"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”
**
“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.
“Benarkah?”
Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.
“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.
Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?
“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.
Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.
“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu beranjak dari bangku karena bel sudah bunyi.
Aku pun masih menatap kepergiannya dengan senyum tipis dan yang ada dalam pikiranku sekarang adalah kabur darinya. Memangnya Cuma dia yang bisa bermain-main? Aku juga bisa, asal Ibu tidak tahu.**
Bel sudah berbunyi menandakan jam istirahat dimulai, tapi aku sama sekali tidak beranjak dari kursi dan diam-diam menatapi Sandra yang sedang sibuk merapikan rambutnya.
“Ada apa? Kenapa kau terus melirikku?” tanya Sandra yang menyadari pandanganku.
“Emm … bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu ke kantin. Kau mau?”
“Tidak, karena aku akan makan siang dengan Tommy. Mungkin kau bisa menikmati makan siangmu sendiri,” ucapnya tanpa menatapku.
Kurasa gadis ini masih marah dengan kejadian tadi pagi. Tapi bagaimanapun, aku tidak peduli. Aku akan meminta maaf padanya nanti.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi lebih dulu. Good bye!” pungkasku yang langsung beralih dari bangku dan menuju ke kantin.
Namun, Langkah yang awalnya maju itu tiba-tiba berbalik Ketika aku teringat akan ucapan Nicky tadi pagi. Pria itu pasti akan mencariku keseluruh tempat, tapi yang jelas ada satu tempat yang tidak akan ia masuki, yaitu toilet perempuan. Aku harus cepat-cepat kesana sebelum pria itu menemukanku.
Ceklek! Ctik!
Aku mengunci salah satu bilik kamar mandi yang kumasuki dan menunggu di dalam sampai jam istirahat selesai.“Alexi! Kenapa kau tidak suruh saja Nicky untuk berhenti mengganggu Tamara? Lagi pula, apa menariknya Tamara sampai Nicky harus mengejarnya?” tanya suara Liza yang kukenal.Dari dulu, gadis itu selalu pencemburu. Kali inipun, dia tetap sama. Apa dia menyukai Nicky? Ah, tapi itu bukan urusanku.
“Liz, kau sama sekali tidak tahu apa pun. Jadi, jangan mencampuri urusan Nicky! Biarkan saja dia melakukan yang ia suka dan satu hal, ia sama sekali tidak merepotkanmu, jadi kau juga jangan merepotkannya!” tegas Alexi yang entah mengapa nada suaranya menjadi tinggi.
Aku yang hanya bisa menguping pembicaraan mereka menjadi tambah penasaran, apa yang sebenarnya mereka bicarakan?
“Tapi, apa Nicky benar-benar tertarik pada Tamara?” tanya Liza yang lagi-lagi membuat suasana canggung.
Namun, aku juga ingin tahu, apa jawaban dari Alexi. Mungkinkah ia akan menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’.
“Sepertinya dia sangat tertarik pada Tamara,” jawab Alexi yang membuatku langsung terdiam.
Entah kenapa, rasa déjà vu menghinggapiku lagi. Aku jadi teringat tentang masa lalu. Padahal, masa lalu itu harus kulupakan.
“Sudahlah, ayo kita Kembali! Mereka pasti menunggu kita!” ajak Alexi yang baru mematikan kran air wastafel.Setelah itu, aku tak mendengar lagi suara mereka dan toilet ini menjadi sangat sepi. Aku bahkan merasa sedikit ketakutan meski ada ponsel yang menemaniku. Ah … kapan bel masuk berbunyi?
Ceklek!
Aku mendengar pintu toilet terbuka, namun tidak ada suara sama sekali. Apakah orang tersebut memang sengaja memelankan Langkahnya dan diam?
Tok! Tok!
Ketukan pintu itu membuatku tertegun dan buru-buru mematikan ponselku. Lalu, dengan cepat, aku juga mengangkat kakiku supaya tidak Nampak dari luar. Entah siapapun itu, aku harus tetap berjaga-jaga.
