"Jika aku tidak ada dalam hidupnya. Apakah ia akan lebih Bahagia?”
**
Aku baru selesai membersihkan sepatuku dan untung saja sepatu ini berwarna hitam. Jadi, tidak terlalu kelihatan jika basah.
“Masih sedikit bau. Apa tidak papa?” tanya Sandra yang berdiri disebelahku dengan tangan membawa tisu basah.
“Ya.” Aku tidak mempermasalahkan bau itu. Setidaknya sepatu ini cepat kering sebelum aku pulang.
Sandra yang mendengar perkataanku mengangguk singkat, lalu menyodorkan air mineral yang ia beli tadi.
“Makasih.”
Setelah meminumnya, aku segera mengajak Sandra ke kelas. Namun Sandra menolak dan melepaskan gandenganku.
“Ada apa?”
“Emm … aku akan pergi mengunjungi Tommy. Kau bisa duluan.”
“Kau yakin? Aku takut kau tidak bisa memanggilnya sendiri. Apa perlu kubantu?” tawarku, namun ia langsung menggeleng.
Kurasa ia masih kesal padaku. Padahal aku tak berniat buruk. Atau mungkin ia yang terlalu berburuk sangka?
“Baiklah, aku akan Kembali ke kelas. Jaga dirimu baik-baik!” pungkasku dengan senyuman dan ia sama sekali tak membalasnya.
Sejujurnya aku penasaran, apakah kekasihnya itu masih mengingat ciuman pertamanya denganku? Atau tidak? Jika ia lupa, ah sayang sekali. Padahal ciuman dibawah hujan saat itu benar-benar romantis.
“Apa ia akan mengulangnya dengan Sandra?”
**
Aku memandang keluar jendela, menatapi awan dan burung-burung yang terbang bebas dilangit. Ramalan cuaca mengatakan bahwa hari ini hujan, tapi sepertinya itu tidak benar. Karena semua terlihat baik-baik saja.
“Awan yang cerah pun bisa menjadi pertanda hujan akan turun,” ucap suara itu seakan membaca pikiranku.
Aku pun menoleh ke asal suara itu dan ternyata suara tadi adalah milik seorang pria yang duduk disebelahku.
“Hai,” sapanya lembut padaku.
“Ah, hai,” balasku canggung.
Bukankah pria ini yang melihatku tadi di kantin? Mengapa dia bisa duduk dibangku Sandra? Dan bagaimana dia tahu kelasku?
“Kau sepertinya memiliki banyak pertanyaan dikepalamu.”
“Hah?”
“Namaku Nicky Oliver. Kalau kamu?” tanyanya dengan senyum manis.
“Tamara.”
“Hanya Tamara?”
“Ya.”
Aku sengaja menjawabnya dengan singkat, agar ia segera Kembali ke kelasnya. Tapi tak kusangka, ia malah terus mengamatiku.
“Sebentar lagi bel, kenapa kau tidak Kembali ke kelasmu?” tanyaku tanpa menatap Nicky.
“Aku akan segera Kembali. Tapi aku harus menemui adik sepupuku dulu. Dia ada di kelas ini.”
Ah, dia mencari adik sepupunya. Berarti pertemuan kali ini hanyalah kebetulan.
“Apa kau bawa payung?”
“Tidak.”
“Hei, nanti akan turun hujan. Kenapa tidak membawanya?”
Aku langsung menatapnya kesal. Aku tidak tahu, bagaimana bisa ucapannya mengingatkanku pada seseorang dan sekarang aku benar-benar muak.
“Berhentilah berbicara! Apa kau paham?!” bentakku kepadanya.
Dan aku bisa melihat bahwa wajahnya begitu terkejut. Namun, apa sekarang ia sedang tersenyum miring padaku?
“ … “ Tunggu, suaranya terlalu kecil. Aku tak bisa mendengarnya jelas.
“Nick?!” panggil Alexi yang baru datang dengan teman-temannya.
Aku pun menoleh sejenak sebelum akhirnya melihat Nicky berdiri dari bangku Sandra dan menghampiri Alexi.
