Aku terdiam cukup lama setelah menerima kecupan itu. Sangat lama sampai aku tidak sadar Paman mulai menjamah bagian tubuhku yang lain. Astaga! Apa yang sudah terjadi? Mengapa aku tidak bisa menggerakan tubuhku dan pasrah menerima belaiannya?
“P-paman ….”
“Ada apa? Hmm?” balas Paman yang masih sibuk mencium aroma tubuhku.
Sungguh, aku begitu bingung sekarang dan mencoba untuk menjauhkan tubuh Paman dariku. Tapi, itu begitu sulit, serasa tak memiliki tenaga sama sekali. Lalu, aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikmatinya, bukan? Pasti aku sudah gila bila menerimanya.
“P-paman, lepaskan ….”
Aku berusaha melepaskan tangannya yang hampir menyentuh dadaku, untung saja berhasil tapi langsung berubah ke pahaku. Owh … ini benar-benar gila. Aku tidak kuat jika terus ia sentuh. Tapi, bagaimana aku bisa kabur? Disaat ia men
"Apa yang kau baca?” celetuk Nicky dan membuatku langsung menyembunyikan surat itu ke tas.Untung, ia belum sempat membaca dan aku hanya perlu mengatakan hal lain agar ia tak curiga.“I-ini surat Ibuku. Aku tak sengaja membawanya,” ucapku berbohong.“Oh, begitu?”“Emm … ya.”“Kalau gitu, apa aku boleh membacanya?”Hah? Dia mau membacanya? Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya. Aku harus mencari alasan lain dan menyuruhnya untuk pergi. Bisa gawat jika ia tahu ini surat dari Tommy.“Emm … aku malu,” jawabku.“Kenapa? Apa suratnya aneh?”“I-iya.”Astaga! Aku tidak tahu apa yang kukatakan? Padahal aku bisa mengatakan hal lain, tapi kenapa aku tidak mengucapkannya? Ah gila!
"Kau datang,” ucapnya dengan suara serak.“Ya,” jawabku pelan.Wajahnya yang setengah mabuk membuatku sedikit gugup. Apa yang akan terjadi setelahnya?“…” Ia berbicara sesuatu, tapi aku tak mendengarnya.“Musiknya terlalu kencang, aku tak bisa mendengarmu,” bisikku ditelinganya.Mataku lalu menjelajahi sekitar. Melihat banyaknya orang mabuk yang memenuhi tempat itu.“Apa tempat seperti ini yang ia suka?” lirihku pelan sambil menatap pria dihadapanku kembali.“Aku tak bisa mengulangi perkataanku tadi. Tapi aku bisa menunjukannya untukmu.”Aku tak mengerti maksudnya, namun aku hanya tersenyum membalasnya.Setidaknya aku tidak membuat masalah dengannya.“Ini akan jadi malam yang Panjang, apa kau siap?”
"Aku tak pernah membencinya. Tapi, aku hanya tak menyukainya.”**“Semoga harimu menyenangkan,” ucap pria tua itu dengan senyum tipis dari dalam mobil. Aku pun membalasnya dengan senyuman sebelum masuk ke halaman sekolah.“Tam!” Sebuah panggilan membuatku menoleh kebelakang dan ternyata itu adalah sahabatku.Ia memberikan senyuman ceria dihari pertamanya sekolah. Berbeda denganku yang sama sekali tak memberi ekspresi Bahagia. Karena aku sedang kesal.“Apa ada yang membuatmu begitu senang selain hari pertama di sekolah ini?” tanyaku to the point.“Apa kau mau tau?” Gadis berambut pirang ini malah menggodaku balik. Pasti ada berita menarik yang ia bawa.“Tentu saja,” balasku sambil melangkah menuju kelas.“Emm … Tommy menyatakan perasaa
"Jika aku tidak ada dalam hidupnya. Apakah ia akan lebih Bahagia?”**Aku baru selesai membersihkan sepatuku dan untung saja sepatu ini berwarna hitam. Jadi, tidak terlalu kelihatan jika basah.“Masih sedikit bau. Apa tidak papa?” tanya Sandra yang berdiri disebelahku dengan tangan membawa tisu basah.“Ya.” Aku tidak mempermasalahkan bau itu. Setidaknya sepatu ini cepat kering sebelum aku pulang.Sandra yang mendengar perkataanku mengangguk singkat, lalu menyodorkan air mineral yang ia beli tadi.“Makasih.”Setelah meminumnya, aku segera mengajak Sandra ke kelas. Namun Sandra menolak dan melepaskan gandenganku.“Ada apa?”“Emm … aku akan pergi mengunjungi Tommy. Kau bisa duluan.”“Kau ya
"Ketika orang menceritakan betapa hebatnya ‘ia’ , aku mungkin akan bercerita betapa menyebalkannya ‘ia’ dan aku sama sekali tak takut jika ia marah nantinya.”**Gelang tangan berhiaskan Mutiara itu benar-benar menarik perhatianku sedari tadi. Gelang itu bergerak kesana kemari bersamaan dengan tuts yang harus ditekan oleh Wanita disampingku.Aku sangat terpesona dan menginginkannya.“Tam, apa kau memperhatikanku dengan baik?” tanya Wanita yang biasa kupanggil Guru itu.Ia membuyarkan lamunanku dalam sesaat dan secepat itu aku juga menjawab pertanyaannya dengan anggukan singkat.“Kalau begitu bagus, kau bisa mencobanya sekarang!”“Apa harus sekarang? Tidak bisakah hari ini aku libur saja? Lagi pula, kemarin Ibu sudah menyuruhku memainkan banyak lagu bersamaan. Tanganku masih sakit,” keluh
"Dia berharap aku menghargainya, namun ia sendiri tak pernah menghargaiku.”**Aku mengikuti Langkah Nicky bagaikan anak ayam, dan Nicky sebagai induknya. Dan aku sungguh tak tahu, kemana ia akan membawaku pergi?Kuharap ia bukanlah pria aneh-aneh.“Apa kau pernah membolos?” tanya Nicky kepadaku.Aku pun menggeleng cepat sambil tetap fokus melihat kedepan. Lalu, tiba-tiba tangannya yang besar menggandeng tanganku yang kecil. Aku reflek menatapnya.“K-kenapa menggandeng tanganku?” tanyaku yang terkejut.Bukannya menjawab, ia malah tersenyum simpul padaku. Dan aku sama sekali tak mengerti artinya. Apa ia sengaja melakukan ini?“Ayo kita bolos!” ajak Nicky dengan wajah santai dan ia benar-benar berhasil membuatku membisu seketika.“Kenapa? Kau tak mau?”
"Aku berpikir, bagaimana jika aku bertukar peran dengannya? Pasti akan sangat menyenangkan.”**Ceklek!Pintu kamar yang ingin kubuka pelan itu masih saja menimbulkan suara yang keras. Padahal, aku berniat supaya Ibu tidak terbangun, tapi begitulah.Ceklek!Aku spontan melihat ke kamar sebelah, dimana Ibu sudah berdiri dengan menggunakan piyama berwarna pink muda bermotif bunga Sakura. Ia begitu segar seakan dia barusan selesai mandi.“Good morning!” sapa Ibu yang langsung kubalas senyum tipis dan anggukan kecil.Sebenarnya aku sedikit penasaran, apakah pria semalam sudah pulang? Tapi, Ibu biasanya tidak langsung mengusir pria yang dibawa sebelum sarapan.Apa hari ini juga akan sama?“Ahhh … hari ini Ibu tidak akan sarapan dan langsung ke kantor. Apa kau bisa membuat sarapanmu sen
"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”**“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.“Benarkah?”Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu