Gisa sudah kembali dari rumah sakit, sejak 2 hari yang lalu. Kondisi Gisa sendiri sudah jauh lebih baik dari pada beberapa hari ke belakang. Dia saat ini tinggal di rumah yang Catra siapkan untuknya.
Sampai sekarang, Catra belum juga di temukan. Anak buah kakek Brahmana, mendatangi setiap tempat yang Gisa sebutkan. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang menemukannya.
Sebenarnya, masih ada satu tempat yang belum Gisa beritahukan pada kakek Brahmana. Tempat tersebut menjadi pilihan terakhir dari Gisa. Jika Catra tidak di temukan di sana, Gisa benar-benar tidak tahu lagi harus kemana, mencari manatan suaminya tersebut.
Gisa menunggu waktu yang tepat. Dia berusaha sembuh secepat mungkin, agar bisa pergi mendatangi tempat terakhir tersebut. Kondisinya harus benar-benar sehat dan prima. Perjalanan yang akan di tempuhnya sangatlah jauh.
Malam ini, Gisa mengumpulkan semua anggota keluarganya, termasuk Abhi dan Zeca. Dia mengundang semua orang untuk makan ma
Terima kasih 🙏🙏
Gisa dan Catra, saat ini tengah duduk di halaman belakang pondok yang Abhi sewa. Mereka masih membisu. Tidak ada satupun dari keduanya yang membuka pembicaraan. Abhi sendiri, saat ini mengajak Zeca pergi untuk berkeliling. Dia sengaja meninggalkan Gisa dan Catra, untuk memberikan ruang bagi keduanya. Gisa tengah mengompres pipi Catra yang lebam menggunakan es batu. Abhi melampiaskan kekesalannya selama ini, dengan cara meninju wajah tampan Catra dengan sangat keras. Sebenarnya, Abhi belum puas. Namun, Gisa melindungi Catra dengan cara memeluknya. Mau tidak mau, Abhi memilih untuk mengalah. Catra mematung. Dia menatap Gisa penuh rindu. Hampir satu bulan lamanya, mereka tidak bertemu. Begitu banyak perubahan pada diri Gisa. Perutnya membesar dengan begitu cepat. Namun, tubuh Gisa sendiri semakin terlihat kurus. Gisa hanya bisa menunduk. Dia tidak kuasa menatap mata hijau mantan suaminya. Gisa yakin, begitu matanya bertemu dengan mata Catra
Gisa mematung. Ternyata yang tadi memijat tengkuknya adalah Catra, bukan Zeca. "Ini luka apa??" tanya Catra kembali. "Ke-kecelakaan." jawab Gisa gugup. "Dua minggu lalu," lanjutnya dengan suara pelan. Gisa meraih handuk yang tergeletak di bawah lantai, kemudian dia lilitkan kembali pada tubuh polosnya. Posisi Gisa masih membelakangi Catra. "Apa?? Kecelakaan??" pekik Catra terkejut. Salep yang tengah dia pegang, jatuh begitu saja. Gisa mencoba bangkit. Dia berpegangan pada ujung kloset. Kondisi perut Gisa yang semakin membesar, membuat dia kesusahan, bahkan hanya untuk berdiri. Catra masih mematung. Dia memperhatikan Gisa secara diam-diam. "Shit!!" pekiknya dalam hati. Nuraninya tergerak melihat Gisa yang untuk bangun saja sulit. Catra sadar semua ulahnya. Dialah penyebab utama dari membesarnya perut Gisa. Dengan tiba-tiba, Catra menggendong tubuh Gisa, dan membawanya masuk kedalam kamar. "Aaaaaa ... " pekik Gisa terkejut.
