Share

Chapter 3 - Berbohong

"Ketika orang menceritakan betapa hebatnya ‘ia’ , aku mungkin akan bercerita betapa menyebalkannya ‘ia’ dan aku sama sekali tak takut jika ia marah nantinya.”

**

Gelang tangan berhiaskan Mutiara itu benar-benar menarik perhatianku sedari tadi. Gelang itu bergerak kesana kemari bersamaan dengan tuts yang harus ditekan oleh Wanita disampingku.

Aku sangat terpesona dan menginginkannya.

“Tam, apa kau memperhatikanku dengan baik?” tanya Wanita yang biasa kupanggil Guru itu.

Ia membuyarkan lamunanku dalam sesaat dan secepat itu aku juga menjawab pertanyaannya dengan anggukan singkat.

“Kalau begitu bagus, kau bisa mencobanya sekarang!”

“Apa harus sekarang? Tidak bisakah hari ini aku libur saja? Lagi pula, kemarin Ibu sudah menyuruhku memainkan banyak lagu bersamaan. Tanganku masih sakit,” keluhku meminta sedikit kelonggaran darinya.

Namun wajah yang awalnya tenang itu menjadi marah dan aku jelas paham alasannya.

Aku pun tak berani lagi mengangkat kepalaku.

“Dengar Tamara! jika kau tak bisa menguasai lima lagu dalam sebulan. Aku yang akan dimarahi oleh Ibumu!” Ia menegaskan Kembali perkataan itu berulang-ulang kali. 

“Aku akan melakukannya, jadi berhenti mengancamku,” pungkasku dengan helaan nafas berat.

Aku lalu memainkan alat musik Italia itu seperti yang ia inginkan. Namun aku tak pernah menikmatinya, karena bagiku, ini hanyalah perintah dan takkan kusukai seumur hidup.

**

Pagi yang cerah menyambut memberitahu bahwa hari baru sudah dimulai. Tapi, diriku yang letih masih tak ingin beranjak dari tempat tidur sama sekali. Andai satu hari saja aku bisa beristirahat dengan tenang, aku pasti akan sangat senang.

Tok … tok …

“Tamara!!! Apa alarm mu tidak berbunyi?! Kenapa masih di dalam kamar?! Ayo cepat bersiap ke sekolah!!!”

Lagi-lagi alarm dari Ibu. Aku sampai bosan mendengarkannya. Tapi aku tidak bisa menolak, karena ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari.

“Iya! Aku bangun!” sahutku dari dalam kamar.

Aku lalu cepat-cepat mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Kurang lebih 10 menit, aku sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan lengkap.

“Good morning!” sapaku kepada Paman Harisson dan Ibu. Mereka berdua sedang sarapan Bersama sambil menyeduh secangkir kopi.

Aku lalu bergabung dan duduk dibangku sebelah Ibu. Kulirik mereka masih asik berbincang-bincang. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kurasa itu menyenangkan.

“Tam, bagaimana sekolahmu? Apa kau sudah memiliki banyak teman? Lalu, bagaimana makanan disana? Apa enak?” Paman Harisson langsung menyerbuku dengan banyak pertanyaan setelah kehabisan topik Bersama Ibu.

Aku pun diam sejenak sebelum menjawab pertanyaannya dengan senyum lebar. Sejujurnya, aku senang dengan perhatian kecil darinya. Ia selalu bisa membuatku merasakan kasih sayang Ayah yang tak pernah kudapat. Andai saja ia memang Ayah kandungku. Betapa bahagianya diriku.

**

“Hei Tam!” sapa Alexi yang tak sengaja berpapasan denganku.

Ia tersenyum sumringah sambil merangkul lenganku begitu dekat. Aku pun hanya bisa pasrah menerima perlakuannya. Walau aku sangat tak nyaman karena ia masih orang asing bagiku.

“Sejak kapan kau dekat dengan saudara sepupuku?” 

Akhirnya aku mendengar pertanyaan itu. Sudah kuduga Alexi pasti akan penasaran. Tapi, haruskah ia langsung bertanya kepadaku?

