Share

Innovative

“Keluar dari jalur kuno dan menciptakan inovasi.”

Dalam sebuah keluarga besar pasti ada seorang pembangka di dalamnya. Atau si bungsu yang merasa terabaikan sehingga melakukan banyak tingkah untuk mendapatkan perhatian. Begitulah William Liemsudibyo. Lahir dengan IQ 150. Setidaknya cukup membuatnya mendapat julukan genius. Saat masih kecil William bercita-cita menjadi dokter, sehingga ayahnya langsung membuatkannya sebuah rumah sakit premium bernama Williemsiom. Namun di tahun terakhir dia kulia kedokteran di NUS, William justru mengundurkan diri. Lalu memutuskan untuk mengambil study robotika di Penysilvania. Tentu saja hal itu menjadi kontroversi besar di keluarganya.

Tidak berhenti disana, William bahkan nyaris mengitari separuh dunia untuk menguji kemampuannya sendiri. Setelah menyelesaikan study robotika-nya, William mengambil gelar lain dari universitas yang berbeda-beda, mulai dari Swiss Federal Institute of Technology Zurich jurusan teknik, Universitas Edinburgh jurusan science komputer sampai Tsinghua University Beijing jurusan managemen. Terakhir dia mengambil gelar MBA di Standford, tapi kemudian mengundurkan diri begitu saja untuk memulai bisnis di bidang teknologi.

Diantara tiga bersaudara di keluarganya hanya William yang sulit dikendalikan. Bukan hanya karena mulut pedasnya yang suka mengkritik cara hidup keluarganya sendiri, melainkan juga karena dia yang paling berani menantang Liem Hok, ayahnya sendiri untuk memulai jalan hidupnya sendiri. Karena itu William pun tidak segan menolak saat Eleanor mengajaknya bertemu. Tidak ada yang sesantai dan seberani William dalam lingkaran itu. Tapi bukan Eleanor namanya kalau dia tidak memaksa. Alasan William adalah karena dia mempunyai kesibukan selama berada di Surabaya, sehingga tidak bisa mampir ke HS Group walaupun sebentar.

Namun Eleanor tahu bahwa sepupunya itu hanya beralibi. Sebab selain genius, sepupunya itu juga terkenal dengan kemalasannya. Biarpun dia telah mengangkat dirinya sendiri sebagai CEO perusahan konsultan IT, tapi setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain Gim dan bersenang-senang dengan beberapa wanita. Dalilnya hidup hanya sekali jadi harus dia nikmati. Sementara managemen perusahaannya sendiri dikendalikan dengan sistem autopilot, atau dengan kata lain diserahkan sepenuhnya pada bawahannya. Sungguh Eleanor tidak pernah bisa tahan dengan jalan hidup sepupunya itu, tidak ada yang bisa dibanggakan dari hidupnya sekalipun dia cukup potensial. Bahkan untuk bisnis yang sedang dijalankannya−yang katanya dibangun dengan mandiri tapi tetap mengambil dana dari bank HS Group−pada akhirnya tidak memiliki kemajuan sedikitpun.

Tanpa pemberitahuan, Eleanor tahu-tahu sudah muncul di kantor cabang milik William yang berada di Surabaya (Sementara kantor pusatnya berada di ibukota). Sekretaris William yang melihat kedatangan Eleanor pun tidak mampu berbuat banyak, ataupun mencega wanita itu untuk masuk ke ruangan William. Bahkan Eleanor mengintruksikannya untuk tidak memberitahu William tentang kedatangannya. Rumor tentang Eleanor yang bertangan dingin telah menyebar luar di kalangan pebisnis, juga para seketaris mereka. Sehingga seketaris William pun tampak lebih tunduk pada Eleanor dibanding atasannya sendiri.

William sedang berada di meja kerjanya saat Eleanor menerobos masuk. Tapi laki-laki bertubuh tambun itu justru tidak menyadarinya karena terlalu asik bermain Gim di beberapa komputer yang ada di ruangannya. Bahkan sesekali laki-laki itu mengumpat dan berteriak dengan hebohnya karena gim yang sedang dimainkanya. Dunia ini memang terkadang tidak adil, ada seseorang yang diberkahi otak cemerlang dan uang berlimpah tapi lebih memilih menyia-nyiakanya dengan tidak memiliki tujuan hidup. Lalu disisi lain ada seseorang yang tidak mempunyai keduanya, sehingga harus berkerja keras untuk mencapai tujuan hidupnya.

