“Keberanian untuk mengambil resiko apapun demi mencapai tujuan.”
Di sebelah Konservatorium mini halaman rumahnya, ada sebuah sauna dari bambu yang rutin digunakan Eleanor untuk Meditasi atau Yoga. Paling lama setengah jam, tergantung seberapa besar amarah yang sedang dikendalikannya. Tapi terkadang juga bisa sampai berjam-jam, atau lima belas menit saja kalau tidak ada hal apapun yang menganggu mood-nya. Suasana hati Eleanor memang mirip cuaca. Kadang mendung, kadang cerah. Sebentar hujan, lalu tiba-tiba menghangat. Tapi dalam keadaan cerah sekalipun, sikap Eleanor memang tetap kaku seperti itu.
Hanya saja Rere tidak tahu apa yang membuat Eleanor mampu menghabiskan dua jam di arena tembak. Pasti moodnya kali ini lebih ekstrim dari yang bisa dikendalikannya dengan Yoga. Olahraga ekstrim itu pun hanya dilakukan Eleanor paling tidak seminggu sekali. Itu juga paling lama tiga puluh menit. Dan jangan ditanya seberapa jago Eleanor menembak. Dari usinya tujuh belas tahun, dia sudah rutin berlatih menembak. Mungkin kalau dia menaruh minat lebih untuk olahraga itu, dia pasti bisa menjadi atlet.
Tidak ada juga yang bisa melarang atau memarahi Eleanor berlama-lama disana. Sebab arena tembak, beserta lapangan golf dan pacuan kuda, semua dibangun di atas tanah pribadi milik keluarga Liemsudibyo yang luasnya kurang lebih tiga puluh hektar. Itu belum termasuk resort, komplek perumahan, apartemen, mall, hotel, bussines center dan taman hiburan, juga tidak ketinggalan kediaman keluarga Liemsudibyo dan anak cucunya di Surabaya Barat. Jika ditotal keseluruhan, keluarga Liem hampir menguasai seluruh wilayah dari Mayjen Sungkono hingga Darmo (Tapi fakta ini tentu saja tidak boleh diketahui oleh publik).
Rere pun seperti lumutan menunggu Eleanor memuaskan diri dengan sepuluh tembakan per menit. Tadi pagi mereka sempat pergi ke kantor dan memulai meeting seperti biasa. Namun setelahnya Eleanor tiba-tiba meminta Rere membatalkan semua jadwalnya pada hari itu dan kemudian meninggalkan kantor. Suasana hati Eleanor memang tidak bagus sejak pesta kemarin. Dia enggan berbicara dan sangat sensitif. Rere tidak bisa bertanya lebih jelas. Sebab dia tahu tabiat Eleanor yang tak ingin diganggu ketika suasana hatinya memburuk.
“Sedang apa kamu disini?” akhirnya waktu yang ditunggu tiba. Jika Eleanor sudah mau bertanya, itu berarti suasana hatinya sudah lebih baik.
“Untuk apa lagi? tentu saja menunggumu.” Rere beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Eleanor keluar.
“Bukankah aku sudah bilang untuk membatalkan semua jadwal pertemuanku hari ini?” Eleanor mengambil handuk dan botol mineral dari seorang pelayan. Rere hanya bisa menatap punggung Eleanor dari tempatnya berdiri.
“Iya… aku tahu, ibu Eleanor yang terhormat! Tapi aku tetap membutuhkan penjelasan mengapa kamu membatalkan semua pertemuan penting hari ini?” Itu hanya alasan Rere, karena sebenarnya dia hanya mencemaskan Eleanor.
“Bukankah aku sudah mengatakannya dengan jelas tadi?” tanya Eleanor balik.
Rere sungguh ingin menyembur Eleanor yang sangat irit berbicara saat meninggalkan kantor tadi. Kalau saja Rere membawa rekaman cctv, mungkin dia bisa memperlihatkannya pada Eleanor. Lalu melihat bagaimana reaksi wanita itu ketika tahu bahwa dia meninggalkan kantor hanya dengan satu kalimat, “Batalkan semua pertemuanku hari ini.” yang kemudian membuat Rere kewalahan mengubah apapun yang ada dalam agenda Eleanor hari itu.
