"Okay, setelah dua hari, akhirnya bisa nelepon kamu lagi. Kangen, ngga?" Dia tertawa kecil. Penahan leher itu membuatnya tak bisa membuka mulut terlalu lebar. Meski begitu, Alisha tetap terlihat manis sekali. "Ngga, aku tahu, kamu ngga akan kangen."
Tidak, dia tidak tahu.
"Oya, makasih, ya, parfumnya. Aku sukaaa sekali. Ini favoritku sejak pertama kali muncul di toko parfum isi ulang. Ternyata yang ori wanginya sama sekali ngga nyegrak. Udah gitu, lembuuut banget. Ini bener-bener intimate fragrance, baru bisa kecium wanginya kalo udah nempelin idung ke kuli
Lima menit ternyata terlalu singkat jika digunakan tanpa berpikir. Waktu seolah melompat dan tiba-tiba aku sudah harus berpisah lagi dengannya. "Okay, udah lima menit. Dah," katanya tiba-tiba. "No, wait!" "What?" "Kamu salah lihat jam." "Masa? Bener, kok. Tadi waktu kita mulai ...." "Di jamku, masih ada empat menit lima puluh sembilan detik lagi." "Ngga mungkin. Jammu rusak, kali." "Masa? Apa mungkin waktu terhenti ketika aku mulai mendengar suaramu?"
Pagi yang menegangkan dan Akbar ngga bisa dihubungi dari subuh. Masa dia belom bangun, sih? Kan, udah nyampe Jakarta semalem?Padahal tadi malem, katanya, ngomongin kerjaan pagi aja, lagi jet lag, mau ngereceh aja. Sekarang ditelepon malah ngga diangkat-angkat, huh, sebel!Kuentakkan kaki kanan ke lantai. Aw! Sakit. Lupa kalo masih ngga boleh kasar-kasar sama kaki biar pun perban elastisnya udah dibuka.Sampe Topan ngejemput, Akbar masih juga belom bisa dihubungi. Ih, ke mana, sih, tuh, anak? Masa masih tidur, jam segini? Apa jet lag-nya parah banget jadi masih serasa malem biarpun udah pagi?R
Aku terbangun dan mendapati puluhan missed call dari Alisha. Hmm, dia pasti stress sekali pagi ini. Tak mengapa. Kadang kita membutuhkan tekanan yang kuat agar dapat melenting tinggi. Lagipula, aku tahu dia pasti bisa mengatasi Dewan Direksi. Kami sudah berdiskusi berkali-kali dan aku yakin, amunisinya untuk menghadapi petinggi Purwaka Grup sudah lebih dari cukup. Ia hanya butuh melangkah dengan percaya diri. Itu saja.Aku tiba di rumah Alisha, tepat ketika ibunya selesai menggembok pagar. "Icha udah berangkat dari tadi, dijemput Topan," beliau memberitahu setelah berbasa-basi seperlunya."Saya tahu," kataku, "saya ada perlu bicara dengan Tante."Ibu Alisha terlihat kaget tapi kemudian tersenyum dan mengangguk. Kami berbasa-basi d
Hmm, mi ayam ini enak banget. Aku yang laper atau mereka emang sedikit ngubah resepnya? Udahlah, udah ngga sabar nyicipin dessert box bikinan Akbar.Kuambil kotak plastik itu dari freezer. Di bagian tutupnya ada emboss logo La Luna berbentuk bulan purnama. Bunga-bunga es yang nempel di tepi kotak bikin tutupnya susah banget dibuka pake satu tangan."Sini." Tau-tau Akbar udah berdiri menjulang di sampingku. Ngeliat dia real life kaya gini, rasanya kaya lagi di alam mimpi. Ya, Tuhan, dia ganteng banget, sih?Dengan seulas senyum disodorkannya kotak yang udah keb
"Jadi aku adalah tujuan keberadaanmu di sini?" tanyanya, memutar-mutar cincin di jari manis. Matanya seperti menatapku tapi tidak menatap apa-apa.Tak bisa kutebak arah pembicaraannya, seperti angin yang meliuk entah ke mana. "Aku sudah memilih mati, membiarkan Amanda mengambil jantungku."Alisnya mengernyit."Antara hidup dan mati, aku bertemu Ayah. Dia membantingku pada kenyataan. Mengingatkan bahwa masih ada janji yang harus ditepati. Aku janji membuatkan lima dessert box buatmu."Alisnya terangkat. "Kamu hidup untuk membuatkanku lima dessert box?"Ter
Cincin itu jatuh di samping kakiku, mantul sekali, trus brenti gitu aja."It's yours," katanya, "take it or leave it." Trus dia balik kanan, pergi ninggalin aku sendirian bareng cincin cantik itu.Aku duduk berhadapan sama cincin bermata putih yang cantiknya kebangetan. Di atas lantai parket, permata itu keliatan berkilau kaya bintang di langit malam.Duh, sayang banget kalo ngga diambil. Lagian, kata Akbar, aku boleh ngejual cincin ini, kan? Kalo liat kilaunya yang luarbiasa, pasti mahal, deh. Akbar, gitu, loh, parfum aja ngasihnya yang ori. Ngga mungkin dia ngelamar pake cincin abal-abal.Kua
"Akbar?" Duh mati aku, ketahuan. "Mau ke mana?" Semoga dia ngga liat kalo aku nyaris mati karena grogi."Itu pertanyaanku.""Oh, ya. Lupa, mau ke Jogja, ya." Harusnya aku yang ke Jogja hari ini. Untung dia udah bisa gantiin."Kamu mau ke mana?"Hmm, kasih tahu, ngga, ya. Udah janji sama Naila ngga bakal ngasih tahu abangnya, tapi mau minta tolong sama siapa lagi? Akbar musti tahu, kan?Hhh, pusing. Kuedarkan pandang ke sekeliling demi nyari pengalih perhatian. Biar masih pagi buta gini, tapi orang-orang udah rame juga lalu lalang. Ada yang parah, tuh, ciuman di pojokan deket pintu masuk keberangkatan. Hadeh, kaya ngga ada kata besok aja.Eh, bentar, kaya kenal, deh, sama cowoknya.
"Kamu ...?"Aku menikmati keterkejutan di wajahnya, maafkan. "Cepat masuk, kamu menghalangi jalan," kataku merujuk pada pramugari yang berdiri dengan sabar, menunggunya beranjak.Alisha sedikit membungkukkan badan pada Si Pramugari, lalu masuk ke area tempat duduk. "Kamu keterlaluan," ucapnya geram dengan suara berbisik."Terimakasih." Aku tahu. Ibunya sudah memperingatkan sejak kemarin bahwa Alisha tidak suka diperintah, tapi aku tak bisa memikirkan cara yang lebih cepat."Gimana caranya kamu pesen tiket buatku? Pesen tiket harus pake nomor KTP, kan?" tanyanya kesal."Sekadar mengingatkan, owner Purwaka Grup memiliki akses penuh ke d