"Dia berharap aku menghargainya, namun ia sendiri tak pernah menghargaiku.”
**
Aku mengikuti Langkah Nicky bagaikan anak ayam, dan Nicky sebagai induknya. Dan aku sungguh tak tahu, kemana ia akan membawaku pergi?
Kuharap ia bukanlah pria aneh-aneh.
“Apa kau pernah membolos?” tanya Nicky kepadaku.
Aku pun menggeleng cepat sambil tetap fokus melihat kedepan. Lalu, tiba-tiba tangannya yang besar menggandeng tanganku yang kecil. Aku reflek menatapnya.
“K-kenapa menggandeng tanganku?” tanyaku yang terkejut.
Bukannya menjawab, ia malah tersenyum simpul padaku. Dan aku sama sekali tak mengerti artinya. Apa ia sengaja melakukan ini?
“Ayo kita bolos!” ajak Nicky dengan wajah santai dan ia benar-benar berhasil membuatku membisu seketika.
“Kenapa? Kau tak mau?”
Entahlah, aku sangat bimbang dengan ajakannya. Bagaimana jika aku ketahuan oleh Ibuku? Bagaimana jika Sandra memberitahunya? Lalu, apa yang akan terjadi setelahnya?
“Maaf, kau saja yang melakukannya. Karena aku sama sekali tidak berminat,” jawabku datar.
Tapi, pria ini malah semakin gencar memaksaku dengan Gerakan tubuhnya. Bahkan, anehnya ia juga memberikan tawaan kecil untuk jawabanku tadi.
“Ini tidak lucu dan berhentilah memaksaku pergi!” tegasku kepadanya.
“Ayolah! Jangan kasar! Mari kita bersenang-senang tanpa memedulikan apa pun!”
“Ta–“ Belum sesuai aku berbicara, ia sudah menarik tanganku dan membekap mulutku dengan tangannya.
Ia membawaku ke dalam Gudang yang sangat-sangat gelap. Aku bahkan tak bisa melihat dirinya yang ada didekatku.
“Sstt … ada orang diluar. Jadi diamlah!” bisik Nicky ditelingaku.
Kring … kring …
Bel masuk berbunyi dan aku masih berada dalam Gudang Bersama pria aneh ini. Kapan dia akan melepasku? Aku bertanya-tanya sedari tadi.
“Orang itu pasti sudah pergi, kenapa kita tidak keluar saja?”
“Karena aku masih ingin berlama-lama denganmu disini.”
Entah kenapa saat itu, aku reflek mendorong tubuhnya. Memberikan ruang untuk diriku sendiri.
“Apa kau selalu Kasar pada semua pria? Atau hanya denganku saja?”
“Aku selalu kasar pada semuanya. Kau puas?”
“Ya.”
Aku lalu berniat keluar, namun ia mencegahku dan tiba-tiba membisikkan sesuatu ke telingaku.
“Akan kubuat jantungmu berdebar kencang disampingku.”
Aku hening sesaat sebelum ia menggandeng tanganku Kembali dan mengajakku keluar. Terkadang dalam pikiran, aku menanyakan, siapa sebenarnya pria ini? Apa alasan ia begitu kukuh mendekatiku? Apa ada maksud tersembunyi dari sifatnya itu?
“Sebenarnya, kau mau mengajakku kemana? Jika kau terus-terusan bertindak sesuai keinginanmu. Aku akan segera berteriak supaya kau tidak bisa lagi mendekatiku!” ancamku yang tak digubris olehnya.
“Kau bisa mencobanya, tapi apa menurutmu kau takkan kena masalah juga?”
“Kau sangat licik,” cibirku yang membuat bibirnya terangkat sebelah.
“Kau tahu itu, jadi kenapa tak diam saja?”
Lagi-lagi aku kehabisan kata-kata untuk membalas ucapannya. Karena ia tak bisa ditebak dan aku kesulitan memahaminya.
“Hei!!! Apa yang kalian lakukan diluar?!” tegur suara lantang itu membuatku terkejut.
