Share

The Real Queen

January, 2017

Eleanor tidak suka barang branded. Dia membenci segala hal yang akan membuatnya seperti penggemar rendahan. Semua hal yang dimilikinya pun tidak boleh ada yang menyamai dan tidak ada yang memiliki sesuatu yang sama seperti miliknya. Termasuk itu dalam hal pakaian, sepatu, tas maupun aksesoris. Semua pakaian yang dikenakan Eleanor baik itu pakaian kerja atau pakaian untuk acara-acara tertentu dijahit oleh penjahit keluarganya dan desainer kepercayaannya. Jadi bisa dipastikan tidak ada merk dari brand apapun yang menempel di tubuhnya. Prada, Chanel, Gucci, Armani, Burberry, Hermes, Fendi dan teman-temannya mungkin dianggap Eleanor hanya seperti brand idola para rakyat jelata seperti Rere. Dan sekalipun ada sebuah brand yang dimilikinya, seperti jam tangan atau kacamata, itupun dipesan khusus dan biasanya dari hasil desain orang-orang yang sudah dikenalnya. Namun jujur saja Eleanor lebih suka memakai barang-barang buatan lokal, apalagi kalau itu handmade. Seperti tas tangan yang dipakainya ke kantor setiap hari merupakan karya eksklusif seniman tas kulit terkenal dari Bali.

Hal itulah yang membuat Eleanor berbeda dari kebanyakan wanita. Normalnya wanita akan menyukai apa itu yang disebut shoping. Tapi Eleanor, kemanapun dia pergi dan bahkan ke belahan dunia mana saja, dia lebih menghindari keramaian. Sehingga hampir dipastikan dia tidak pernah menginjakkan kakinya di Mall atau pusat perbelanjaan manapun di dunia. Bahkan untuk kebiasaan yang satu ini pun Rere nyaris gila dibuatnya. Sebab Eleanor tidak akan pernah mau makan makanan yang dimasak oleh orang yang tidak dikenalnya. Bahkan sekalipun makanan itu dibeli dari restaurant bintang tujuh atau dimasak chef professional. (Dalam hal ini Rere sering berpikir Eleanor separanoid Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara)

Setiap hari, bahkan untuk sarapan, makan siang dan makan malam, Eleanor lebih memilih pulang dan menyantap makanan yang dimasak oleh juru masak di rumahnya. Masakan sederhana dari bahan-bahan segar yang diambil dari kebun dan hasil tangkapan nelayan setempat, dengan porsi secukupnya hingga tidak menyisakan sebutir nasi atau bumbu sedikipun di piring setelah dia selesai makan. Bahkan saking pelit dan iritnya, Eleanor tidak pernah menawari Rere makanan dari rumahnya. Eleanor akan makan di meja makannya dengan tenang. Sementara Rere mendapat kebebasan makan siang di restaurant manapun sendiri.

Padahal juru masak di rumah Eleanor pun bukan koki bintang lima atau chef terkenal, juru masaknya hanya perempuan paruh baya yang sudah mengabdi di keluarga Eleanor sejak kakek-neneknya masih hidup. Di rumah tua di kawasan Surabaya Barat −yang merupakan rumah lama kakek dan neneknya itupun−Eleanor hanya memperkerjakan tiga orang; satu juru masak, satu bagian bersih-bersih dan satu lagi supir yang merangkap penjaga. Ketiganya nyaris sudah memasuki usia pensiun. Eleanor memang seperti itu. Casing luarnya saja yang terlihat seperti perempuan muda pemilik perusahaan Holding Company yang sukses. Tapi sebetulnya mentalnya sudah serupa pamannya yaitu Liem Hok, pria nyentrik yang usianya sudah separuh abad.

Namun kali ini, karena sebuah persaingan konyol dengan teman sekaligus musuh bebuyutannya dari masa lalu, Eleanor terpaksa menginjakkan kakinya di Paragon mall untuk memesan secara langsung sepasang sepatu branded eksklusif yang hanya ada beberapa unit di dunia. Tentu itu karena majalah murahan yang dibaca Rere pagi tadi. Yang memuat informasi provokatif dari si teman beracun itu, sehingga membuat permusuhan lama itupun kembali muncul ke permukaan.

