Share

Independent

Blouse satin berwarna gading dipadukan dengan blazer merah, kacamata hitam dan rambut pendek curly yang diikat rapi ke belakang adalah style andalan Eleanor di kantor. Tidak lupa celana katun high weish dan sebuah stiletto merah yang membalut kakinya. Seharusnya style seperti itu lebih cocok jika dipadukan dengan rok pensil seukuran lutut, apalagi dengan kegemaran Eleanor terhadap stiletto. Tetapi wanita yang tahun ini genap berusia dua puluh tujuh tahun itu menolak keras gaya berpakaian seperti itu. Eleanor yang seperti alergi dengan pakaian seksi bahkan sampai menetapkan aturan di perusahaannya untuk melarang pegawai wanita memakai rok dan kemeja seksi. Dengan dalil kesetaraan gender, dia tidak ingin pegawai wanita mendapat perlakuan khusus terlebih dipandang dengan sudut kecantikan semata.

Standart kerja yang diterapkan Eleanor sejak dia menjabat sebagai direktur utama HS Group pun juga terbilang tinggi. Setiap pegawai akan diawasi oleh satuan khusus sehingga dilarang bercakap-cakap di area kantor secara berlebihan (Eleanor mempunyai kecurigaan berlebihan pada kemungkinan seseorang yang tanpa sengaja membocorkan informasi perusahaan karena itu hanya sapaan formal yang diijinkan). Tidak boleh ada keributan (Sepanjang jam kerja pun tidak akan terlalu banyak suara), tidak boleh ada keterlambatan (Gaji tidak akan dipotong tapi kontrak kerja tidak akan diperpanjang) dan tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun (Bahkan jika ada yang melanggar, mereka akan langsung dikeluarkan). Semua harus berpakaian rapi (kemeja putih dan celana hitam, juga blazer untuk semua pegawai dan head divisi), bersih serta bekerja sesuai prosedur yang telah ditetapkan perusahaan, baik Eleanor berada di kantor maupun tidak.

Hanya Rere−sekretaris korporasi yang merangkap menjadi sekretaris pribadi Eleanor− satu-satunya yang berani memakai rok pensil di kantor. Bahkan Rere pun pernah memaduhkannya dengan kemeja belahan dada untuk memancing emosi Eleanor. Jika bukan karena Eleanor telah mengenal baik Rere bahkan sebelum dirinya memiliki jabatan tertinggi di perusahaan itu, Rere pasti akan ditendangnya seperti pegawai lain. Tetapi entah bagaimana Eleanor akhirnya membuat pengecualian pada Rere. Bagi Eleanor, Rere itu seperti pisau tajam yang tidak bisa digenggam siapapun. Termasuk dirinya.

“Aku sudah menyiapkan petugas medis hari ini, kalau kamu tiba-tiba kehilangan kendali dan menampar seorang pegawai lagi. Pengacara juga sudah aku minta stand by untuk mengurusi kompensasi kalau kejadian itu terjadi. Tukang untuk memperbaiki meja yang mungkin kamu gebrak hingga hancur dan juga yang paling penting adalah psikiater. Siapa tahu ada karyawan yang tiba-tiba depresi dan menjadi phobia karena kamu.” Cecar Rere di hari pertama mereka tiba di kantor Surabaya setelah beberapa minggu lalu bertugas di kantor Singapura.

Eleanor tidak ambil pusing dengan semua cibiran Rere. Sebab perempuan dengan style rambut panjang yang digelung ala pramugari itu hanya berkata berlebihan. Seorang anggota keamanan pun membantu membukakan pintu mobil begitu Eleanor tiba di lobby luar. Mereka menundukan kepala saat ia berjalan melintas. Rere stand by disamping kanan Eleanor lalu ada beberapa satuan khusus pengendali kinerja yang berada disamping kirinya. Beberapa direktur dan head departemen pun berbaris di sepanjang lobby. Mereka menyambut kedatangan Eleanor sekaligus mencari muka agar jabatan mereka lebih panjang umur kedepannya.