Aku pun menoleh sekilas kearah pria botak yang memakai seragam Guru itu dan entah bagaimana, Nicky sudah tidak ada lagi disampingku.
“Lari!!!” teriak Nicky dari kejauhan.
Sial, pria itu melarikan diri lebih dulu. Mau tak mau aku segera berlari menyusulnya. Saat itu, jantungku berdebar kencang sekali, pikiranku bahkan terpecah kemana-mana.
Yang kuharapkan hanya satu, bahwa aku tidak tertangkap oleh Guru tadi.
“Hosh … hosh ….”
“Hahahahahaha … lihatlah wajahmu yang memerah!” Tertawaan itu langsung menyambutku setelah berhasil bersembunyi di halaman belakang sekolah.
Itu membuatku sedikit kesal, tapi aku menyembunyikannya karena malas berdebat.
“Bagaimana? Apa jantungmu berdebar sangat kencang sekarang?”
“Ya. Kau puas?”
Semua karena ulahnya, aku sampai lari-lari seperti ini. Ia bahkan tak meminta maaf sama sekali.
“Aku puas, karena aku berhasil membuat jantungmu berdebar disampingku dan kuharap nantinya debaran itu datang secara alami kepadaku.”
“Kau terlalu banyak bermimpi, jadi lebih baik bangunlah dan lihat kenyataan yang ada,” balasku begitu kasar.
Aku lalu beranjak dari tempat dudukku dan berniat pergi ke toilet, namun Nicky sudah menggenggam tanganku. Ketika aku berusaha melepasnya, ia malah semakin mengeratkannya.
“Apa kau mau air?” tanya Nicky sambil menyisir poni rambutnya kebelakang.
“No. I don’t want anything.”
“Okay. Kalau begitu mari kita mengambil tas kita!”
**
“Pergilah! Kenapa masih terus disini?” usirku pada Nicky yang berada dalam mobil.
Ia sengaja mengantarkanku pulang, padahal sudah kutolak berkali-kali. Tapi, akhirnya aku yang mengalah.
“Aku kan ingin melihatmu masuk ke dalam rumah.” Lagi-lagi itu jawabannya.
Sebenarnya aku hanya tak ingin Ibuku tahu tentangnya. Jika ia tahu, ia pasti akan menceramahiku sepanjang malam.
“Hei pria keras kepala! Aku pasti akan masuk ke dalam, jadi kumohon pergilah!” tegasku.
Tapi, ia malah tertawa begitu kencang. Padahal tidak ada yang lucu. Ada apa dengannya?
“Baiklah, aku akan masuk ke dalam. Jadi pergilah sekarang! Dan kumohon, jangan tertawa kencang-kencang seperti tadi! Apalagi di depan rumahku!”
“Baiklah, sesuai yang kuinginkan.”
Aku lalu masuk ke dalam rumah yang pagi itu masih sangat kosong dan ini jarang sekali bisa kurasakan. Karena biasanya aku selalu pulang siang dan Ibu sudah ada di rumah.
“Pfftt ….” Aku tertawa mengingat semua kejadian barusan.
Jadi, apakah begini rasanya bolos sekolah? Bisa melakukan apa saja di luar jam sekolah. Ini sangat menyenangkan.
“Pria itu memang aneh, tapi dia bisa memberikan kesenangan tersendiri bagiku.”
**
“Tamara! Tamara!” panggil suara Ibu yang membuatku lekas terbangun dari tempat tidur.
Aku lalu cepat-cepat turun kebawah sebelum panggilan tersebut semakin kencang. Namun, Ketika mendengar suara seorang pria, aku pun melambatkan langkahku. Dan entah kenapa, aku sangat yakin, itu bukan suara Paman Harisson. Lalu, siapa yang Ibu bawa?
“Tamara, kau sudah turun, nak? Kenapa lama sekali?” tanyanya yang mulai mendekat kearahku dengan Langkah terhuyung-huyung.
Ah, bau alkohol. Aku tak ingin ia menyentuhku. Aku reflek menepis tangannya. Tapi itu terlalu kencang sampai bisa membuat wajah Ibuku terlihat sangat marah.
