Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”
Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.
Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.
Astaghfirullah, tobat, Sha.
Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Naila merasakan sakit tak terperi di antara dua kakinya. Jari-jari beserta lidah mereka masih menjelajahi dadanya, seperti belatung melenting-lenting di atas daging busuk.Naila sudah lemas. Matanya mengabut, tak jelas lagi memandang sekeliling. Telinganya dipenuhi suara bising desisan, erangan, gumaman, yang bercampur tak keruan seperti polusi yang menyesakkan. Di bawah sana, seseorang mengentak-entak di antara dua kakinya, sementara seorang lagi menghantam-hantam di atas mukanya.Daging busuk, seperti itulah Naila merasakan dirinya.Hantaman pada pintu mengejutkan mereka semua. Seketika, lima lelaki itu menjauhi tubuh Naila yang sudah lemas tak bertenaga. Suara teriakan mengiringi tendangan, tinjuan dan seruan kesakitan.Desakan dari perut memaksa Naila memiringk
"Lahir 28 tahun yang lalu, saya kini telah berhasil membawa Purwaka Grup menjadi perusahaan jasa nomor satu di Asia Tenggara. Saya dibesarkan di Papua, karenanya, alam adalah bagian dari hidup saya ...." Gadis itu membacakan keras-keras resume yang dituliskan Amah Hana untukku. Caranya membaca dengan nada dibuat-buat membuatku susah payah menahan senyum. Kalau dilihat-lihat, sebenarnya dia cukup manis.Dilipatnya kembali lembaran resume itu lalu diangkatnya wajah menatapku. "Resume yang menarik, sedikit overconfident, bahkan cenderung sombong."Kurapatkan bibir agar tawa tak terlontar semena-mena. Memang, Amah Hana menuliskan resume terlalu berlebihan. "Lalu?""Aku tak peduli," jawabnya melempar kertas terlipat itu ke tengah meja.
Alamak! Lupa kalo dia anak alim.Hmmpft! Salaman aja ngga mau. Heran, deh, Mama seneng banget ngejodohin sama anak alim kaya gini. Bikin jadi ngerasa paling berdosa sedunia. Hhh!Mau langsung masuk March-nya Dirga aja, tapi pinggangku malah ditahan sama dia. Terpaksa, deh, pasang senyum manis sambil dadah-dadah sama anak alim rekomendasi Mama."Gila! Bawaannya Maybach," komentar Dirga takjub, ngeliatin mobil Akbar sampe ngilang masuk jalanan."Emang kenapa?" balasku, males, langsung masuk mobil Dirga.Dia juga ikut masuk trus duduk di belakang setir. Sambil masang sabuk pengaman, mulutnya masih lanjut ngoceh, "Ya, tajir banget gitu, masih mau ngotorin tangan bantuin gantiin ban."
Pas balik lagi, ngga taunya udah rame aja. Meja yang tadi cuma diisi Mama doang, sekarang tinggal satu kursi yang kosong.Dua laki-laki duduk di ujung-ujung meja. Satunya udah kukenal, Akbar. Satu lagi kayanya lebih tua, jenggotan dan kacamataan. Mungkin bapaknya?Eh, tapi ngga mungkin. Di resume dibilang kalo bapaknya udah meninggal waktu dia kelas 3 SMP. Jadi siapa?Perempuan berkerudung lebar di samping laki-laki jenggotan itu langsung berdiri begitu ngeliat aku. "Alisha, ya?" sambutnya semringah, "pantesan Akbar ngga nolak."Kehangatannya bikin terpaku. Serius, kirain semua keluarganya juga dari kutub selatan kaya dia. Gadis manis berkerudung merah marun di samping perempuan itu juga ikut berdiri, nyodorin tangan dengan senyum mengembang. "Hai, Kak Alisha. Sala
Menggunakan kalimat bersayap untuk menyampaikan keputusan tentang masa depan. Bodoh sekali! Amah Hana dan Tante Santi terlihat sangat bahagia. Mereka langsung terlibat percakapan hangat bernuansa nostalgia. "Inget banget waktu acara walimatul 'ursy saya, Akbar tiba-tiba ngilang. Sampe-sampe Bang Karim ikutan turun panggung buat nyariin. Heboh satu gedung, deh, waktu itu," lagi-lagi Amah Hana menceritakan kisah lama itu. Alisha tampak tak mendengarkan. Dia masih menunduk, khusyuk menyendok nasi uduk di piring. Naila menendang kakiku agak keras. Dengan ujung dagu, ditunjuknya Alisha yang seolah sedang menyingkir dari hiruk pikuk meja makan. Kukedikkan bahu, malas. Siapa suruh tak juj
Akhirnya disepakati bahwa pembicaraan mengenai hari pernikahan ditunda hingga ada kejelasan mengenai ayah Alisha. Kulirik wajahnya. Ketegangan sepertinya telah menguap dari sana.Lihat saja, bagaimana dia memanfaatkan kesempatan yang baru saja kuciptakan.Kuputuskan untuk mengantar mereka pulang sekaligus mengambil buku nikah milik Tante Santi. Om Karim beserta keluarga telah lebih dulu bertolak karena harus menghadiri pesta pernikahan seorang kolega.Baru saja keluar dari kafe, sebuah mobil March merah masuk area parkir. Kulihat Alisha tertegun, dia pasti mengenali mobil itu."Ayo, pulang," ajakku, tetapi dia bergeming.Seorang anak lelaki kecil keluar sambil berlari. "Bu Guru!" serunya menyongsong Alisha.
Sumpah! Aku liat dia senyum! Tipis, sih, tapi yakin, deh, itu senyum! Biarpun cuma dari balik kaca depan mobil, aku ngga mungkin halu buat hal kaya gini. Lagian ngga butuh juga disenyumin sama dia. Justru aneh rasanya ngeliat makhluk kutub itu bisa senyum. "Aha!" Mama ngagetin banget sampe aku hampir kelompat. "Ternyata kamu beneran suka sama Mas Akbar, kan?" "Ish, Mama apa-apaan, sih?" "Nah, itu mukanya merah," ledek Mama sambil ngakak. "Ngga! Merah apaan?" Kuusap pipi. Ngga mungkin mukaku merah. Yang bener aja! "Nah, itu merahnya sampe kuping!" Mama makin semangat ngeledek. Refleks megang kuping. "Apaan, sih, Mama!" Tinggalin aja di teras. Kesel.