Meeting pertama awal tahun dimulai tiga puluh menit setelah kedatangan Eleanor. Head divisi yang ditujuk oleh para direktur mempresentasikan tentang rencana kerja mereka setahun kedepan. Direktur dari divisi akuntasi dan keuanganan mempresentasikan rencana pemangkasan anggaran belanja beberapa anak perusahaan guna menambah income perusahaan induk. Tetapi ditengah presentasi Eleanor langsung memotong penjelasan mereka,

“Pemangkasan anggaran belanja bukan sesuatu yang pantas dilakukan perusahaan sekelas HS Group, itu hanya akan membuat anak perusahaan keteteran dan kacau karena harus menurunkan kualitas sumber daya mereka. Seharusnya tunjangan kalian yang dipangkas, apa gunanya mengikuti undang-undang kepegawaian jika pola pikir kalian sebagai pegawai HS Group saja dangkal. Next! Presentasi selanjutnya…”

Tidak ada yang berani membantah ucapan Eleanor. Bahkan enam direktur di ruangan itu pun bungkam. Pola pikir Eleanor terlalu tajam, begitu pula dengan gaya bicaranya yang sama persis dengan gaya sarkartis Liem Hok Seeng, pamannya.

“Rencana tahun ini adalah akusisi perusahaan penyiaran, perusahaan penerbangan lokal, PT. Food Ultimate dan PT. Agro Lestari. Dua dari perusahaan tersebut sudah setuju dengan harga yang kita tawarkan. Sementara dua perusahaan lainnya masih dalam tahab.”

“Turunkan lagi untuk harga PT. Agro Lestari, ada masalah terkait pajak yang mereka sembunyikan. Jadi kita tidak bisa mengambil resiko. Kalau mereka sepakat maka teken langsung. Tapi jika tidak maka lepaskan saja, mereka yang akan mengejar kita.”

“Baik, bu.”

“Siapa pemegang saham terbesar perusahaan penerbangan Flyway airlines?”

“Seperti yang kita lihat, saham terbesar Flyways dulunya dimiliki oleh asing. Tapi sepertinya mereka membutuhkan dana yang cukup besar pula sehingga mereka menerbitkaan beberapa saham lagi tahun ini. Sementara ada beberapa perusahaan yang juga mengincar saham terbesar Flywys airlines selain kita.”

“Siapa?”

“Pakubowono Grup juga mengincarnya.”

“Kalau begitu kita tidak harus mendapatkan Flyways airlines. Hanya beri penawaran menarik untuk memancing Pakubuwono Grup memberi penawaran tinggi, setelah itu kita bisa lepas. Flyways bisa kita gunakan untuk mengacaukan keuangan Pakubowono Grup. ” Head divisi yang sedang melakukan presentasi tersebut tampak terkejut dengan strategi Eleanor yang terlalu beresiko tersebut.

“Tapi bagaimana dengan rencana akusisi kita? Tidakkah Flyways yang paling potensial diantara perusahaan penerbangan lain.” Sahut direktur pengembangan usaha.

“Flyways tidak ada apa-apanya dengan Asian.corp. Jika tidak mendapatkan perusahaan lokal maka target kita bisa harus diubah ke perusahaan asing. Atau minimal perusahaan di Asia. Itu untuk mengimbangi aset yang dimiliki Pakubuwono Group.”

 Rere yang berada di meja terpisah bisa menarik nafas lega kali ini karena tidak ada perdebatan yang panjang. Dalam meeting ini, divisi pengembangan usaha dan investasi pun lolos dengan persetujuan Eleanor. Sementara divisi pengendalian usaha bidang agro menjadi divisi yang paling penting karena secara langsung menitik beratkan permasalahan industri sawit membuat Rere was-was karena presentasi mereka selanjutnya.