“Emm … baru kemarin. Memangnya kenapa?” 

Kurasakan rangkulannya mulai melonggar seakan dia sedang memberi jarak kepadaku. Jika itu benar, apa ada sesuatu yang salah?

“Kau memang cantik. Pasti itu alasan Nicky menyukaimu,” balas Alexi dengan nada datar.

Aku tak paham sama sekali, apa dia sedang menyindirku? Atau ia sedang membongkar bahwa sepupunya itu menyukaiku? Yang jelas, aku ingin segera menjauh dari kedua orang ini.

“Oh ya, apa kau mau makan siang bersamaku dan Liza?” 

“Emm … hari ini aku lagi diet. Maaf,” jawabku berbohong.

“Pfftt … kau diet? Kedengarannya sangat aneh,” ejek Alexi yang setelah itu pergi duluan ke kelas.

Aku sama sekali tak berniat menyusulnya dan membiarkan ia menjauh dariku. Lagi pula, untuk apa mengejar gadis aneh yang mengejekku? Buang-buang waktu saja.

**

“Tam, mau ke kantin?” ajak Sandra yang sudah berdiri dari bangkunya.

Aku yang baru selesai mencatat tugas langsung menatapnya sebentar sebelum akan menganggukan kepala. Tapi, Alexi dan Liza tiba-tiba datang kearah meja kami.

“Tamara lagi diet, jadi gak mungkin ke kantin. Gimana kalau ikut kita aja?” tawar Alexi yang masih mengingat perkataanku tadi.

Sungguh, aku bisa tahu bahwa ia sengaja mempermainkanku. Meskipun memiliki wajah polos dibanding Liza, tapi Alexi adalah orang yang paling licik. 

“Kamu lagi diet, Tam?” tanya Sandra yang tak percaya. 

“E-e iya,” jawabku terpaksa.

Dari raut muka Sandra, aku mengetahui dia begitu bimbang dan ketakutan. Ia enggan menolak ajakan Alexi, tapi ia juga takut jika harus bergabung dengan mereka. Sayang sekali, aku tak bisa membantunya.

“Bagaimana? Kau mau ikut kami?” 

“Ya.”

Pada akhirnya Sandra tetaplah sama. Ia akan memilih jalan teraman. Lalu, bagaimana denganku, aku harus pergi kemana selain ke kantin?

Ah, sial. Aku menyesal sudah menjawab pertanyaan Alexi tadi.

**

Berjalan asal, menengadah ke langit, menunggu petang datang. Astaga, berapa lama lagi bel masuk berbunyi. Kenapa terasa sangat lama? Padahal aku sudah menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas. Lalu kemana Sandra? Kenapa belum balik?

“Sendirian aja?” 

Mendengar suara itu, aku berpaling kearah pintu. Dan pria yang tak asing itu langsung menyapaku dengan senyuman yang menampakkan kedua lesung pipi manisnya.

“Sepupumu tidak ada disini, dia ada di kantin,” jelasku kepada pria yang tak lain adalah Nicky.

“Aku sudah bertemu dengannya. Tapi, tujuanku kesini untuk menemuimu.”

“Oh … terdengar menggelikan,” balasku masam.

Dia lagi-lagi tersenyum, padahal ucapanku begitu kasar. Aneh sekali. Kuharap ia segera pergi.

“Apa kau bosan? Bagaimana jika kita bersenang-senang diluar?”

“Tidak mau. Itu akan lebih membosankan.”

“Kau belum mencobanya, kenapa sudah menyimpulkan seperti itu?”

Dia sangat memaksa sekali. Padahal kami baru kenal kemarin. Aku sangat tak suka sifatnya.

“Sekali lagi, ayo! Aku janji, kau akan sangat senang bersamaku.”

Aku pun diam memikirkan tawaran itu kembali. Entah karena aku yang bosan di kelas, atau aku yang kasihan terus menolaknya. Aku pun memutuskan untuk menerima ajakannya. 

“Baiklah baiklah. Hanya sebentar saja pokoknya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status