"Ketika orang menceritakan betapa hebatnya ‘ia’ , aku mungkin akan bercerita betapa menyebalkannya ‘ia’ dan aku sama sekali tak takut jika ia marah nantinya.”
**
Gelang tangan berhiaskan Mutiara itu benar-benar menarik perhatianku sedari tadi. Gelang itu bergerak kesana kemari bersamaan dengan tuts yang harus ditekan oleh Wanita disampingku.
Aku sangat terpesona dan menginginkannya.
“Tam, apa kau memperhatikanku dengan baik?” tanya Wanita yang biasa kupanggil Guru itu.
Ia membuyarkan lamunanku dalam sesaat dan secepat itu aku juga menjawab pertanyaannya dengan anggukan singkat.
“Kalau begitu bagus, kau bisa mencobanya sekarang!”
“Apa harus sekarang? Tidak bisakah hari ini aku libur saja? Lagi pula, kemarin Ibu sudah menyuruhku memainkan banyak lagu bersamaan. Tanganku masih sakit,” keluhku meminta sedikit kelonggaran darinya.
Namun wajah yang awalnya tenang itu menjadi marah dan aku jelas paham alasannya.
Aku pun tak berani lagi mengangkat kepalaku.
“Dengar Tamara! jika kau tak bisa menguasai lima lagu dalam sebulan. Aku yang akan dimarahi oleh Ibumu!” Ia menegaskan Kembali perkataan itu berulang-ulang kali.
“Aku akan melakukannya, jadi berhenti mengancamku,” pungkasku dengan helaan nafas berat.
Aku lalu memainkan alat musik Italia itu seperti yang ia inginkan. Namun aku tak pernah menikmatinya, karena bagiku, ini hanyalah perintah dan takkan kusukai seumur hidup.
**
Pagi yang cerah menyambut memberitahu bahwa hari baru sudah dimulai. Tapi, diriku yang letih masih tak ingin beranjak dari tempat tidur sama sekali. Andai satu hari saja aku bisa beristirahat dengan tenang, aku pasti akan sangat senang.
Tok … tok …
“Tamara!!! Apa alarm mu tidak berbunyi?! Kenapa masih di dalam kamar?! Ayo cepat bersiap ke sekolah!!!”
Lagi-lagi alarm dari Ibu. Aku sampai bosan mendengarkannya. Tapi aku tidak bisa menolak, karena ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
“Iya! Aku bangun!” sahutku dari dalam kamar.
Aku lalu cepat-cepat mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Kurang lebih 10 menit, aku sudah keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan lengkap.
“Good morning!” sapaku kepada Paman Harisson dan Ibu. Mereka berdua sedang sarapan Bersama sambil menyeduh secangkir kopi.
Aku lalu bergabung dan duduk dibangku sebelah Ibu. Kulirik mereka masih asik berbincang-bincang. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kurasa itu menyenangkan.
“Tam, bagaimana sekolahmu? Apa kau sudah memiliki banyak teman? Lalu, bagaimana makanan disana? Apa enak?” Paman Harisson langsung menyerbuku dengan banyak pertanyaan setelah kehabisan topik Bersama Ibu.
Aku pun diam sejenak sebelum menjawab pertanyaannya dengan senyum lebar. Sejujurnya, aku senang dengan perhatian kecil darinya. Ia selalu bisa membuatku merasakan kasih sayang Ayah yang tak pernah kudapat. Andai saja ia memang Ayah kandungku. Betapa bahagianya diriku.
**
“Hei Tam!” sapa Alexi yang tak sengaja berpapasan denganku.
Ia tersenyum sumringah sambil merangkul lenganku begitu dekat. Aku pun hanya bisa pasrah menerima perlakuannya. Walau aku sangat tak nyaman karena ia masih orang asing bagiku.
“Sejak kapan kau dekat dengan saudara sepupuku?”
Akhirnya aku mendengar pertanyaan itu. Sudah kuduga Alexi pasti akan penasaran. Tapi, haruskah ia langsung bertanya kepadaku?
“Emm … baru kemarin. Memangnya kenapa?”
Kurasakan rangkulannya mulai melonggar seakan dia sedang memberi jarak kepadaku. Jika itu benar, apa ada sesuatu yang salah?
“Kau memang cantik. Pasti itu alasan Nicky menyukaimu,” balas Alexi dengan nada datar.
Aku tak paham sama sekali, apa dia sedang menyindirku? Atau ia sedang membongkar bahwa sepupunya itu menyukaiku? Yang jelas, aku ingin segera menjauh dari kedua orang ini.
“Oh ya, apa kau mau makan siang bersamaku dan Liza?”
“Emm … hari ini aku lagi diet. Maaf,” jawabku berbohong.
“Pfftt … kau diet? Kedengarannya sangat aneh,” ejek Alexi yang setelah itu pergi duluan ke kelas.
Aku sama sekali tak berniat menyusulnya dan membiarkan ia menjauh dariku. Lagi pula, untuk apa mengejar gadis aneh yang mengejekku? Buang-buang waktu saja.
**
“Tam, mau ke kantin?” ajak Sandra yang sudah berdiri dari bangkunya.
Aku yang baru selesai mencatat tugas langsung menatapnya sebentar sebelum akan menganggukan kepala. Tapi, Alexi dan Liza tiba-tiba datang kearah meja kami.
“Tamara lagi diet, jadi gak mungkin ke kantin. Gimana kalau ikut kita aja?” tawar Alexi yang masih mengingat perkataanku tadi.