“Saat ini biodiesel yang kita produksi mempunyai kualitas yang sangat baik dan menjadi salah satu biodiesel yang direkomendasikan. Namun dalam beberapa tahun ke depan tampaknya kita akan mengalami masalah serius jika Uni-Eropa meneken aturan yang berisi pelarangan penggunaan biodesel di negara-negara eropa. Mereka beranggapan bahwa biodiesel tidak cukup ramah lingkungan dan produksinya melibatkan banyak perusakan hutan.”

“Jadi bagaimana? Memangnya kita harus menghentikan produksi? Tidak mungkin kan? Orang-orang Uni-Eropa itu memang sok suci sekali. Memangnya mereka tidak pernah melakukan perusakan hutan.” Salah satu direktur itu menimpali topik presentasi. Eleanor tahu jika orang-orang itu memelihara kebiasaan lama mereka di setiap kesempatan, kebiasaan cari muka. Padahal tanpa mencari muka di depannya, Eleanor sudah tahu siapa yang benar-benar berkerja dan siapa yang hanya pandai menjilat.

“Yah… ini masalah serius. Kita bisa tamat jika biodiesel dilarang.” Sahut yang lain.

“Bagaimana tanggapan Pak Liem? Apakah Pak Liem sedang bertindak? Aku yakin Pak Liem tidak akan tinggal diam bukan?”

Tapi bukannya menjawab. Eleanor yang dimintai pendapat justru diam beberapa saat dan memandang malas kearah mereka. Dia dengan wajah garangnya kemudian hampir menggebrak meja jika saja para direktur itu tidak berhenti mengoceh sendiri.

“Lalu apa gunanya kalian di tempat ini? apakah para direktur dengan jabatannya digaji hanya untuk menjadi komentator?”

Semua terdiam. Bahkan Rere pun sampai harus menahan suara ketikannya. Orang-orang yang menganggap bahwa Eleanor akan puas dengan satu pencapaian saja adalah salah besar. Eleanor tidak mudah dijinakan. Bahkan dia akan terus mengingat kesalahan-kesalahan orang-orang di hadapannya meskipun sudah lampau.

“Sangat menjijikan ketika kalian semua tidak memberi kontribusi yang memuaskan tetapi berani berkomentar. Seharusnya sebelum mempresentasikan sesuatu pastikan kalian memiliki solusi yang bisa diajukan. Aku heran kenapa orang-orang seperti kalian duduk di kursi direksi? Mungkin Pak Han sangat baik hati sehingga lebih banyak memilih orang-orang yang memproklamirkan diri sebagai temannya untuk duduk di kursi direksi. Tapi saya, sebagai presdir yang baru tidak segan memberhentikan tanpa hormat seseorang yang tidak memiliki kemampuan. Jadi pastikan kalian berpikir dua kali sebelum berkomentar.”

Dan dalam beberapa menit ke depan, suasana meeting pagi itu pun berubah mencekam. Eleanor lebih kritis dan tidak mudah menyetujui usulan mereka. Bahkan sesekali dia sesekali terlibat perdebatan dengan direktur umum. Kemampuan Eleanor tidak pernah diragukan tapi kemampuan mengendalikan ego dan emosionalnya diragukan.

 “Kamu itu memang tidak bisa ya meninggalkan kebiasaan marah-marah itu sekali saja? Apa salahnya si memuji kemudian mengkritik kinerja mereka dengan halus? Apalagi mereka rata-rata seumuran sama pak Han…” tegur Rere setelah Eleanor meninggalkan ruang rapat dengan sepihak dan kembali ke ruangannya.

Bukan pertamakalinya jika meeting dengan para direktur tidak berjalan mulus dan justru diisi dengan perdebatan yang berujung segala makian kotor yang keluar dari mulut Eleanor.

“Memangnya salah kalau aku marah dengan kinerja mereka? Lagipula aku akan bersyukur jika mereka mengundurkan diri jadi aku bisa mengganti mereka dengan direktur-direktur yang lebih muda dan berotak cemerlang.” Sahut Eleanor sambil mendudukkan tubuhnya di meja kerjanya.

“Jangan begitu dong, ibu Eleanor yang terhormat! Mereka itu sudah berkerja cukup lama di perusahaan ini. Hargai mereka sedikit lah…” Rere sejak tadi berusaha mengekori Eleanor.

“Tapi sayangnya mereka yang tidak pernah menghargaiku jadi bagaimana aku bisa menghargai mereka?” tantang Eleanor, “Apa kamu pikir aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan setelah aku pergi? Lagipula mereka juga yang meremehkanku ketika aku baru masuk perusahaan ini jadi pantas lah kalau mereka membayarnya sekarang.”

Rere mendengus kasar. Ada saja alibi yang diberikan Eleanor. Memang setelah Eleanor pergi, para direktur yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Eleanor itu pun menyumpahi Eleanor dengan kata-kata kasar. Mereka juga berbicara tentang semua keburukan Eleanor yang tidak mereka sukai dalam memimpin perusahaan.

“Jadi intinya kamu balas dendam?”

“Tidak! Aku hanya berusaha mencambuk macan-macan tua itu saja, supaya mereka berkerja dengan maksimal jadi mereka tidak punya waktu untuk mencari muka lagi.”

Kali ini Rere sudah kehabisan akal lagi untuk menasehati Eleanor. Padahal setahu Rere, direktur utama/sekaligus CEO yang lama atau ayah Eleanor sendiri tidak pernah memimpin perusahaannya dengan begitu kejam. Sehingga mereka pun sangat menghormati pak Hans. Tapi Eleanor ini justru lebih mewarisi kepemimpinan dan kegilaan Liem Hok Seeng, paman Eleanor yang sekarang menjabat sebagai presiden komisaris Golden Palm International.Ltd.

***

HS Group building merupakan salah satu banggunan tinggi di Surabaya dengan tiga puluh empat lantai. Sementara ruangan Eleanor sendiri berada di lantai tiga puluh tiga. Ruangan yang sama dengan ruangan yang pernah ditempati ayahnya. Hanya dekorasi ruangan itu yang sedikit diubah. Agaknya selera Eleanor sangat berbeda dengan ayahnya sendiri. Ayah Eleanor atau yang bernama lengkap Handoko Liemsudibyo atau Liem Hong Siaw adalah seorang Budha yang taat sehingga dekorasi ruangan itu pun semula penuh dengan lukisan-lukisan pegunungan Tibet. Sementara Eleanor lebih menyukai sesuatu yang abstrak dan warna monokrom. Satu-satunya yang sama dalam hal selera mereka hanya pengaturan ruangan kerja yang dibuat sesederhana mungkin, sehingga tidak memerlukan banyak furniture atau dekorasi yang tidak berguna.

Banyak yang terkejut ketika Handoko Liemsudibyo memilih pensiun dini dan menyerahkan perusahaannya pada putri sulungnya. Banyak yang menyayangkan karena usia Handoko Liemsudibyo yang masih lima puluh tahun (tidak lebih tua dari kakaknya). Tetapi tidak ada orang yang bisa memprotes keputusan Handoko Liemsudibyo tersebut, bahkan sekalipun itu para direksi yang jauh di dalam hati mereka enggan dipimpin oleh anak muda dengan pengalaman minim seperti Eleanor. Sebab saham terbesar HS Group pun sepenuhnya milik Handoko dan akan menjadi milik Eleanor jika dia meninggal.

“Aku sudah mendapatkan informasi yang kamu inginkan.”

Rere melangkah masuk sembari membawa sebuah amplop berwarna coklat yang kemudian dia letakkan di hadapan Eleanor. Salah satu point yang disukai Eleanor dari Rere adalah dia yang mampu berkerja dengan cepat dan akurat seperti yang dia harapkan. Terbukti ketika Eleanor memintanya mencari informasi tentang kedua orang yang mereka temui di Singapura, tak lebih dari satu minggu Rere pun sudah mendapatkannya.

“Sebenarnya apa sih yang ingin kamu lakukan pada mereka?” tanya Rere sekali lagi. Tapi Eleanor tidak berniat langsung menjawabnya dan lebih memilih membuka isi amplop tersebut.

“Darimana kamu mendapatkan informasi ini?” Eleanor justru bertanya balik.

Salah satu tabiat Eleanor adalah tidak pernah bisa mempercayai orang seratus persen. Meski itu Rere sekalipun. Sehingga dia akan bertanya dari daun hingga akar terlebih dulu.

“Yang pasti dari sumber terpercaya.” Sahut Rere geram.

Ada beberapa dokumen dan foto di dalam amplop tersebut. Semua dibandel menjadi satu sehingga memudahkan Eleanor memeriksanya satu persatu. Tetapi seperti sedang menguji pengetahuan Rere, Eleanor justru menanyakannya pula pada seketarisnya itu.

“Allena Rheanatha?” gumam Eleanor yang masih didengar Rere.

“Yah… dia wanita gila yang merebut sepatumu itu. Ternyata dia adalah model kelas atas dari Surabaya. Pantas saja aku seperti pernah melihatnya! Ternyata selain menjadi runner up Asian Top Model, Allena ini juga membintangi beberapa FTV norak di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Jadi tidak heran namanya juga cukup dikenal.” Penjelasan Rere yang sebenarnya tidak diperlukan karena Eleanor bisa membacanya sendiri di dalam dokumen itu.

“Lalu pria kemeja biru sapire itu? Apa dia yang bernama Jonathan Aldebaran?”

Sudah jelas bukan. Tapi Eleanor justru kembali mengharapkan penjelasan Rere. “Yups… benar sekali! Dia adalah kekasih Allena. Atau aku harus menyebutnya tunangan karena beberapa waktu lalu mereka dikabarkan bertunangan secara diam-diam.”

Eleanor mengambil foto Jonathan dari salah satu bandel kemudian mengamatinya dengan lekat. Ada sedikit hal yang membingungkan yang dirasakan Rere ketika melihat Eleanor yang justru mengamati foto Jonathan dibandingkan dokumen lainnya. Padahal Jonathan ini bisa dibilang tidak bersalah sedikitpun perihal sepatu yang direbut Allena, kekasihnya.

“Jonathan ini adalah seorang pengusaha Startup bernama Bimasakti.com yang berlokasi di Surabaya Timur. Memang sih dia terbilang pendatang baru dalam dunia bisnis digital. Tapi prestasi pribadi yang ditunjukan Jonathan ini sangat mengesankan. Dia bukan hanya lulus dari Stanford University, Jonathan juga pernah berkerja di perusahaan Mc Kinsey dan Alibaba Group sebelum memutuskan mendirikan perusahaan sendiri. Lalu karier bisnisnya sekarang bisa dibilang melejit setelah mendapatkan angel investor. Hebat bukan?”

Penjelasan Rere yang juga tanpa canggung juga memuji subjek yang tengah diamati Eleanor. Sementara Eleanor duduk tenang sambil memikirkannya kembali. Ternyata alasan dia tidak menemukan pria seperti Jonathan adalah karena mereka berada diujung dunia yang berbeda. Bahkan dalam hal pilihan pendidikan, Eleanor berada di benua Eropa tepatnya Inggris sementara Jonathan memilih berada di benua Amerika.

“Lalu bagaimana dengan hubungan mereka berdua?”

Beruntung Rere sudah mempelajari dokumen itu terlebih dahulu. Dan dia pun diberkahi daya ingat yang tinggi sehingga hanya dengan sekali membaca, dia bisa menghafal semua rekam jejak subyek yang sudah dia gali dari beberapa informan terpercaya tersebut.

“Cukup mengesankan sih kalau aku bilang.” komentar Rere, kali ini sengaja memancing rasa penasaran Eleanor. Siapa suruh Eleanor berlaku seperti seorang rektor yang sedang membrondonginya segudang pertanyaan seputar skripsi.

“Jawab saja! Aku tidak meminta pendapat darimu.” Cibir Eleanor.

“Yah… yah… ibu Eleanor yang terhormat! Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama tepatnya sejak SMA. Hanya saja putus nyambung sejak Jonathan menempuh pendidikan di Stanford. Sumber terdekatnya mengatakan bahwa Jonathan adalah pria yang sederhana dan setia dalam hubungan sehingga dia bisa dengan mudah memulai kembali hubungannya dengan Allena setelah menyelesaikan study-nya. Walaupun seperti yang kamu tahu, alasan putus mereka adalah karena orang ketiga. Konyol sekali bukan?”

“Apa yang terdengar konyol menurutmu?”

“Maksudku! Ayolah… ibu Eleanor! Apa bagusnya wanita gila fashion seperti Allena sehingga seorang seperti Jonathan begitu tergila-gila padanya dan mau menjalin hubungan kembali dengan wanita tukang selingkuh itu? Aku yakin kalau bukan karena Allena yang memohon seperti pengemis pasti ada yang salah dengan otak cemerlang si Jonathan ini!”

Eleanor hanya menggeleng-geleng mendengar kometar Rere. Sepertinya bukan hanya Eleanor yang menyimpan dendam pada wanita bernama Allena itu, melainkan juga Rere yang pernah berdebat secara langsung. Bahkan jika Jonathan tidak ada saat itu, Rere dan Allena pasti akan berakhir dengan saling menjambak hanya untuk merebutkan sebuah sepatu.

“Kalau begitu aku juga berhak bukan untuk merebutnya kan? Bagaimanapun dia juga tidak pantas mendapatkan seseorang yang seperti dia…”

“Apa? Aku tidak paham siapa yang kamu maksud!” Rere yang tadi berdiri disamping Eleanor pun mendadak menjadi bingung. Dia bukan tidak mendengar, hanya saja kata-kata yang diucapkan Eleanor terdengar ambigu.

“Kamu ingin merebut kepemilikan agensi model Allena atau perusahaan IT Jonathan? Kalau kamu ingin memiliki keduanya untuk menghancurkan karier dua orang itu, aku sungguh akan memberimu label wanita tidak berperasaan.” Cecar Rere.

Namun Eleanor justru memicingkan mata. “Bukan keduanya, Re!”

“Lalu?”

Eleanor menghentakan foto yang sejak tadi digenggamnya ke hadapan Rere. Bola mata Rere melotot seketika saat mengetahui siapa yang dimaksud Eleanor. “Satu-satunya yang ingin kurebut adalah dia! Menurutmu berapa uang yang harus aku keluarkan untuk mendapatkannya?” ujar Eleanor penuh keyakinan.

Rere pikir dia harus segera membuat jadwal kunjungan psikiater untuk Eleanor. Karena semakin lama, wanita yang terpaut usia tiga tahun dibawahnya tersebut−yang juga telah dianggapnya bukan sekedar atasan−semakin tidak waras dari hari ke hari. Tidak waras bukan dalam artian kehilangan akal sehat, tetapi lebih pada cara berpikirnya yang semakin berbahaya dan menyeramkan. Padahal dia jelas mengenal Eleanor sejak masih remaja. Dan Eleanor yang dulu pun sama sekali berbeda dengan Eleanor yang sekarang. Rere tidak tahu apakah harus mendukung keinginan Eleanor kali ini atau menghentikannya dengan cara halus?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status