“Ekhm…” Eleanor pura-pura berdehem. Tapi William tetap tak mendengarnya. Melihat bagaimana keadaan tempat itu membuat Eleanor memijat keningnya. Dia sudah cukup bersabar dengan suasana di kantor William yang menurutnya terlalu bebas. Semua pegawai di tempat itu memakai pakaian casual dan berkerja tanpa SOP. Ditambah lagi ruangan pribadi William yang menurutnya lebih seperti kamar pribadi. Ada kursi relaksasi, tempat tidur, beberapa unit komputer serta beberapa koleksi action figure. Sangat tidak professional.

“Jadi ini yang kamu bilang sibuk?” ucap Eleanor akhirnya. Dia tidak tahan menunggu sampai William menyadari kehadirannya.

William hampir melompat dari kursinya dengan kemunculan Eleanor. Bibir laki-laki itu pun mengumpat tanpa sengaja. “Astaga… ibu Liem yang terhormat! Kapan anda datang? Seperti hantu saja!” cibir Will yang masih memegangi dadanya. Dia dan Rere adalah aliansi yang sepakat memanggil Eleanor dengan embel-embel “Yang terhormat” hanya untuk mencibir kepemimpinan Eleanor yang terkesan ditaktor.

Eleanor masih berdiri. Tidak melepaskan tatapannya dari William. Jika bukan karena bisnis William yang juga bergerak di bidang teknologi, Eleanor tidak mau repot-repot bertemu sepupunya yang pemalas itu. “Baik-baiklah! Aku minta maaf karena menolak bertemu. Tapi aku punya alasan. Jadi bagaimana kalau kita membicarakannya dengan baik-baik sambil minum tea?”

Akhirnya Will mengakui kekalahannya. Dia segera berdiri dan menggandeng Eleanor menuju sofa. “Kamu pikir aku datang untuk pesta minum tea?” cibir Eleanor.

Tapi Will hanya menanggapi dengan tersenyum manis yang dibuat-buat. Dia sudah paham bagaimana tabiat Eleanor yang pemarah. Jadi dia tidak ingin mengambil resiko dengan membuat Eleanor berubah menjadi monster yang lebih mengerikan.

“Hanya untuk menenangkan saraf dan membuatmu rileks!” bujuknya. Lalu memanggil sekretarisnya dari line telepon untuk membuat tea. Eleanor pun memutar bola matanya. Dia duduk bersandar sambil menyilangkan kakinya. Sementara tatapan matanya menghunus William.

Setelah selesai berbicara dengan sekretarisnya, William pun mengambil tempat duduk di sofa seberang. Dia berusaha terus tersenyum untuk meredam amarah Eleanor. Tak sampai satu menit, pintu ruangannya pun terbuka. Menampilkan sekretaris seksi Will yang membawa secangkir tea dari mug berbentuk bola. William tentu saja ingin mengerjai Eleanor dengan model mug itu. Dia membayangkan seorang yang arogan seperti Eleanor minum dengan mug yang lucu tersebut. Itu mungkin kejadian yang paling langka di dunia.

“Nah… silahkan diminum dulu! Tea hijau kesukaanmu.” Bujuk Will.

Tapi Eleanor tetap menatapnya tajam. “Kamu bercanda?” tukasnya.

“Tidak. Kapan aku bercanda? Aku justru sedang menawarimu minuman.”

“Kamu bermaksud meracuniku bukan?”

William sungguh ingin mengumpat keras kali ini. “Ya, Tuhan. Astaga, Eleanor!” pekiknya.

“Terima kasih, tapi aku tidak akan meminumnya.” Sahut Eleanor. William pun harus rela menghapus hayalan tentang Eleanor yang minum dari mug berbentuk bola.

“Lalu dimana Resti? Apa dia tidak datang bersamamu?” William memajukan badannya dan sedikit berbisik. Sejak remaja William mempunyai ketertarikan pribadi dengan wanita yang lebih tua. Khususnya dengan Rere atau Resti Anggika, sekretaris pribadi Eleanor. Dan hal itu berlanjut hingga sekarang.