Majalah Gosip High Class (edisi special tahun baru)

Menguak Pernikahan Kedua Sang Milyader

-Bagian 2-

−Alih-alih memanggilnya tuan putri, dulu kami justru lebih senang menyebutnya sebagai penyihir. Yah… semacam penyihir yang mampu mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan sihir yang disebut uang.” Komentar calon mempelai wanita saat kami mencoba bertanya tentang persahabatannya dengan Dirut HS Group, Eleanor Liemsudibyo. Tampaknya calon istri Jimmy Kwok ini bukanlah orang biasa, dia bukan hanya cucu dari salah satu pengusaha ternama. Namun lingkup pergaulannya pun terbilang kelas atas karena berteman baik dengan salah satu anggota keluarga kerajaan sawit di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bahwa keluarga Liemsudibyo adalah salah satu penguasa perkebunan sawit di Indonesia, mereka memiliki lebih dari tiga ratus ribu hektar lahan kelapa sawit yang tersebar di beberapa pulau seperti Kalimantan dan Sumatera. Tak hanya lahan sawit, keluarga Liemsudibyo pun mempunyai perusahaan pengolahan sawit berbasis internasional di Singapura, perusahaan pengembangan biodesel di Riau serta Holding Company yang berpusat di Surabaya. Selama ini keluarga ini cukup tertutup pada media, bahkan tak sedikit media yang kecewa karena gagal mendapatkan informasi tentang mereka. Tetapi berkat Jennica Tjandra yang merupakan calon istri Jimmy Kwok, banyak hal yang bisa diketahui tentang keluarga ini. Khususnya tentang Eleanor Limsudibyo, wanita yang menarik perhatian publik karena menjadi pemimpin salah satu perusahaan besar di Indonesia di usia yang relatif muda yaitu 27 tahun.

“Eleanor itu sejak dulu memang sangat ambisius, dia selalu berusaha menjadi yang terbaik dan tak jarang dia menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Itu juga terlihat bukan dari cara dia memimpin perusahaannya, dia tampak tidak pernah berubah. Tapi lucunya, sejak dulu dia tidak pernah bisa menjadi yang terbaik dalam hal percintaan karena sebagian besar anak laki-laki justru takut berurusan dengan dia maupun keluarganya,” lanjut Jennica atau yang lebih suka kami panggil dengan nama Jenny dengan sedikit candaan. Walaupun ia calon istri seorang Jimmy Kwok namun wanita seperti dia tampaknya tetap mempertahankan sikap rendah hati. “Aku juga mendengar dia menjabat sebagai Dirut HS Group sekaligus calon pewaris kekayaan orang tuanya. Bahkan kemungkinan besar dia juga menjadi pewaris kerajaan sawit kakeknya setelah sepupu tertuanya; Roger Limsudibyo memilih untuk menggeluti dunia politik dibandingkan mengurusi perusahaan keluarganya. Tapi aku yakin itu bukan sebuah kebetulan karena aku tahu bagaimana jalan pikiran Eleanor yang sedikit manipulatif.”

Berbicara dengan Jenny dalam sesi wawancara ini sangat menyenangkan, dia bersikap ramah dan sangat terbuka. Bahkan ketika kami meminta tanggapannya tentang rumor buruk yang beredar seputar reputasi temannya (Read; Eleanor Limsudibyo) dalam dunia bisnis, dia pun tidak menampik. “Aku tahu dengan pasti bagaimana sifat Eleanor karena kami berteman sejak masih sekolah dan aku sangat prihatin dengan rumor-rumor kurang sedap itu. Aku harap dia bisa berubah dan menyusulku untuk segera menikah. Bukankah kesuksesan wanita itu tidak akan lengkap tanpa menikah?” Imbuh Jenny.

Resepsi pernikahan Jenny dan Jimmy Kwok sendiri rencananya akan digelar di dua kota yaitu Shanghai dan Surabaya. Konsep pernikahan dan gaun yang akan dikenakannya pada resepsi itu masih dirahasiakan, kami tidak berhasil mengorek lebih jauh selain latar belakang dan status sosialnya. Tapi dia berkata bahwa pernikahaannya akan menjadi pesta pernikahaan yang berkesan karena begitu banyak selebriti ibukota dan tamu kehormatan yang akan diundang, seperti Eleanor Limsudibyo misalnya.

Redaksi High Class\Monalisa L\ 20 Desember 2016

“Teman katanya? Dasar si ular sanca!” umpat Rere,

“Otaknya terbuat dari apa sih? Atau Jenny si ular sanca itu memang gak punya otak sama sekali?” lanjutnya sambil meremas tangannya kuat-kuat.

