Keluar dari Emporio, tangan Akbar penuh sama tas belanjaan. Aku bantuin bawa satu paper bag beriisi dua kotak ankle boot. Sebenernya Akbar nyaranin beli yang setinggi lutut karena katanya bakal dingin banget nanti, tapi aku ngga mau, ribet banget makenya.
Segini aja, gayanya Akbar udah kaya cowok-cowok di meme yang pergi nemenin ceweknya belanja. Tiga paper bag di tangan kanan, tiga lagi di tangan kiri. Sementara di punggung masih ada ransel segede gaban. Hebatnya, dia masih sanggup jalan tegak tanpa ngeluh.
Kami salat
Nyampe ruang tunggu, staf maskapai lagi siap-siap buat boarding. Kucari bangku yang enak dan nyaman buat duduk, pengen liat postingan pengumuman yang tadi diceritain Topan.Alex duduk di sampingku, ngembus napas dengan keras sebelum ngomong, "Apa kamu bener-bener ngga ada rasa lagi sama aku?"Hhh, nyebelin. "Itu bukan pertanyaan dari seorang sahabat."Dia tersenyum pahit. "Oke." Diambilnya hape dan mulai ngusap-usap layar persegi itu.Kubuka aplikasi Instagram. Bener, ada notifikasi tagging dari Akbar. Duh, jadi deg-degan.Ternyata dia posting video
Ck! Kenapa dia ditempatkan di situ? Memang, aku sudah wanti-wanti agar memberikan pelayanan terbaik pada petugas yang melakukan investigasi kasus penusukan itu, tapi bukan dengan memberikan kamar di seberang Alisha. Kutelepon resepsionis, "Put the manager on line." Manager on Duty menjawab telepon dengan sangat hati-hati, "Is there anything I can do, Sir?" "The officer from Indonesia, send him to Presidential Suite." "
Antara tidur dan terjaga, kupingku berdenging gara-gara getar hape. Gosh, siapa, sih, nelepon tengah malem gini? Akbar? Masa masih belom cukup telpon-telponan sebelum bobo?"Assalamu'alaikum, haloh?""Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. MaasyaaAllah, anak Mama sekarang jawab telepon udah pake salam. Alhamdulillah, ya, Allah!""Mama?""Siapa lagi?""Biasanya Akbar yang suka nelepon tengah malem gini."Suara Mama langsung naik lima oktaf. "Icha! Tengah malem gimana? Udah mau asar ini."Hah? Spontan bangun aku. Buru-buru buka gorden. Di luar, suasananya masih gelap, bulan pun masih menggantung di langit. "Asar gimana?"
Pekerjaanku sepagian ini adalah menelepon Alisha. Semua karena ibunya cemas sekali terjadi sesuatu pada anak si gadis semata wayang. "Tadi kita nangis bareng. Dia sampe sesenggukan, trus suaranya makin lama makin ilang," ceritanya dengan cemas. "Mungkin ketiduran, Tante?" Mengingat kelelahan kemarin, serta waktu yang sudah cukup malam ketika mengakhiri telepon denganku semalam, tertidur saat menerima telepon bukan hal aneh. Apalagi jika telepon yang dilakukan juga menguras energi psikis hingga berakhir dengan tangisan. Namun, Ibu Alisha tak mau menerima argumen tersebut. Beliau tetap mendesakku untuk mengecek kondisi anak semata wayangnya. Sebenarnya, tanpa disuruh pun, aku pasti akan meneleponnya untuk mengajak sarapan. Demi menenangkan Ibu Alisha, aku berjanji akan menelepon putrinya segera setelah menutup pang
"Kalo udah nikah, kamu mau nemenin aku, kan?" Akbar menatapku dengan pandangan yang ngga bisa diungkapkan. Pandangan yang bikin aku ngerasa disayang sekaligus .... Ah, entahlah. "Ya, kan?" desakku lagi. Duh, Akbar, kenapa diem aja? Bilang aja, sih, iya. Jangan bikin aku jadi kaya bucin ngemis-ngemis cinta gini. Ngga banget. Bikin pengen nangis. "Ya," akhirnya dia jawab juga. Seenggaknya, harga diriku ngga terlalu jatoh parah. "Kalo gitu, ayo, nikah sekarang." Astaga! Ngomong apa aku? Ke mana harga diri? Akbar nyebelin! Matanya sedikit membesar. Dia keliatan kaget biar pun tetep bisa menguasai diri. Dimasukkannya tangan ke saku celana. "Apa ibumu sudah memberitahu
Seorang berjas hitam menghampiri dan memperkenalkan diri sebagai sopir. Dia langsung ngambil alih koper dan keluar duluan.Akbar ngasih isyarat pake anggukan kepala buat ngajak aku pergi. Yes! Akhirnya! Buru-buru kujajarkan langkah dengan kaki panjangnya. Untung dia juga memperlambat jalan.Dari balik pintu kaca, orang-orang lalu-lalang dengan mantel yang berkibar ditiup angin. Kayanya bakal dingin banget di luar. Kurapatkan mantel dan tiba-tiba baru sadar kalo ngga pake syal. Duh, kebiasaan hidup di Jakarta yang cukup pake baju selapis doang, lupa kalo sekarang lagi di negara dengan musim gugur.Hadeh, gimana, nih? Apa balik ke kamar aja, ngambil syal? Tapi driver
Dibilangin gitu, muka serius Akbar malah langsung berubah jail. Ih, ngeselin, deh. "Aku serius, tau," protesku.Dia malah senyum makin lebar, ngegaruk kening pake ujung telunjuk, dan berdeham. "Kamu tahu, kenapa kamu bisa memimpin perusahaan dengan baik, padahal sama sekali tidak punya pengalaman organisasi apa pun sebelumnya?"Loh? Kok, malah ngomongin perusahaan? "Karena aku punya bakat kepemimpinan?"Akbar mengepalkan tangan di depan mulut, nahan semburan tawa. Asli ngeselin. Aku ngerasa diremehin banget. "You're just a girl next door. TIdak punya pengalaman organisasi, nilai rata-rata, bahkan lulus kuliah juga dengan skripsi yang hanya sampai nilai B."Ih, orang ini minta ditonjok.
Hujan rintik-rintik berubah menjadi deras tepat ketika aku berhasil mendarat di bangku mobil. Kulihat ke samping, tak ada Alisha. "Where is she?"Driver tambun itu menjelaskan bahwa Alisha pergi melihat-lihat barang yang dijajakan di area parkir. "But then, she's just disappeared," katanya.Hhh, dasar Alisha. Aku tahu dia tak suka diperintah, tapi apa susahnya menurut sekali saja?Orang-orang berlarian menghindari hujan. Sedikit pun tak ada tanda-tanda Alisha di antara mereka. Angin terlihat makin kencang meniup ujung-ujung tenda yang masih berdiri. Tiang-tiangnya tampak doyong mengikuti arah angin