"Baby ... " panggil Catra saat masuk kedalam rumah Gisa. Sudah empat hari berturut-turut, Catra mengunjungi rumah mantan istrinya. Sejak pulang dari Swiss, Catra berniat memenangkan kembali hati Dean. Dean masih belum luluh, dia masih acuh dengan Catra. Dean tampak menoleh sesaat, kemudian kembali fokus pada bukunya. "Mommy kemana?" tanya Catra saat tak mendapati Gisa di sana. Dean menggedikan bahu, sebagai jawaban. Dia masih tetap fokus dengan buku yang di bacanya. "Baby, mau ikut ke zoo?" Catra mulai melancarkan aksinya. Dia membujuk Dean dengan mengajaknya jalan-jalan. Namun, Catra lupa, anaknya berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Dean masih membisu. Dia hanya menjawab ajakan Catra dengan gelengan kepala. Catra menarik nafas. Dia sudah kehilangan akalnya. Segala cara yang Abhi sarankan sudah Catra coba. Namun, sang anak masih tidak bergeming. Dia masih tidak tertarik dengan segala hal yang Daddy-nya tawarkan. Catra meny
"Kamu!!!" ucap Catra dingin, dengan tangan terangkat menunjuk wajah pria yang datang bersama Gisa. "Ayo kak Nio, ikut sarapan juga," ajak Gisa pada Ardenio yang datang bersamanya. Pria yang datang bersama Gisa adalah Ardenio Galaksi Sky. Gisa tidak menghiraukan Catra, yang terlihat kesal saat melihat Ardenio. "Jangan sungkan! Kita sudah biasa, numpang sarapan di sini," cicit Abhi, sambil mengarahkan tangan pada dadanya dan pada Catra. Catra mendelik tajam. Dia tidak suka mendengar kata "numpang" yang Abhi lontarkan. Ardenio, duduk di samping Abhi, berhadapan langsung dengan Catra. Sementara Gisa, duduk di samping Dean, bersebelahan dengan Catra. Catra tersenyum sinis, untuk menyapa Ardenio. Ardenio membalasnya dengan senyuman ramah. "Kalian dari mana?" tanya Abhi, melupakan nasehat Dean, yang memintanya untuk diam saat makan. "Mommy, Dean selesai!" lapor Dean pada mommy-nya, dengan tangan bergerak membersihkan mulutnya menggunakan serb
Catra berjalan masuk kedalam perusahaan, sambil menggendong tubuh mungil Dean, yang terlelap di atas bahunya. Lengan sebelah kanan menyangga tubuh Dean, sementara lengan sebelah kirinya menenteng tas dinosaurus milik Dean, yang sudah terisi penuh dengan buku-buku baru. Para pegawai kantor di buat tersihir dengan ketampanan duda dua anak tersebut. Catra sosok sempurna dari seorang pria idaman wanita. Tampan, kaya, populer. Wanita mana yang dapat menolak pesonanya? Siang ini catra datang dengan kemeja hitam yang dua kancing teratasnya dia biarkan terbuka. Warna tersebut begitu kontras dengan warna kulit Catra yang putih. Abhi berjalan di belakang Catra, sambil menjinjing tas kerja milik bos-nya itu. Sementara Novera, berjalan di depan Catra, untuk membuka akses jalan, yang akan membawa Catra menuju lantai atas, tempat kantornya berada. "Kerja woy!!" ucap Abhi memperingatkan para pegawai yang mematung, menatap kepergian Catra. Para karyawan wanit
Sebelum membaca bab ini, harap baca ulang bab sebelumnya. ^^ *** Peletak! Catra menyentil dahi Gisa menggunakan telunjuk dan ibu jari yang dia lipat. "Gila mommy bilang?" tanya Catra. Nada bicaranya sudah lebih lembut daripada sebelumnya. Catra kemudian mengusap kepala Gisa dengan lembut. Tubuh Catra sedikit condong ke depan, menatap manik coklat milik Gisa. "Ya. Sepertinya Daddy memang gila. Daddy gila karena berpisah dengan, mommy," ucap Catra terdengar seperti sebuah gombalan. Sejak kapan seorang Catra yang terkenal dingin, sudi melontarkan gombalannya di tempat seperti ini? Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tau. Gisa mengerutkan kening, melihat perubahan Catra yang tiba-tiba. "Sepertinya lift ini berhantu. Kenapa si keras kepala ini berubah lembut dalam beberapa saat saja?" batin Gisa berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak heran, beberapa waktu yang lalu, saat mereka berdua bercerai, