"Aku berpikir, bagaimana jika aku bertukar peran dengannya? Pasti akan sangat menyenangkan.”
**
Ceklek!
Pintu kamar yang ingin kubuka pelan itu masih saja menimbulkan suara yang keras. Padahal, aku berniat supaya Ibu tidak terbangun, tapi begitulah.
Ceklek!
Aku spontan melihat ke kamar sebelah, dimana Ibu sudah berdiri dengan menggunakan piyama berwarna pink muda bermotif bunga Sakura. Ia begitu segar seakan dia barusan selesai mandi.
“Good morning!” sapa Ibu yang langsung kubalas senyum tipis dan anggukan kecil.
Sebenarnya aku sedikit penasaran, apakah pria semalam sudah pulang? Tapi, Ibu biasanya tidak langsung mengusir pria yang dibawa sebelum sarapan.
Apa hari ini juga akan sama?
“Ahhh … hari ini Ibu tidak akan sarapan dan langsung ke kantor. Apa kau bisa membuat sarapanmu sendiri?”
Lagi-lagi ia sibuk, sampai harus ke kantor pagi-pagi. Apa tidak bisa ia meluangkan waktu sedikit saja bersamaku? Bahkan dalam sebulan, aku bisa menghitung berapa kali kita mengobrol.
“Oh ya, di kulkas masih ada sup, jika kau mau memakannya, panaskan dulu. Mengerti?”
“Ya, aku mengerti.”
Ibu lalu segera ke kamar mandi dan bersiap-siap, sedangkan aku pergi mengecek makanan yang ada di kulkas.
Ceklek!
Aku terdiam sesaat mendengar pintu kamar Ibu yang terbuka. Jelas, itu bukan Ibu yang keluar, melainkan pria yang kemarin Bersama Ibu.
“Emm … apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya pria itu setelah menepuk pundakku.
Aku pun reflek menoleh kebelakang dan bertukar pandang dengan pria itu langsung, dan semua terasa canggung.
“T-tentu,” jawabku tanpa menatap dirinya.
Namun aku tidak kunjung mendapatkan pertanyaan. Kupikir ia sedang kebingungan?
“Emm … itu, k-kamar mandi ada dimana?”
Akhirnya ia berbicara walau nadanya seperti bergetar campur gugup. Apa pria ini baik-baik saja? Aku jadi agak khawatir.
“Emm … kamar mandi di luar lagi dipakai sama Mom. Kalau mau, pakai kamar mandi di kamar saya aja gimana?” tawarku padanya.
Meski diawal ia sedikit ragu, tapi akhirnya ia mengiyakan tawaranku. Aku lalu mengantarnya ke kamar.
“Kau bisa memakai sabun dan shampoo ku,” ungkapku yang dijawab anggukan ringan olehnya.
Setelah ia masuk ke dalam kamar mandi, aku segera keluar untuk memasak sarapan. Mungkin aku juga akan memasakkan pria itu sarapan.
“Tam!”
“Iya, Mom?”
“Apa pria semalam sudah pulang? Apa kau melihatnya?”
“I-itu, dia sedang mandi di kamar mandiku.”
“Kau mengizinkannya?”
“Y-ya ….”
Kuharap ia tidak marah. Apalagi ini masih pagi, aku hanya tak ingin merusak mood-nya.
“Lain kali, jangan pernah melakukan itu lagi!”
“Ya, Mom.”
Hari ini aku selamat, tapi entah di hari lain, aku pasti akan dapat amukan. Ah, sudahlah, aku harus segera sarapan dan bersiap ke sekolah.
“Mama berangkat dulu!”
“Bye!”
“Jangan lupa kunci pintunya!”
“Ya.”
Belum semenit Ibu pergi, pria itupun keluar dari kamar. Ia lebih rapi dibanding sebelumnya. Kemeja berwarna biru muda dan celana jeans yang dipakainya benar-benar memadu sempurna. Aku sampai tak berkutik melihat penampilannya.
“Terima kasih sudah meminjamkan kamar mandi untukku.”
“Tidak masalah.”
“Oh ya, aku sudah menyiapkan sarapan. Apa kau mau sarapan dulu disini sebelum pergi?” lanjutku.
Wajahnya agak kebingungan, ia pasti ingin segera pergi dari sini, namun aku malah mencegahnya.
“Apa tidak merepotkanmu?”
“Tentu saja tidak.”
Ia akhirnya mengangguk walau begitu kaku. Aku lalu mengajaknya ke meja makan yang sudah tersaji sarapan berupa roti panggang dan telur mata sapi, aku juga menyajikan orange juice untuk minumnya.
“Emm … aku minta maaf jika semalam Ibuku berbuat aneh-aneh padamu, ia memang sering seperti itu Ketika mabuk,” ucapku yang merasa tak enak dengan kelakuan Ibu.
Sejujurnya, ini pertama kalinya aku berbicara dengan pria yang Ibu bawa, karena biasanya ada Ibu. Jadi aku tidak berani berbicara seperti sekarang.
“Tidak masalah. Lagi pula semalam tidak terjadi apa pun.”
Tidak terjadi apa pun? Aku tak mengerti maksudnya. Bukankah Ibu selalu mengajak semua prianya berhubungan badan? Apa kali ini tidak?
“Apa itu benar?” tanyaku yang masih tak yakin.
“Ya.”
Aku sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi wajah yang terlihat tak nyaman itu membuatku mengurungkan niat tersebut.
**
“Hei! Ngelamun aja!” tegur Sandra yang entah kapan sudah duduk dibangku sebelahku.
Hari ini penampilannya sangat berbeda dari biasanya. Aku sampai tak mengenali sahabatku itu.
“Ada apa? Kau terkejut melihat penampilanku?”
Aku mengangguk, membenarkan perkataannya. Dan entah kenapa, penampilan barunya ini seperti kukenali.
Makeup yang tipis, rambut yang dikepang menjadi satu, dan poni tipis yang sengaja ditinggalkan di sekitar dahinya terasa sangat tidak asing.
“Aku seperti melihat diriku di masa SMP dulu,” sindirku terang-terangan.
Aku bisa mengetahui bahwa gadis itu benar-benar tersindir, ya mau bagaimana lagi, aku hanya mengatakan sebenarnya.
“Hei, memangnya Cuma dirimu yang bernampilan seperti ini? Semua orang juga pernah.”
Terserahlah, aku malas meladeninya. Jika aku terus berbicara, ia pasti akan marah dan mengadu kepada Ibu.
“Oh ya, pacarmu sepertinya sedang menunggumu di luar,” ujarku saat melihat Tommy yang berdiri sendiri di depan kelas.
Sandra yang mendengar perkataanku langsung tersenyum lebar dan mencari keberadaan Tommy. Begitu pandangan mereka saling bertemu, Sandra segera keluar menemui pacarnya itu.
Aku sungguh iri dengan kebahagiaan mereka. Padahal, semua yang terjadi adalah kesalahanku.
“Lagi mikirin apa?” tanya suara itu yang sontak menganggetkanku.
Dan aku tanpa sadar mendekatkan wajahku ke wajahnya saking terkejutnya. Tapi aku berusaha untuk segera menjauh, sebelum tangan Nicky berhasil membawaku Kembali kepada situasi barusan.
“Kita ada di kelas. Jangan sembarangan!” tegurku saat ia semakin memperkecil jarak diantara kita.
“Aku takkan melakukan apa pun. Jadi jangan berpikir aneh-aneh!” balasnya yang kemudian menjauh dariku.
Sial, pasti ia sedang menetertawaiku dalam hati. Aku benar-benar menjadi bodoh didepannya. Padahal, ini bukan yang pertama kali. Tapi tetap saja aku malu.
“Tommy, bukankah itu nama pria yang sedari tadi kau lihat?”
Aku langsung terdiam, tak tahu harus merespon apa perkataanya barusan. Dalam hati, aku mengutuki diriku yang terlalu terang-terangan menatap pacar orang. Apa ia menyadari sesuatu?
“Katakan saja padaku, apa dia tipe idealmu?"
"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”**“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.“Benarkah?”Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu
"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”**“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. J
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,
Aku menatap jam tanganku, menunggu kapan Alexi akan selesai berbincang dan memakan makan siangnya. Karena ini sudah terlalu lama dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu.“Kau bosan?” tanya Nicky yang selalu saja tepat sasaran.“Tidak.”“Bohong!”Astaga, pria ini mulai lagi. Kenapa dia selalu saja tak percaya dengan perkataanku? Aku kan hanya ingin dia berhenti bicara.“Bagaimana jika kita keluar dan mencari udara segar?” tawarnya yang membuat semua mata tertuju kepadaku.“Tidak, aku ingin disini saja,” balasku yang sama sekali tidak berniat.“Ayolah! Kau kan bosan.”Astaga, kapan ia akan menyerah dan membiarkanku untuk tenang? Aku bahkan menjadi pusat perhatian atas suaranya yang lantang.“Pergilah Tam! Aku tahu kau bosan,” timpal Alexi yang mendukung supaya aku pergi Bersama Nicky.Ah … aku benar-benar menyesal s
"Maaf,” ucapku sesuai yang diinginkan.Bagaimana? Ia senang? Kalau tidak aku bisa mengulanginya sampai ribuan kali. Dan membuatnya bosan. Bukankah itu hal yang bagus?“Tam, kau tidak tulus,” keluh Sandra yang tidak puas.Baiklah, dia memang benar. Lagi pula, mana mungkin aku bisa mengatakan sesuatu yang tulus? Apa lagi untuknya. Seharusnya, ia sadar diri untuk tidak memaksaku. Karena semua akan sia-sia.“Maaf, aku tidak akan menyakitimu lagi,” ucapku dengan wajah yang penuh penyesalan.Padahal, itu semua hanya pura-pura dan dia terlalu bodoh untuk memahaminya.“Terima kasih, Tam. Aku senang. Kau bisa Kembali lagi menjadi dirimu. Mulai sekarang, tetaplah seperti ini!”Wah wah, apa dia sedang menasehatiku? Apa dia berpikir dirinya lebih baik? Dasar! Lihat saja nanti! Aku akan membuatmu m
Ibu memakirkan mobilnya di tepi jalan lalu keluar untuk membeli minuman. Matanya masih begitu sembab dan terkadang mengeluarkan air mata. Aku heran, kenapa dia begitu sedih? Padahal aku tidak merasa demikian.Ring! Ring!Ponsel Ibu berbunyi, apa yang harus kulakukan? Apa kujawab saja? Tapi, bagaimana jika itu telepon penting? Aku takut tidak bisa menyampaikan pesannya dengan baik dan membuat Ibu kesusahan.Ring! Ring!Astaga, sepertinya aku harus mengangkatnya. Tapi nomor siapa ini? Aku sama sekali tidak mengenalinya dan Ibu tidak memberikan nama diatasnya.“Halo?” sapaku lebih dulu setelah mengangkatnya.“Apakah ini nomor Ibu Jasmine?” sahut suara itu dan terdengar seperti seorang pria.“Ya, anda siapa ya?”“Oh, apa Ibu lupa saya? Saya pria yang pernah anda temui