Apa Alexi yang ia maksud sebagai adik sepupu?
“Hei, gadis cantik! Sampai jumpa!” ucap Nicky yang dari jauh menyapaku dengan lambaian tangan dan aku yang ada dibangku hanya bisa menutupi wajahku seolah tak mengenalnya.
Sebenarnya apa yang ia mau? Kita bahkan baru mengenal. Dan aku sama sekali tak tertarik oleh tampangnya, meski ia memang tampan. Tapi, ia bukan tipeku.
Ah, menganggu pikiran saja.
**
“Apa kau tidak membawa payung?” tanya Sandra sambil menatap langit yang begitu gelap.
“Tidak,” jawabku pelan.
Seharusnya aku membawanya, tapi … ah sudahlah, apa gunanya aku mengeluh terus. Jika aku berlari untuk sampai ke rumah, pasti tidak akan basah kuyup.
“Kalau begitu, pakai punyaku saja. Aku akan meminta pembantuku membawa payung lain nanti.”
“Gak perlu. Lagi pula rumahku gak jauh dari sini.”
“Tapi tetep aja, Tam–“ Aku langsung menempelkan jariku ke bibirnya, menyuruh ia berhenti bicara.
“Kenapa mengakhawatirkan orang lain, jika itu merepotkanmu?”
Sandra pun diam dengan menatapku setengah sedih. Namun aku tak mempedulikannya dan segera mengambil tasku.
“Mau pulang, gak?” ajakku.
“Mau.”
Sandra lalu pulang lebih dulu karena supirnya sudah datang. Sedangkan aku masih berdiam diri di sekolah yang semakin sepi itu.
“Pakai payung ini!” suruh suara itu sambil memberikan payung berwarna merah kepadaku.
Aku pun mendongak menatap si pemilik payung itu dan siapa sangka, itu adalah Tommy. Pria berambut hitam pekat dengan bola mata berwarna kecoklatan. Pria yang pernah mengisi hari-hariku.
“Kenapa kau memberikannya padaku? Kau sendiri kan memerlukannya,” balasku.
Namun, dengan cepat ia memberikan payung itu ke genggaman tanganku. Aku pun meliriknya sebentar, sebelum ia pergi menerobos hujan yang masih turun deras kala itu.
“Bilang saja kau tak ingin diriku sakit. Apa susahnya?” gumamku dengan senyum tipis sambil menatap payung merah ditanganku.
Jika aku bisa berkata jujur, aku menyesal telah menyakiti perasaannya dulu. Seandainya, semua baik-baik saja. Akankah kau tetap ada disisiku?
**
“Aku pulang!” teriakku bergema di dalam rumah.
Aku lalu melempar tasku ke sofa dan merebahkan diri di sofa lainnya. Ah, penatnya hari ini. Aku hanya ingin segera mandi dan tidur. Tapi, aku masih memiliki jadwal les piano dan matematika.
Lalu, kapan aku bisa beristirahat?
“Kau baru pulang?” tanya suara itu membuatku terbangun dari sofa.
“Ah iya, Mom. Mom sendiri juga baru pulang?” tanyaku balik pada wanita yang sedang memakai kaos dan celana legging itu.
Wajahnya yang selalu terlihat serius dan dingin seolah-olah memberitahuku untuk tidak pernah bermain-main dengannya. Aku tidak tahu, apa ia sedang kesal dengan pertanyaanku? Atau ia memang sedang Lelah?
“Harisson bilang kau pulang jam 2, tapi kenapa malah jam 3 kau sampai ke rumah? Bukankah sekolahmu dan rumah ini tidak jauh jaraknya? Kau mau memberi alasan apalagi hari ini?”
Semua pertanyaan itu membuatku terdiam. Tak mengerti jawaban apa yang harus kuberikan. Dan untuk apa memberikan, jika ia saja tak pernah menghiraukan.
“Tadi sedang hujan. Jadi aku menunggu sebentar sampai hujan reda,” jawabku dengan bola mata yang menatap ke lantai.
