dari Pantry ke kursi meja makan.

Fathia segera membalikan piring yang ada di depannya, kemudian mulai mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia inginkan. Sebenarnya agak malu, tetapi tidak bisa berbohong bahwa ia lapar, apalagi saat melihat cumi asin cabe ijo yang menggoda matanya itu. Padahal sebelumnya ia jarang sekali memakan cumi, karena tidak suka akan bau amisnya yang khas, tetapi entah kenapa sekarang ia malah menginginkannya.

Fathia ingin rasanya menangis saat lidahnya bisa mencecap cumi asin cabe ijo itu, benar-benar enak dan sangat memanjakan lidahnya. Ia jadi bingung sendiri terhadap dirinya sendiri, kenapa harus merasakan perasaan terharu seperti ini, hanya karena cumi asin cabe ijo. Setelah ini, mungkin cumi asin cabe ijo akan menjadi favoritnya.

Kenikmatan Fathia sedikit ter-distract saat Kalila membawa beberapa plastik obat ke depan Adnan. Ya, pria itu sudah menyelesaikan makannya.

"Obat apa itu kal?" Tanya Fathia, jujur saja ia kepo.

"Ya obat-obatan untuk ASD nya kak. Kalau gak minum obat, emosinya akan susah terkontrol."

"Sampai umur segini masih harus minum obat, Kal?" Ucap Fathia kembali bertanya. Kemarin ia memang membaca artikel mengenai ASD, tetapi untuk masalah obat-obatan dan lainnya, Fathia tidak merasa hal tersebut ada di artikel yang ia baca. Belajarnya memang kurang jauh.

"Memang harus, kak. Mungkin seumur hidup memang harus minum obat, karena asd kan gak bisa disembuhkan dan bakal ada terus sepanjang hidup si pengidapnya." Jawab Kalila, namun mata dan tangannya fokus untuk membantu membuka kemasan-kemasan obat sang kakak.

Fathia jadi aneh sendiri saat melihat Adnan hanya diam saja, seperti tidak ada yang berbicara di ruangan ini. Apa pria itu ngeh bahwa ia membicarakan tentang asd yang diidap pria itu? Entahlah ia dibuat bingung sendiri sepanjang hari ini. Adnan kadang bisa merespon cepat apa yang diobrolkan lawan bicaranya, tapi terkadang pria itu hanya diam saja seperti tak ada orang yang bersuara dan mengajaknya mengobrol. Terkadang ia bersuara, padahal tak ada yang mengajaknya berbicara.

Bersambung

(Selesai ditulis pada hari Selasa, 07 september 2021, pukul 23.11 wib).

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status