“Dasar tidak sopan! Siapa yang mengajarimu? Hah?!”
“Kumohon jangan seperti ini! Aku tidak suka,” jelasku kepadanya dengan hati-hati.
Ini bukan kali pertamanya ia mabuk, tapi sudah berkali-kali, dan aku sangat mengenal kelakuannya saat mabuk. Ia pasti akan membawa pria-pria dari club bersamanya dan memarahiku. Sampai sekarang, aku tidak tahu alasannya memarahiku, padahal aku tidak melakukan apa pun. Kurasa ia begitu membenciku.
“Sudahlah. Ayo honey kita ke kamar! Aku tak ingin membuang-buang waktumu.”
Ibu lalu mengajak pria yang ia bawa ke dalam kamarnya dan lagi-lagi pria itu masih sangat muda.
“One night, dan kuharap pria itu tak menyesal.”
"Aku berpikir, bagaimana jika aku bertukar peran dengannya? Pasti akan sangat menyenangkan.”**Ceklek!Pintu kamar yang ingin kubuka pelan itu masih saja menimbulkan suara yang keras. Padahal, aku berniat supaya Ibu tidak terbangun, tapi begitulah.Ceklek!Aku spontan melihat ke kamar sebelah, dimana Ibu sudah berdiri dengan menggunakan piyama berwarna pink muda bermotif bunga Sakura. Ia begitu segar seakan dia barusan selesai mandi.“Good morning!” sapa Ibu yang langsung kubalas senyum tipis dan anggukan kecil.Sebenarnya aku sedikit penasaran, apakah pria semalam sudah pulang? Tapi, Ibu biasanya tidak langsung mengusir pria yang dibawa sebelum sarapan.Apa hari ini juga akan sama?“Ahhh … hari ini Ibu tidak akan sarapan dan langsung ke kantor. Apa kau bisa membuat sarapanmu sen
"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”**“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.“Benarkah?”Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu
"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”**“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. J
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,
Aku menatap jam tanganku, menunggu kapan Alexi akan selesai berbincang dan memakan makan siangnya. Karena ini sudah terlalu lama dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu.“Kau bosan?” tanya Nicky yang selalu saja tepat sasaran.“Tidak.”“Bohong!”Astaga, pria ini mulai lagi. Kenapa dia selalu saja tak percaya dengan perkataanku? Aku kan hanya ingin dia berhenti bicara.“Bagaimana jika kita keluar dan mencari udara segar?” tawarnya yang membuat semua mata tertuju kepadaku.“Tidak, aku ingin disini saja,” balasku yang sama sekali tidak berniat.“Ayolah! Kau kan bosan.”Astaga, kapan ia akan menyerah dan membiarkanku untuk tenang? Aku bahkan menjadi pusat perhatian atas suaranya yang lantang.“Pergilah Tam! Aku tahu kau bosan,” timpal Alexi yang mendukung supaya aku pergi Bersama Nicky.Ah … aku benar-benar menyesal s
"Maaf,” ucapku sesuai yang diinginkan.Bagaimana? Ia senang? Kalau tidak aku bisa mengulanginya sampai ribuan kali. Dan membuatnya bosan. Bukankah itu hal yang bagus?“Tam, kau tidak tulus,” keluh Sandra yang tidak puas.Baiklah, dia memang benar. Lagi pula, mana mungkin aku bisa mengatakan sesuatu yang tulus? Apa lagi untuknya. Seharusnya, ia sadar diri untuk tidak memaksaku. Karena semua akan sia-sia.“Maaf, aku tidak akan menyakitimu lagi,” ucapku dengan wajah yang penuh penyesalan.Padahal, itu semua hanya pura-pura dan dia terlalu bodoh untuk memahaminya.“Terima kasih, Tam. Aku senang. Kau bisa Kembali lagi menjadi dirimu. Mulai sekarang, tetaplah seperti ini!”Wah wah, apa dia sedang menasehatiku? Apa dia berpikir dirinya lebih baik? Dasar! Lihat saja nanti! Aku akan membuatmu m