“Alasan. Kau kan melihat ramalan hujan kemarin. Jadi kenapa tidak membawa payung?”
Ingin rasanya saat itu aku membekap mulutnya. Memberitahu dirinya, seberapa kesalnya diriku. Padahal sudah jelas-jelas, payungnya ia bawa dan tidak ada lagi payung cadangan. Aku bahkan sudah memberitahunya, tapi ia bilang akan segera membelinya. Apakah ia memang pelupa?
“Mom, bukankah payungnya – “
“Masuk ke kamarmu sekarang! Dan bersiap-siap ke tempat les!”
Aku diam dan menurutinya, dan begitulah kehidupanku. Selalu tunduk terhadap semua perkataannya.
Terkadang aku bertanya-tanya, apakah ia benar-benar Ibu kandungku? Atau bukan?
“Bertanya dalam hati selalu tak mendapat jawaban. Namun bertanya secara langsung berakhir dengan pertengkaran. Sebenarnya, bagaimana kehidupan ini berjalan?”
"Ketika orang menceritakan betapa hebatnya ‘ia’ , aku mungkin akan bercerita betapa menyebalkannya ‘ia’ dan aku sama sekali tak takut jika ia marah nantinya.”**Gelang tangan berhiaskan Mutiara itu benar-benar menarik perhatianku sedari tadi. Gelang itu bergerak kesana kemari bersamaan dengan tuts yang harus ditekan oleh Wanita disampingku.Aku sangat terpesona dan menginginkannya.“Tam, apa kau memperhatikanku dengan baik?” tanya Wanita yang biasa kupanggil Guru itu.Ia membuyarkan lamunanku dalam sesaat dan secepat itu aku juga menjawab pertanyaannya dengan anggukan singkat.“Kalau begitu bagus, kau bisa mencobanya sekarang!”“Apa harus sekarang? Tidak bisakah hari ini aku libur saja? Lagi pula, kemarin Ibu sudah menyuruhku memainkan banyak lagu bersamaan. Tanganku masih sakit,” keluh
"Dia berharap aku menghargainya, namun ia sendiri tak pernah menghargaiku.”**Aku mengikuti Langkah Nicky bagaikan anak ayam, dan Nicky sebagai induknya. Dan aku sungguh tak tahu, kemana ia akan membawaku pergi?Kuharap ia bukanlah pria aneh-aneh.“Apa kau pernah membolos?” tanya Nicky kepadaku.Aku pun menggeleng cepat sambil tetap fokus melihat kedepan. Lalu, tiba-tiba tangannya yang besar menggandeng tanganku yang kecil. Aku reflek menatapnya.“K-kenapa menggandeng tanganku?” tanyaku yang terkejut.Bukannya menjawab, ia malah tersenyum simpul padaku. Dan aku sama sekali tak mengerti artinya. Apa ia sengaja melakukan ini?“Ayo kita bolos!” ajak Nicky dengan wajah santai dan ia benar-benar berhasil membuatku membisu seketika.“Kenapa? Kau tak mau?”
"Aku berpikir, bagaimana jika aku bertukar peran dengannya? Pasti akan sangat menyenangkan.”**Ceklek!Pintu kamar yang ingin kubuka pelan itu masih saja menimbulkan suara yang keras. Padahal, aku berniat supaya Ibu tidak terbangun, tapi begitulah.Ceklek!Aku spontan melihat ke kamar sebelah, dimana Ibu sudah berdiri dengan menggunakan piyama berwarna pink muda bermotif bunga Sakura. Ia begitu segar seakan dia barusan selesai mandi.“Good morning!” sapa Ibu yang langsung kubalas senyum tipis dan anggukan kecil.Sebenarnya aku sedikit penasaran, apakah pria semalam sudah pulang? Tapi, Ibu biasanya tidak langsung mengusir pria yang dibawa sebelum sarapan.Apa hari ini juga akan sama?“Ahhh … hari ini Ibu tidak akan sarapan dan langsung ke kantor. Apa kau bisa membuat sarapanmu sen
"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”**“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.“Benarkah?”Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu
"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”**“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. J
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,