“Sudahlah… kamu pergi saja! aku tidak ingin diganggu!” usir Eleanor. Wanita itu masuk ke dalam mobil golf cart tanpa mempedulikan Rere.
“Apa semua ini ada hubungannya dengan pesta tadi malam? Kamu marah karena aku meninggalkanmu? Aku kan sudah menjelaskan kalau perutku mulas setelah memakan roti dan kaviar yang mewah itu. Si ular sanca itu pasti yang mengerjaiku.” Tapi Rere seperti berbicara pada tembok karena Eleanor yang tetap diam.
“Lagipula tidak ada masalah yang berarti kan? Aku bahkan sudah melakukan sesuatu yang membuatmu patut senang. Kalau bukan aku yang memberitahu Jonathan tentangmu, dia tidak mungkin mengajakmu berdansa bukan?” Cicit Rere. Tapi tampaknya sumber masalah yang dimaksud memang dari inisatifnya tersebut. Sehingga alih-laih rasa terima kasih dari Eleanor, yang didapat Rere selanjutnya justru tatapan tajam.
“Senang? Kamu tidak sadar kalau itu juga bagian dari kesalahan terbesarmu?” hardiknya.
Rere mundur selangkah, mencoba defensive. “Memangnya apa yang kesalahanku?”
Eleanor menghembuskan nafas dan kemudian memalingkan wajah. Dia benci mengatakannya. Tapi terkadang dia juga tidak bisa memendam amarahnya sendiri. “Pertama…” Eleanor membuat jeda sambil mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Rere.
“Kamu membuat inisiatif sendiri. Kamu bahkan tidak tahu apa rencanaku pada laki-laki itu. Aku selalu membutuhkan rencana dan persiapan. Tapi karena inisiatifmu, aku seperti orang bodoh yang percaya dengan takdir.”
Harusnya Rere memang meminta saran Eleanor terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Dia terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa Eleanor akan sama seperti perempuan lainnya yang akan senang kalau tanpa sengaja bertemu orang yang disukainya. Hidup Eleanor selalu dibawah kontrolnya, dia tidak memperkenankan sesuatu yang menyimpang dari rencana maupun cara hidupnya.
“Baik. Aku minta maaf.” Cicit Rere. Tapi Eleanor terus melanjutkan.
“Dua… Aku benci seseorang yang menatapku iba, termasuk Jonathan. Karena pertemuan itu, dia jadi tahu sesuatu hal antara aku dan Jenny. Tatapan matanya saat memberikan bunga itu padaku, benar-benar membuatku muka.” Ujar Eleanor sambil membuang muka.
“Kamu benci pada Jonathan? Lalu…” Tapi sebelum Rere melanjutkan perkataannya, Eleanor terlebih dahulu memotong.
“Tiga… Jenny tidak boleh tahu siapa Jonathan dan apa hubunganku pada laki-laki itu. Aku juga tidak rela Jonathan mengenal Jenny lebih dari patner bisnis Jimmy Kwok.”
Untuk yang satu itu Rere sedikit paham dengan alasan Eleanor. Mungkin berkaitan dengan masa lalu mereka. Tapi sebelum Rere membuka mulut untuk menyahuti, lagi-lagi Eleanor memotongnya. “Yang terakhir…”
Eleanor memegang kemudi golf car-nya sambil memandang lurus ke depan. Sorot matanya pun melunak. “Kamu membuatku semakin menginginkan dia…” tegasnya.
Diam-diam Rere menyahuti dengan kata, “Wow…” sambil melompat masuk ke dalam golf cart yang dinaiki Eleanor dan duduk di samping Eleanor. Bibirnya berusaha menahan senyuman. Namun tidak bisa. Rere pun mengalihkan pandangannya ke samping. Akhirnya seorang Eleanor mengakui ketertarikan pada Jonathan. Padahal selama bertahun-tahun nyaris Eleanor memandang semua pria seperti anjing kampung. Tapi dengan Jonathan ini, seperti Eleanor memakai sedikit hatinya. Dan Rere menjadi tertarik untuk membantu Eleanor dalam hal ini. Siapa tahu seorang Jonathan bisa mengubah sosok Eleanor menjadi manusia kembali.
“Oh… jadi karena itu.” goda Rere yang kini mulai bersikap santai. “Karena Jonathan Aldebaran yang sudah mengacaukan hatimu itu? Yang memberimu buket bunga sebelum pergi?”
Eleanor ingin mencibir suara tawa Rere yang tiba-tiba meledak. Jika itu pegawai lain, Eleanor pasti sudah menyumpal mulutnya dengan sepatu. Pikiran Eleanor sudah seperti senapan yang akan meledakkan peluru. Dia ingin segera menyusun rencana untuk mendapatkan Jonathan. Tapi tentu bukan dengan cinta. Karena hanya satu itu yang tidak bisa Eleanor kendalikan.
“Re, apa Will sudah ada di Surabaya?” tanya Eleanor sambil mengemudikan golf car. Untuk kendaraan sesederhana itu Rere harus berpegang dengan erat pada apapun yang bisa pegangnya karena Eleanor bertindak kesurupan lagi.
“Sepertinya begitu… kenapa memangnya?” suara Rere sumbang.
Antara takut dan penasaran. Sebab yang ditanyakan Eleanor adalah sepupunya yang bernama William Liemsudibyo. Sudah lama sekali Rere tidak mendengar kabar laki-laki flamboyant tersebut. Tepatnya sejak dia mengambil keputusan kontroversial dengan melanjutkan study robotik di Rusia. Kemudian mendirikan perusahaan IT di Ibukota. Keluarga besar Eleanor pun bukan keluarga yang normal. Mereka tidak akan saling merindukan satu sama lain meskipun sudah lama tidak bertemu. Jadi Rere sedikit waspada ketika mendengar Eleanor bertanya tentang sepupunya tersebut. Terlebih karena beberapa waktu yang lalu William tiba-tiba mengontak Rere. Hanya untuk berbasa-basi memang. Sebab William dan Rere memang cukup akrab sejak dulu.
“Hubungi Will! Katakan aku ingin bertemu!” perintah Eleanor.
“Hari ini?” Rere mengerutkan kening. Menurutnya sangat mendadak sekali. Tapi Eleanor tampaknya tidak ingin dibantah.
“Memangnya kapan lagi?” sahut wanita itu ketus.
“Tapi ada pertemuan dengan orang-orang legislatif nanti malam. Aku harus bagaimana?” Rere berusaha mengingatkan. Beberapa urusan yang menyangkut orang-orang penting tidak bisa dibatalkan dengan seenaknya. Apalagi yang berhubungan dengan kelancaran bisnis mereka. “Akhir-akhir ini mereka sulit dikendalikan dan cenderung mulai mempersulit perijinan kita. Terutama sejak Pak Han mengundurkan diri.” sambungnya.
Namun Eleanor hanya memutar mata. “Memangnya bisa apa mereka? Jangan buat mereka setinggi langit jadi temui saja mereka, dan sejumput uang. Mereka pasti paham. Lagipula aku malas bertemu badut-badut itu.” tukasnya.
“Keluar dari jalur kuno dan menciptakan inovasi.”Dalam sebuah keluarga besar pasti ada seorang pembangka di dalamnya. Atau si bungsu yang merasa terabaikan sehingga melakukan banyak tingkah untuk mendapatkan perhatian. Begitulah William Liemsudibyo. Lahir dengan IQ 150. Setidaknya cukup membuatnya mendapat julukan genius. Saat masih kecil William bercita-cita menjadi dokter, sehingga ayahnya langsung membuatkannya sebuah rumah sakit premium bernama Williemsiom. Namun di tahun terakhir dia kulia kedokteran di NUS, William justru mengundurkan diri. Lalu memutuskan untuk mengambil study robotika di Penysilvania. Tentu saja hal itu menjadi kontroversi besar di keluarganya.Tidak berhenti disana, William bahkan nyaris mengitari separuh dunia untuk menguji kemampuannya sendiri. Setelah menyelesaikan study robotika-nya, William mengambil gelar lain dari universitas yang berbeda-beda, mulai dari Swiss Federal Institute of Technology Zurich jurusan teknik,
Sekilas tentang Haryanto Liemsudibyo atau Liem Sioe Gwan, raja sawit di Indonesia yang telah tutup usia.Haryanto Liemsudibyo lahir dan dibesarkan di Pontianak. Ayahnya seorang Fujian yang kemudian menikah dengan wanita pribumi dan membuka usaha toko kelontong. Setelah dewasa, Haryanto pergi ke jawa untuk melanjutkan kulia. Setelah ayahnya meninggal karena serangan jantung, dia mencoba berwirausaha kecil-kecilan untuk menambah uang kulianya. Namun tidak disangkah usaha itu cukup berkembang. Di pulau jawa, Haryanto juga bertemu gadis pujaannya yang juga peranakan bernama asli Tan mei hwandan kemudian menikahinya. Dari keluarga istri-nya, Haryanto mulai memiliki banyak koneksi. Dia pun secara tidak langsung mendapat dukungan penuh untuk mengembangkan usahanya.Dimulai dari usaha dibidang pangan yaitu mendirikan pabrik mie instant, lalu bank hingga kini perkebunan sawit. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 dan ditamb
Afternoon tea di TWG Tea Salon & Boutique setiap weekend, berburu barang-barang branded, pemotretan, wawancara majalah, haha-hihi dengan geng “Canci”, party nightmare alias clubbing adalah sederet kegiatan Allena di ibukota. Dia sudah menjadi bagian dari standart hidup wanita di kota itu. Kehidupan Allena pun terlihat sempurna. Apalagi dengan bergabungnya dia di lingkaran geng wanita-wanita populer itu. Sebut saja Mia Arestya, mantan pemain sinetron yang sekarang menjadi nyonya di keluarga Pramuwidjadja (walaupun dia masih terbilang kalah elegan dengan mertuanya yang mempunyai aset fantastis).Mia adalah ketua geng Canci sekaligus pendirinya. Dia yang menyatukan ketiga anggota lainnya; Jenifer Alison, Alexa Indira dan Allena Rheanatha yang juga berasal dari industri hiburan. Jenifer lebih dulu mengenal Allena
Dalam suatu perusahaan, setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing. Namun kepentingan tersebut harus bersinergi dengan kepentingan bisnis. Begitupula dengan sistem di keluarga besar Eleanor. Semua anggota keluarga memiliki kepentingannya masing-masing. Mereka pun tidak lebih dari orang asing terdekat. Namun satu hal yang pasti bahwa keberadaan mereka harus bersinergi dan saling menguntungkan. Setiap anak dan cucu di keluarganya pun harus membangun dinasti sendiri. Seperti bisnis pamannya di Singapura dan bisnis ayahnya di Indonesia, kelak anak-anak mereka harus bisa membangung ekspansi bisnis di negara lain. Sayangnya dalam hal ini hanya Eleanor yang berada di jalur tersebut. Sepupuh-sepupuhnya memilih keluar dari sistem stakeholder di keluarganya. Begitupula dengan ayah Eleanor kini.“Papa mau pergi?” tanya perempuan itu ketika bertemu ayahnya di koridor lantai dua. Handoko, sosok berkacamata bingkai hitam itu menghentikan lan