“Apa ada orang di dalam?” tanya suara itu begitu dalam, tapi mampu membuatku terdiam.
“Halo?”
Ada hal yang tidak kusangka bahwa Nicky berhasil menemukan tempat persembunyianku. Padahal, aku berusaha untuk menjauhinya.
Ah … bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Terus diam atau keluar menghadapinya?“Sampai kapan kau akan diam? Apa jangan-jangan, kau memang sengaja melakukannya?”
“Apa yang kau lakukan sampai sini? Kau kan tahu ini toilet perempuan,” balasku akhirnya.Mungkin, aku terlalu takut. Seharusnya aku diam saja, tapi mulut ini tidak mau menurut. Aku benar-benar sadar dengan semuanya.
“Aku mencarimu, karena kau tidak menerima ajakanku. Ya lebih tepatnya, kau sengaja menghindariku, bukan?”
“Kau tahu itu, lalu kenapa masih berusaha? Aku bahkan sangat heran dengan tingkahmu.”
“Entahlah. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kumohon keluarlah sekarang! Aku janji tidak akan menyakitimu jika kau keluar sekarang!”
Ucapannya itu seakan mengancamku untuk tidak main-main. Tapi, bagaimana bisa aku keluar disaat aku benar-benar tidak menginginkannya? Apalagi, pria ini seperti akan memarahiku.
“Aku tidak mau! Pergilah! Jangan temui aku lagi!” suruhku yang tidak mengindahkan permintaannya.
Beberapa saat, aku tak mendengar lagi suaranya. Apa dia masih diluar? Atau dia sudah pergi?
Ah … aku bahkan tidak bisa membayangkan jika aku keluar dan tertangkap olehnya.Kring! Kring!
Aku mengutuki bunyi bel itu, mengapa dia berbunyi disaat posisiku masih tidak jelas? Apakah aman? Atau tidak?
“Nick, apa kau masih diluar?” tanyaku yang sedang mengetes keadaan luar.
Ah … aku tidak bisa terus di dalam, aku bisa terlambat ke kelas. Apa aku keluar saja dengan cepat dan buru-buru lari? Pasti dia tidak akan bisa menangkapku.
Ceklek!
Aku membuka pintu bilikku dengan pelan dan berusaha untuk tetap tenang. Entah kenapa, aku merasa aku sedang menghindar dari monster atau makhluk menyeramkan. Padahal, dia hanya manusia biasa, tapi aku begitu takut menghadapinya.
“Hei!”
Sudah kuduga, Nicky tidak akan pergi semudah itu. Tapi, ini sudah bel masuk, apa dia akan terus menungguku?
“Bagaimana? Kau suka dengan permainan ini? Sembunyi-sembunyi dan menunggu penangkap datang? Jujur, ini sangat seru, bukan?” Pertanyaan yang keluar itu mungkin terkesan biasa jika orang lain yang menanyakannya. Tapi berbeda dengan Nicky.
“Apa yang kau inginkan? Aku sama sekali tidak paham!” ucapku yang sudah kesal.
Tapi lihatlah pria ini! Mengapa ia terus tersenyum padahal pembahasan kita sama sekali tidak menyenangkan?
“Aku tidak menginginkan apa pun. Aku hanya ingin dirimu saja,” jawabnya dengan tampang yang sulit kumengerti.Ah … aku semakin tidak paham. Pria ini memang aneh, tapi terkadang aku menyukai Sebagian sifatnya? Apakah kali ini akan berbeda dengan sebelumnya?
"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”**“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. J
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,
Aku menatap jam tanganku, menunggu kapan Alexi akan selesai berbincang dan memakan makan siangnya. Karena ini sudah terlalu lama dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu.“Kau bosan?” tanya Nicky yang selalu saja tepat sasaran.“Tidak.”“Bohong!”Astaga, pria ini mulai lagi. Kenapa dia selalu saja tak percaya dengan perkataanku? Aku kan hanya ingin dia berhenti bicara.“Bagaimana jika kita keluar dan mencari udara segar?” tawarnya yang membuat semua mata tertuju kepadaku.“Tidak, aku ingin disini saja,” balasku yang sama sekali tidak berniat.“Ayolah! Kau kan bosan.”Astaga, kapan ia akan menyerah dan membiarkanku untuk tenang? Aku bahkan menjadi pusat perhatian atas suaranya yang lantang.“Pergilah Tam! Aku tahu kau bosan,” timpal Alexi yang mendukung supaya aku pergi Bersama Nicky.Ah … aku benar-benar menyesal s
"Maaf,” ucapku sesuai yang diinginkan.Bagaimana? Ia senang? Kalau tidak aku bisa mengulanginya sampai ribuan kali. Dan membuatnya bosan. Bukankah itu hal yang bagus?“Tam, kau tidak tulus,” keluh Sandra yang tidak puas.Baiklah, dia memang benar. Lagi pula, mana mungkin aku bisa mengatakan sesuatu yang tulus? Apa lagi untuknya. Seharusnya, ia sadar diri untuk tidak memaksaku. Karena semua akan sia-sia.“Maaf, aku tidak akan menyakitimu lagi,” ucapku dengan wajah yang penuh penyesalan.Padahal, itu semua hanya pura-pura dan dia terlalu bodoh untuk memahaminya.“Terima kasih, Tam. Aku senang. Kau bisa Kembali lagi menjadi dirimu. Mulai sekarang, tetaplah seperti ini!”Wah wah, apa dia sedang menasehatiku? Apa dia berpikir dirinya lebih baik? Dasar! Lihat saja nanti! Aku akan membuatmu m
Ibu memakirkan mobilnya di tepi jalan lalu keluar untuk membeli minuman. Matanya masih begitu sembab dan terkadang mengeluarkan air mata. Aku heran, kenapa dia begitu sedih? Padahal aku tidak merasa demikian.Ring! Ring!Ponsel Ibu berbunyi, apa yang harus kulakukan? Apa kujawab saja? Tapi, bagaimana jika itu telepon penting? Aku takut tidak bisa menyampaikan pesannya dengan baik dan membuat Ibu kesusahan.Ring! Ring!Astaga, sepertinya aku harus mengangkatnya. Tapi nomor siapa ini? Aku sama sekali tidak mengenalinya dan Ibu tidak memberikan nama diatasnya.“Halo?” sapaku lebih dulu setelah mengangkatnya.“Apakah ini nomor Ibu Jasmine?” sahut suara itu dan terdengar seperti seorang pria.“Ya, anda siapa ya?”“Oh, apa Ibu lupa saya? Saya pria yang pernah anda temui
Paman menuangkan susu ke gelasku. Membiarkanku untuk minum lebih dulu. Namun, aku menolak dan memberikan gelasku kepada Sandra. Karena aku berpikir seorang tamu harus dilayani pertama kali.“Jadi, kau tidak memberitahu Ibumu kau disini?” tanya Ibu pada Sandra.“Tidak.”Wow, bukankah dia terlalu nekat? Bagaimana jika Ibunya khawatir? Apa dia tak peduli? Oh! Kurasa tidak! Ibunya kan tidak peduli. Dan bisa dibilang dia sengaja kesini untuk mendapat perhatian Ibuku. Licik sekali.“Baiklah, Tante akan memberitahunya nanti. Sekarang habiskan makananmu!”“Dan kau juga, Tam!” sambung Ibu yang langsung kuiyakan.Paman lalu membuka pembicaraan baru dan aku malas menimpalinya. Mungkin, hanya Ibu yang tertarik membalasnya. Karena aku dan Sandra fokus menghabiskan sarapan.“Oh ya, bagaimana j