Eleanor tidak merespon. Nama perempuan yang disebut sekretarisnya itu justru membawanya pada ingatan lama. Sepuluh tahun yang lalu. Ketika dia masih tinggal dengan kakeknya bersama sepupunya Roger Antonio Liemsudibyo. Dimana saat itu Eleanor hanya gadis berkacamata tebal yang terlalu serius belajar dan hanya sedikit mempunyai teman. Sekalipun dia lahir dari keluarga kaya dan berkuasa tetapi tidak berarti dia hidup dimanja dalam kemewahan. Justru alasan kakeknya memboyong Eleanor dan sepupunya ke rumah besarnya adalah agar keduanya tumbuh dengan pendidikkan langsung dari kakeknya (pendidikan ala pebisnis yang mengharuskan mereka berkerja keras seperti babu jika ingin mendapatkan sesuatu).

Eleanor adalah pribadi yang tertutup saat itu. Satu-satunya teman yang dimilikinya hanya Jennica Tjandra, putri bungsu pemilik perusahaan textil yang merupakan orang dari lingkaran kekuasaan kakeknya. Namun pertemanan yang pernah Eleanor pikir sebagai satu-satunya yang membuatnya bahagia ternyata hanya sebuah kebohongan. Entah bagaimana awalnya, mereka kemudian berakhir menjadi rival hingga kini.

“Haruskan aku melakukan sesuatu untuk memberinya pelajaran? Aku ingin sekali mematakan hidung silikonnya seperti dulu.” Resti Anggika, sekretaris pribadi Eleanor mudah tersulut amarahnya jika menyangkut Jenny. Hal itu karena Resti telah mengenal Eleanor cukup lama bahkan sebelum wanita di hadapannya itu menjadi atasannya.

“Kenapa justru kamu yang marah?” tanya Eleanor.

Matahari sudah mulai cenderung ke barat dan sinarnya pun menerobos jendela kaca di punggung Eleanor. Dibalik jendela itu juga terlihat pemandangan pulau sentosa yang indah dengan bangunan-bangunan tinggi di sekelilingnya.

Paman Eleanor, Liem Hok Seeng adalah presiden komisaris Golden Palm Internasional.Ltd, salah satu perusahaan pengolahan minyak scala internasional yang dimiliki keluarga Eleanor. Setelah menghadiri rapat tahunan pemegang saham, Eleanor memutuskan tinggal sampai tahun baru.

“Lalu menurutmu, aku akan diam setelah dia mempermalukanmu? Jawabannya sudah tentu tidak, karena aku bukan tipe orang yang sabar dalam menghadapi si ular sanca itu. Jadi keputusanku adalah aku akan segera menelpon kepala redaksi untuk menarik peredaran edisi itu.”

Setelah pertimbangan yang cukup lama, Rere membuat keputusan sendiri. Dia tidak bisa membiarkan kehidupan Eleanor menjadi bahan publik terutama karena sebuah majalah gossip yang memojokannya. Baginya itu sama saja menghina dirinya.

“Kamu memang bisa diandalkan, Re.” sergah Eleanor, “Tapi asal kamu tahu saja kalau aku tidak rela mengeluarkan uang sepeserpun untuk majalah murahan seperti itu.”

Rere meletakkan kembali ponselnya dan lantas mengumpat dalam hati. Bagian yang paling dia benci dari berkerja dengan orang-orang semacam Eleanor adalah sifat pelit mereka. Padahal jika dihitung-hitung kekayaan mereka tidak akan habis tujuh turunan.

“Ini nih yang paling kubenci! Saat kamu terlalu santai menghadapi orang-orang yang berniat merusak citramu. Dasar Tacik pelit!” cibir Rere.

Eleanor hanya tersenyum miring. Dia menyesali kata-kata yang diucapkan Rere. “Memangnya aku punya citra yang baik selama ini? Kenyataannya aku memang seperti itu, Re. Jadi tidak akan ada bedanya untukku?” sahut perempuan itu tanpa menoleh. Tampaknya dokumen yang sedang dipelajarinya lebih menarik dari topik pembicaraan itu.

“Lagipula aku tidak dilahirkan dari keluarga yang murah hati, yang mengijinkanku menghambur-hamburkan uang sesuka hati. Jangankan untuk membayar media, untuk dapat uang saku saja aku harus berkerja pada keluargaku sendiri sejak masih muda.”

“Kamu merendah untuk meroket ya?” Rere dengan memasang raut wajah sebal. “Itu memang karena keluargamu saja yang takut ketahuan kalau kalian penimbun harta! Makanya kalian sengaja merendah.”