Ini mimisan yang ketiga kalinya dalam minggu ini untuk Jonathan. Dia terlihat seperti pria lemah jika sudah seperti ini. Ryan bahkan sering menggodanya karena kelemahannya tersebut. karena biarpun badan Jonathan termasuk cetakan gym dengan otot bisep yang lebih besar dari milik Ryan. Namun jika memang sudah lelah, tubuhnya tidak bisa dikompromi. Dia akan langsung mimisan seperti hari ini.Selama sebulan ini memang sangat berat untuk bisnis Jonathan. Belum selesai masalahnya dengan para hacker yang mencoba meretas data perusahaannya, dia justru mendapat masalah lain yang lebih serius. Kehilangan investor terbesar perusahaannya, yaitu Jimmy Kwok. Proyek baru yang awalnya akan berjalan sukses dan mendapat dukungan penuh dari semua pihak kini akan lumpuh total jika dia tidak segera menemukan alternatif.Jonathan juga tidak mengerti mengapa perusahan start up seperti Bimasakti harus menerima serangan begitu hebat. Patner bisnisnya; Jimmy Kwok yang tiba-tiba menarik investas
Untuk pertamakalinya dia tertarik pada seorang pria biasa yang tidak berasal dari kalangannya. Pria berkulit eksotis yang mempunyai sorot mata tajam sekaligus sendu, tidak begitu menarik untuk orang-orang dari lingkungannya dan sangat beresiko jika dia mendekatinya. Hari itu Eleanor melihatnya diantara orang-orang mulia yang rajin mendonasikan kekayaannya untuk menyelamatkan satwa sekaligus harga diri mereka. Laki-laki itu terlihat tidak nyaman tetapi garis rahangnya yang kaku itu tetap dipaksakan untuk tersenyum ramah. Tidakkah dia terlihat seperti kucing yang tersesat. Sosok Jonathan bahkan tidak bisa melebur diantara mereka. Dia terlalu menonjol. Begitu juga dengan sikapnya yang kentara dengan masalah yang dialaminya.Dari balkon VVIP, Eleanor terus mengamati sosok Jonathan hingga tanpa sadar rahangnya mengeras. Dia tidak suka dengan apa yang dilakukan Jonathan di tempat itu. Jonathan terlalu berharga untuk jatuh dalam kubangan orang-orang munafik yang datang
Jonathan hanyalah orang biasa. Lahir dari keluarga biasa, tumbuh dewasa dengan lingkungan yang biasa, mempunyai keluarga, pacar, sahabat, kerabat dan tetangga-tetangga yang juga berasal dari kalangan orang biasa. Sekalipun dia pernah bertemu orang-orang terkenal dan berpengaruh, menempuh pendidikan di sekolah bergensi atau memacari seorang model sekaligus aktris. Namun Jonathan tetap menganggap hidupnya biasa-biasa saja, sama seperti kebanyakan orang. Bahkan jika kelak dia sukses dalam bisnisnya, dia tetap ingin hidup biasa-biasa saja.Pertemuaannya kembali dengan Aryan Baskoro−sahabatnya di SMA− sekitar tiga tahun lalu merupakan jembatan emas yang menghubungkan mereka dengan cita-cita lama mereka untuk mendirikan sebuah perusahaan. Kebetulan saat itu Ryan sedang berkerja di Mc Kinsey, perusahaan yang terkenal memiliki standart kualifikasi pegawai sangat tinggi dan mengeluh dengan tekanan dan tuntutan perkerjaannya. Sementara Jonathan bergabung dengan perusahaan t
Waktu itu Eleanor berusia sembilan tahun ketika ibunya mengajak Eleanor berbelanja di Orion Plaza. Bisnis keluarganya saat itu memang masih berbasis di Jakarta, begitupula dengan tempat tinggal mereka. Namun krisis ekonomi yang terjadi kala itu menyebabkan masalah yang besar pada beberapa bisnis kakeknya. Sehingga untuk sementara waktu Eleanor pun kembali tinggal dengan kedua orang tuanya (keputusan kala itu yang kemudian berefek besar dalam kehidupan Eleanor). Sama seperti orang tua pada umumnya, Margaret senang mengajak anak perempuannya berbelanja. Tidak peduli kesulitan yang dialami keluarga besar suaminya kala itu. Dan Eleanor pun sama seperti anak pada umumnya, tidak memiliki prasangka apapun pada orang tuanya entah seburuk apapun keadaan saat itu.Namun menjelang siang tiba-tiba kerusuhan besar terjadi di tempat itu. Masa yang berteriak dengan suara memprovokasi dengan cepat menjarah dan membakar kios-kios di kawasan tersebut. Tak hanya kios, mereka pun juga membakar b