“Kenapa kamu menanyakan Rere? Jelas-jelas aku yang ada di depanmu.” cibir Eleanor. Will hanya menghembuskan nafas, lalu tersenyum lagi. Harusnya dia memang meletakkan racun di tea itu agar mulut Eleanor tidak berbicara dengan tajam lagi.

“Aku hanya bertanya. Karena tumben kamu datang tidak bersama sekretaris?” William menengahi. Berada satu ruangan dengan Eleanor membuatnya aura di kantornya menjadi suram dan mengerikan. Karena itu dia harus meletakkan sesaji atau bawang putih setelah ini agar Eleanor tidak datang lagi ke kantornya.

“Memangnya kamu orang penting itu sehingga aku harus membawa sekretaris untuk bertemu denganmu?” Gaya Eleanor tidak pernah berubah. Tipe orang yang sangat sering merendahkan bahkan memandang orang lain seperti rumput liar.

“Tentu saja kamu seharusnya membawa sekretaris! Aku ini seorang CEO perusahaan konsultan IT sekarang.” Protes William sambil membusungkan dada. Lalu tidak lupa dia meniru gaya arogan Eleanor dengan melipat kedua kakinya membentuk dan menyandarkan punggung.

“Perusahaan konsultan IT yang tidak pernah berkembang sedikitpun ini maksudmu? Orang bahkan harus berpikir dua kali untuk memakai jasa di perusahaanmu.”      

William menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Walaupun terdengar menghina, tapi William tidak menampik jika perusahaannya memang tidak memiliki kemajuan. Sekalipun dari tahun ke tahun perusahaan konsultan IT diminati beberapa perusahaan besar. Tapi perusahaan William masih belum menduduki puncak seperti HS Group. Bahkan tahun ini mereka kehilangan banyak klien karena masalah tertentu. Dan sepertinya tidak ada yang tidak bisa diketahui Eleanor di dunia bisnis. Termasuk kebobrokan perusahaan William.

“Baiklah… To The Point saja! Apa yang anda inginkan, ibu Liem yang terhormat?”

Eleanor masih duduk menyilang, begitu pula dengan William. “Aku ingin menawarimu kesepakatan.” Ujar Eleanor.

“Tidak ada hujan, tidak ada petir, kamu justru datang membawa kesepakatan? Wow… fantastic.” balas William.

Tidak ada balasan dari Eleanor. Karena perempuan itu justru mengeluarkan sebuah map dari dalam tas-nya sebelum kemudian melemparkannya ke meja sofa. William sigap meraih map itu dan membaca dokumen di dalamnya. Dia pun membulatkan mata. 

“Aku akan membantu keuangan perusahaanmu. Seperti yang kamu lihat, itu jumlah yang besar yang tidak akan kamu dapatkan dari pinjaman di bank manapun.”

“Tapi mana mungkin aku bisa menerima bantuan dari sepupuku yang baik hati ini secara cuma-cuma? Pasti ada syaratnya bukan?”

“Tentu saja. Aku kan sudah bilang bahwa ini sebuah kesepakatan. Jadi harus ada keuntungan untuk kedua belah pihak. Tapi jangan khawatir, aku tidak meminta hal yang besar padamu sebagai imbalan. Aku hanya ingin data penting yang berhubungan dengan perusahaan startup Bimasakti. Bukankah perusahaan rintisan itu termasuk klienmu?”

“Data perusahaan?” William terkejut atau mungkin itu hanya dibuat-buatnya. “Tidak-tidak! Kamu ingin aku membocorkan data klienku padamu?”

“Kenapa enggak? Aku kan sepupumu, keponakan ayahmu.” balas Eleanor lagi. Kali ini dia benar-benar membuat William pusing tujuh keliling.