Sungguh, aku bisa tahu bahwa ia sengaja mempermainkanku. Meskipun memiliki wajah polos dibanding Liza, tapi Alexi adalah orang yang paling licik.
“Kamu lagi diet, Tam?” tanya Sandra yang tak percaya.
“E-e iya,” jawabku terpaksa.
Dari raut muka Sandra, aku mengetahui dia begitu bimbang dan ketakutan. Ia enggan menolak ajakan Alexi, tapi ia juga takut jika harus bergabung dengan mereka. Sayang sekali, aku tak bisa membantunya.
“Bagaimana? Kau mau ikut kami?”
“Ya.”
Pada akhirnya Sandra tetaplah sama. Ia akan memilih jalan teraman. Lalu, bagaimana denganku, aku harus pergi kemana selain ke kantin?
Ah, sial. Aku menyesal sudah menjawab pertanyaan Alexi tadi.
**
Berjalan asal, menengadah ke langit, menunggu petang datang. Astaga, berapa lama lagi bel masuk berbunyi. Kenapa terasa sangat lama? Padahal aku sudah menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas. Lalu kemana Sandra? Kenapa belum balik?
“Sendirian aja?”
Mendengar suara itu, aku berpaling kearah pintu. Dan pria yang tak asing itu langsung menyapaku dengan senyuman yang menampakkan kedua lesung pipi manisnya.
“Sepupumu tidak ada disini, dia ada di kantin,” jelasku kepada pria yang tak lain adalah Nicky.
“Aku sudah bertemu dengannya. Tapi, tujuanku kesini untuk menemuimu.”
“Oh … terdengar menggelikan,” balasku masam.
Dia lagi-lagi tersenyum, padahal ucapanku begitu kasar. Aneh sekali. Kuharap ia segera pergi.
“Apa kau bosan? Bagaimana jika kita bersenang-senang diluar?”
“Tidak mau. Itu akan lebih membosankan.”
“Kau belum mencobanya, kenapa sudah menyimpulkan seperti itu?”
Dia sangat memaksa sekali. Padahal kami baru kenal kemarin. Aku sangat tak suka sifatnya.
“Sekali lagi, ayo! Aku janji, kau akan sangat senang bersamaku.”
Aku pun diam memikirkan tawaran itu kembali. Entah karena aku yang bosan di kelas, atau aku yang kasihan terus menolaknya. Aku pun memutuskan untuk menerima ajakannya.
“Baiklah baiklah. Hanya sebentar saja pokoknya.”
"Dia berharap aku menghargainya, namun ia sendiri tak pernah menghargaiku.”**Aku mengikuti Langkah Nicky bagaikan anak ayam, dan Nicky sebagai induknya. Dan aku sungguh tak tahu, kemana ia akan membawaku pergi?Kuharap ia bukanlah pria aneh-aneh.“Apa kau pernah membolos?” tanya Nicky kepadaku.Aku pun menggeleng cepat sambil tetap fokus melihat kedepan. Lalu, tiba-tiba tangannya yang besar menggandeng tanganku yang kecil. Aku reflek menatapnya.“K-kenapa menggandeng tanganku?” tanyaku yang terkejut.Bukannya menjawab, ia malah tersenyum simpul padaku. Dan aku sama sekali tak mengerti artinya. Apa ia sengaja melakukan ini?“Ayo kita bolos!” ajak Nicky dengan wajah santai dan ia benar-benar berhasil membuatku membisu seketika.“Kenapa? Kau tak mau?”
"Aku berpikir, bagaimana jika aku bertukar peran dengannya? Pasti akan sangat menyenangkan.”**Ceklek!Pintu kamar yang ingin kubuka pelan itu masih saja menimbulkan suara yang keras. Padahal, aku berniat supaya Ibu tidak terbangun, tapi begitulah.Ceklek!Aku spontan melihat ke kamar sebelah, dimana Ibu sudah berdiri dengan menggunakan piyama berwarna pink muda bermotif bunga Sakura. Ia begitu segar seakan dia barusan selesai mandi.“Good morning!” sapa Ibu yang langsung kubalas senyum tipis dan anggukan kecil.Sebenarnya aku sedikit penasaran, apakah pria semalam sudah pulang? Tapi, Ibu biasanya tidak langsung mengusir pria yang dibawa sebelum sarapan.Apa hari ini juga akan sama?“Ahhh … hari ini Ibu tidak akan sarapan dan langsung ke kantor. Apa kau bisa membuat sarapanmu sen
"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”**“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.“Benarkah?”Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu
"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”**“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. J
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,
Aku menatap jam tanganku, menunggu kapan Alexi akan selesai berbincang dan memakan makan siangnya. Karena ini sudah terlalu lama dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu.“Kau bosan?” tanya Nicky yang selalu saja tepat sasaran.“Tidak.”“Bohong!”Astaga, pria ini mulai lagi. Kenapa dia selalu saja tak percaya dengan perkataanku? Aku kan hanya ingin dia berhenti bicara.“Bagaimana jika kita keluar dan mencari udara segar?” tawarnya yang membuat semua mata tertuju kepadaku.“Tidak, aku ingin disini saja,” balasku yang sama sekali tidak berniat.“Ayolah! Kau kan bosan.”Astaga, kapan ia akan menyerah dan membiarkanku untuk tenang? Aku bahkan menjadi pusat perhatian atas suaranya yang lantang.“Pergilah Tam! Aku tahu kau bosan,” timpal Alexi yang mendukung supaya aku pergi Bersama Nicky.Ah … aku benar-benar menyesal s