"Daddy ... kenapa lama sih?" gerutu Gisa yang masih menunggu kedatangan suaminya.
Hari sudah semakin malam. Keadaan di rumah sakit pun, mulai sepi dengan sedikit aktivitas yang ada. Gisa mengusap lehernya, kemudian menggosokkan kedua tangannya untuk mentransfer hangat pada tubuhnya.
"Ih ..., tau gini, mommy tungguin sampai selesai di dalam!" gerutu Gisa kembali. Dia kesal, suaminya tak kunjung datang. Padahal, jarak dari kamar perawatan Gisa menuju lobby, tidak terlalu jauh.
Gisa mengalihkan perhatiannya, saat mendengar keributan di sampingnya. Beberapa perawat perempuan yang tengah berjaga malam, saling berbisik, bercerita dengan antusias.
"Pantas di belakang ribut, ternyata tuan muda datang." ucap Gisa kesal, karena suaminya selalu menjadi pusat perhatian.
Para perawat muda di buat menganga, saat Catra datang dengan rambut yang masih terlihat basah. Dia berjalan memakai celana, dengan panjang hanya sebatas paha atas. Celana pendek itu, berha
Terima kasih sudah membaca.. Vote dan sumbangkan gems kalian, jangan lupa dukung Catra dan Gisa di Indahgram Goodnovel Indonesia ya, šššššš¤š¤ bisa vote sebanyak-banyaknya.. Cari kategori CEO terfavorit dan ketik sebanyak-banyaknya,
"Mom, apa restorannya masih jauh?" tanya Catra pada istrinya. Wajahnya tertekuk, kesal. Dalam seketika, mood Catra menjadi buruk, saat istrinya merengek untuk ikut ke Singapura. Tentu saja Catra tidak mengijinkan. Mana bisa dia jauh dari Gisa. Dia tidak akan tahan, tidur tanpa memeluk istrinya. Bau tubuh Gisa, sudah menjadi candu baginya. "Ckk ... " Gisa hanya menanggapi pertanyaan suaminya dengan decakan. "Hmmm ... " Catra menghembuskan nafas kasarnya. "Oke, Daddy salah. Daddy minta maaf!" ucap Catra dengan lancarnya. Kalau di pikir kembali, minta maaf untuk apa? Entahlah Catra pun tidak tahu. Sebenarnya, ini trik yang diajarkan Abhi padanya. Saat perempuan marah tanpa sebab yang jelas, pria hanya perlu meminta maaf, tanpa harus tau kesalahan apa yang dia perbuat. Seumur hidupnya, ini kali pertama Catra merendah dan meminta maaf pada seseorang. Catra bahkan meminta maaf untuk hal yang menurut Catra bukan kesalahannya. Inilah yang dina
Catra dan Gisa, pagi ini tengah berada di bandara, untuk mengantar kepergian sang anak yang akan ke Singapura. Pesawat yang ditumpangi Dean, kakek Bram dan Kayanna sudah lepas landas 30 menit yang lalu. Gisa tidak jadi ikut bersama sang anak ke Singapura, karena harus terbang ke Solo bersama suaminya, untuk melayat. Gisa ingin berterima kasih secara langsung, di depan pusara sang bodyguard yang telah menyelamatkan nyawa suaminya. Mereka akan terbang sebentar lagi. Keduanya, saat ini tengah menunggu kedatangan Abhi yang rencananya akan ikut ke Solo. Catra duduk menyandar pada bahu sofa ruang tunggu VVIP, dengan kepala sang istri yang menyandar pada bahu miliknya. Kedua tangan sang istri, memeluk perut Catra, sambil sesekali jari-jari istrinya itu, menyentuh dan mengelus perut sixpack miliknya. "Dad, apa boleh setelah pulang nanti, mommy terbang ke Singapura?" tanya Gisa pada suaminya. "Mommy tega meninggalkan Daddy sendirian di sini?" tanya Cat
Yang mengetahui status Gisa sebagai nyonya Ganendra, sekarang bertambah. Selain ketiga sahabatnya, Madava pun kini mengetahui status yang selama ini Gisa tutup-tutupi. Untungnya keadaan kantor tengah sepi, sehingga hanya Madava lah yang terkejut mengetahui fakta yang Catra ungkapkan sendiri. Saat ini, Gisa tengah berada di ruangan suaminya, setelah tadi puas berkeliling untuk melepas rindu nya, pada perusahaan yang pernah menampungnya selama tiga bulan ke belakang itu. Saat tengah berkeliling, tidak sedikit Gisa mendengar suara sumbang yang tengah membicarakannya. Ia berjalan melewati sekumpulan karyawan yang akan naik menuju lantai atas. Mereka secara terang-terangan menuduh Gisa, sebagai simpanan orang kaya. Gisa hanya pura-pura tidak mendengar apa yang mereka ucapkan. Gisa menyumpal telinganya dengan earphone, dan memutar musik dengan sangat kencang. Saat masuk ke dalam ruangan suaminya, Gisa menjatuhkan tubuh lelahnya, di atas sofa. Dia mulai memp