Eleanor semakin tertawa dalam hati. “Benarkah? Coba katakan itu sekali lagi! Lebih tepatnya di depan paman.” Bibir tipis Eleanor tersenyum culas, dia sengaja melipat tangannya di depan dada sambil memutar kursi kerjanya untuk menggoda Rere.

“Kenapa harus bawa-bawa Pak Liem sih? Itu kan lain lagi.”

Tidak ada orang yang berani berkata macam-macam di depan paman Eleanor. Stigma kejam, culas dan pelit sudah melekat dengan kuat di wajah pria berumur enam puluh tahun itu. Padahal bagi Eleanor, pamannya tidak lebih dari orang yang berselera nyentrik baik itu dalam berpakaian yang cenderung suka memakai celana pendek maupun gaya kepemimpinannya.

“Sudahlah… lebih baik kamu kembali ke Surabaya dan mengambil cuti yang kuberikan untuk tahun baru. Tidakah kamu perlu itu untuk mendapatkan jodoh?” kali ini Eleanor balas mencibir. Permbicaraannya dengan Rere memang selalu santai, tidak seperti saat dia berhadapan dengan pegawai lain.

“Kurang ajar!” umpat perempuan berkacamata itu. Diambilnya beberapa dokumen di atas meja yang sudah diperiksa Eleanor, kemudian merapikan. Topik jodoh memang sangat sensitive bagi Rere meskipun tingkat sensitivitas-nya masih di bawah topik tentang Jenny.

“Dibanding mengambil cuti, aku lebih tertarik menghabiskan malam tahun baru di sini, di negara termaju seasia tenggara. Jadi kamu tidak akan bisa menghindari tentang rencanamu untuk si ular sanca itu. Aku yakin kamu pasti punya rencana bukan?”

“Aku tidak punya rencana apapun untuk Jenny, itulah kenyataannya.” Jawab Eleanor enteng. Seolah masaah dengan mantan temannya tersebut tidaklah besar. Tapi Rere sudah mengenal baik tabiat Eleanor luar dalam. Tidak mungkin wanita yang arogan sepertinya memilih untuk mengalah dengan rival abadinya.

“Tidak mungkin kamu bersikap sesantai ini kalau kamu tidak punya rencana, aku tidak percaya denganmu! Atau kamu memang tidak bermaksud datang ke pesta pernikahannya? Aku yakin dia akan sangat malu karena tamu yang dibanggakannya justru tidak datang.”

“Kupikir aku tidak sepenting itu, Re. Dibandingkan tamu-tamu undangan suami Jenny, aku masih tidak ada apa-apanya. Tapi kalau dipikir tidak ada salahnya juga kalau aku datang.”

“Apa? Kamu akan datang?” Rere menggebrak meja di hadapannya, “Apa kamu lupa apa yang sudah dilakukan si ular sanca itu padamu? Bertahun-tahun kamu sudah diam. Tapi dia terus menganggumu. Harusnya kamu bisa menunjukan padanya kalau kamu sudah berbeda kelas dengannya. Jadi dia harus berpikir dua kali jika ingin menyaingimu.”

Eleanor tidak akan pernah lupa tentang semua detil masa lalunya. Termasuk itu awal bagaimana pertemanannya dengan Jenny berakhir buruk. Mungkin masalah saat itu hanya masalah kecil yang seharusnya tidak perlu dibesarkan jika Jenny meminta maaf secara dewasa. Tapi sayangnya hal itu tidak pernah dilakukannya karena ego perempuan itu sendiri.

“Aku tidak terlalu menganggap manusia sepertinya penting. Tapi baiklah… aku akan memberi pelajaran padanya di hari pernikahannya nanti.”

Rere bersorak. Seolah dia baru memenangkan undian. “Wah… akhirnya kamu mengatakannya juga! Asal kamu tahu saja, Eleanor yang kukenal itu bukan orang yang sabar. Dia bahkan bisa melempar sepatu ke wajah pegawainya.”

“Apa maksud kamu? Kamu menyindir aku lagi?”

“Tidak, tidak menyindir. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya kok.” gumam Rere yang masih bisa di dengar Eleanor.

“Hei nenek tua! Karena kamu sudah memancing sifat culasku jadi besok kamu yang harus menyiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan. Sepatu, gaun, accesoris dan juga sebuah kado yang akan membuat mata Jenny melompat keluar.”

“Siap! Dengan senang hari kusiapkan.” sahutnya dengan wajah yang lebih bersemangat dari biasanya. Padahal biasanya perempuan itu akan mengeluh jika diberi tugas di hari liburnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status