Bukan sebuah rahasia jika bisnis yang dijalankan keluarga Liemsudibyo terkadang bersifat kotor dan menghalalkan segala cara. Baik itu untuk Eleanor, Liem Hok Seeng (ayah Will sendiri) maupun Roger Liemsudibyo (kakak tertua Will yang sekarang duduk di parlemen). Itu membuat bisnis mereka berkembang pesat sejak era reformasi berjalan. Dan cara berbisnis mereka itulah yang tidak William sukai. Sehingga dia memutuskan untuk menemukan jalan hidupnya sendiri. Melakukan segala hal untuk mendapatkan target dan menyingkirkan siapapun yang menghalangi adalah hal biasa. Tapi William tidak percaya kalau target operasi penghancuran Eleanor kali ini adalah perusahaan kecil milik kliennya.

“Maaf Bu Liemsudibyo, tapi aku bukan Liem Hok Seeng, si paman kesayanganmu itu. Jadi aku tidak akan membantumu melakukan bisnis kotor. Lagipula untuk apa kamu menargetkan perusahaan startup? Apa bersaing dengan perusahaan kecil seperti itu membuat bisnis kalian kerepotan sehingga kalian memakai cara kotor lagi?” Cibir Will.

Sepertinya William sudah salah paham dengan tujuan Eleanor. Sehingga wanita di hadapannya itu pun memutar bola mata. Tapi Eleanor sendiri tidak berniat menjelaskan tujuan utamanya. Biarlah sepupunya itu berpikir demikian.

 “Dasar naif!”

“Dalam dunia bisnis, hal yang kotor itu sah-sah saja, Will! Jika kamu ingin mendapatkan kesuksesan, kamu harus membiarkan tanganmu kotor sesekali. Kamu pikir ada orang di dunia ini yang bisa sukses dengan tangan bersih? Tidak ada. Karena sekalipun ada, mereka hanya rajin mencuci tangannya dengan beramal dan mencari muka di hadapan publik.”

William seperti mendapat kotbah siaran ulang. Sebab kata-kata seperti itu juga pernah diucapkan oleh ayahnya, bahkan sama persis. Diantara dia, kakaknya; Roger Antonio Liemsudibyo yang sekarang berpolitik dan menjadi anggota parlemen, lalu kakak perempuannya; Anastasia Liemsudibyo yang memilih hidup bebas di Amerika, tidak ada yang mirip dan berkelakuan seperti ayah mereka. Hanya Eleanor, sepupunya yang lebih mirip ayahnya dibanding semua anak kandungnya. Tapi William merasa bersyukur dengan fakta itu. Mungkin diantara keluarga besarnya hanya dialah yang paling normal, paling berakal sehat dan tidak banyak dosa.

 “Itu kan bisnis kalian! Bisnisku bergerak di bidang terknologi jadi berbeda. Kami lebih mengedepankan persaingan inovasi dibandingkan persaingan kotor seperti itu.” Will masih bisa menyombongkan diri karena merasa lebih menguasai bidang itu dibanding Eleanor.

“Lalu mana inovasi yang kamu maksud?” cibir Eleanor lagi dan lagi. Sampai kapanpun Will menyadari, dia tidak akan menang melawan Eleanor.

“Perusahaanmu bahkan tidak menghasilkan keuntungan sedikitpun dan justru defisit selama bertahun-tahun. Aku dan paman bukan tidak peduli, justru kami sangat prihatin dengan keadaanmu sehingga kami terus memantau perkembangan perusahaanmu. Jadi inovasi apa yang bisa kamu sembunyikan?”

“Shit!” Will mengumpat dalam hati tapi tidak mampu berkata sedikitpun. Dia merasa terpojok karena Eleanor yang ternyata mengetahui segala hal tentang perusahaannya. Mungkin setelah ini dia harus lebih waspada karena ada mata-mata Eleanor di perusahaannya.

“Jadi kamu bisa mengetahui rahasia perusahaanku dengan mudah? Tapi kenapa rahasia perusahaan startup sekelas Bimasakti tidak bisa kamu dapatkan sendiri?”

Eleanor mengeraskan rahangnya. Willima keras kepala seperti pamannya. Hanya saja sepupunya itu tidak sadar jika ada sifat yang diturunkan sang ayahpada dirinya.

 “Begini saja!” Eleanor mencoba meringkas waktu. “Aku tidak akan memaksamu membocorkan data klien perusahaanmu tapi sebagai gantinya rekomendasikan seorang ahli IT terbaik yang bisa berkerja denganku sebagai Hacker!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status