"Bang, Zurra tinggal di rumah Abang boleh?" tanya Fazzura membuat Gisa yang mendengarnya melebarkan mata, dengan rahang yang mengeras. 'Apa katanya tadi? Tinggal? Dia mau tinggal di rumah ini?' batin Gisa tidak habis pikir dengan yang dilakukan Fazzura. 'Apa tujuan kamu melakukan ini semua, Zurig?' tanya Gisa pada dirinya sendiri. Dia memiliki panggilan baru untuk rivalnya itu. Zurig. Ya, sepertinya panggilan itu sangat cocok untuk Fazzura yang memang seperti hantu. Bergentayangan, mencari celah untuk masuk diantara hubungan Gisa dan Catra. Catra mengerutkan keningnya. "Tinggal di sini?" tanya Catra memastikan. Fazzura hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Catra. "Dad, turun dulu," bisik Gisa tepat di telinga suaminya. Catra tidak menghiraukan keinginan istrinya untuk turun. Catra juga belum menjawab permintaan Fazzura, yang meminta ijin, untuk tinggal di rumahnya. Dia terus berjalan, menggendong tubuh ramping sang istri, sa
Gisa bergegas kembali menuju kamar pribadinya. Dia tidak ingin ketahuan suaminya, kalau dia sempat ke bawah untuk menguping. Sesaat setelah sampai di dalam kamar, Gisa menyandarkan punggungnya, di balik pintu kamar yang baru saja ia tutup. Nafas Gisa berhembus kencang, dengan rongga dada yang naik turun. Pikirannya menerawang, melihat masa depannya. "Siapa perempuan itu?" tanya Gisa. "Sepenting apa dia di hidup, Daddy?" gumam Gisa kembali. "Tidak penting dia siapa. Yang jelas, kamulah istrinya sekarang! Kamu yang berhak atas suami kamu, bukan perempuan dari masa lalunya," yakin Gisa sambil menganggukkan kepalanya. Gisa menguatkan dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur mencintai suaminya. Dia hanya perlu menutup mata dan telinganya, agar semuanya terlihat baik-baik saja. Gisa berjalan dan naik ke atas tempat tidur. Dia memejamkan matanya, sesaat setelah mendengar suaminya membuka pintu kamar. Gisa pura-pura tertidur, agar sang suami tidak
"Sa-saya hamil???" tanya Gisa kembali. "Ayo, saya antar ibu bertemu dokter Rumi," ajak dokter Naya. Mereka berdua pergi menuju ruangan dokter Rumi. Sepanjang jalan, Gisa tidak berhenti mengembangkan senyumnya, dengan tangan yang terus bergerak memberi usapan di atas perutnya yang masih rata. Gisa bahkan membayangkan ekspresi suaminya, saat tau kalau dia tengah mengandung anaknya. Keduanya saat ini sudah sampai di depan ruangan yang akan mereka tuju. Gisa menarik nafasnya tegang, saat dokter Naya, mulai membuka pintu poli kandungan. Sudah sangat lama Gisa tidak mengunjungi dokter kandungan. Terakhir, saat lahiran Dean, hampir tiga tahun yang lalu. "Mari, Bu." ajak dokter Naya, agar Gisa masuk mengikutinya. Gisa mengerjap, dari lamunannya. "I-iya dok," jawabnya gugup. Dokter Naya hanya tersenyum menanggapi kegugupan Gisa. "Ibu gugup?" tanya dokter Naya mencoba mencairkan suasana. "Iya dok. Sudah sangat lama sejak terakhir kali me
Gisa dan Catra keluar dari rumah sakit dengan tangan yang saling bertautan. Seperti biasa, mereka selalu jadi pusat perhatian dari orang-orang yang penasaran dengan kehidupan sang Ganendra. Catra tetaplah Catra. Dia tidak pernah mempedulikan suara sumbang dari orang-orang yang membicarakannya. Selama yang di hina bukan istrinya, Catra tidak pernah menanggapinya. "Hasilnya bagaimana, mom?" tanya Catra khawatir. "Baik. Semuanya baik-baik saja," jawab Gisa dengan cepat. 'Maaf dad, tunggu waktu yang tepat untuk Daddy mengetahui segalanya. Bulan depan. Mommy janji,' batin Gisa. "Daddy kenapa kesini? Bukannya Daddy harus meeting?" "Meeting-nya Daddy cancel. Jadinya besok pagi. Daddy pikir, masih bisa menemani mommy untuk cek," jawabnya enteng. "Ckk ... " decak Gisa. "Sudah mommy bilang, kalau mommy bisa sendiri!" kesal Gisa. "Kenapa mommy marah?" tanya Catra. "Padahal perempuan lain ingin ada di posisi mommy. Di khawatirkan oleh seor
Saat ini Catra sedang benar-benar marah. Dia berdiri dengan kedua tangan yang tersimpan di dalam saku celananya. Wajahnya dingin, dengan mata yang berkilat tajam, menatap orang-orang yang sudah menghina istri kesayangannya. Setelah menampar pipi Paula, Gisa berjalan dan berdiri di samping suaminya. Walaupun tampak kuat, namun sebenarnya Gisa tengah menahan ketakutannya sendiri. Tangan Gisa yang bergetar hebat, dapat dia sembunyikan di balik saku celana yang dipakainya. Gisa mengangkat sedikit wajahnya, agar orang lain melihat ke arogannya. Dihina, di rendahkan, di sepelekan, Gisa sudah kenyang dengan semua itu. Gisa sudah lelah mendapat label sebagai wanita lemah dari orang lain. Dia ingin menjadi kuat, dia ingin egois, setidaknya untuk melindungi harga dirinya. Seakan tahu dengan ketakutan istrinya, Catra merapat ke samping Gisa, kemudian meraih sebelah tangan Gisa yang tersimpan di dalam saku celana. Dia bawa tangan itu ke depan mulut Catra, kemudia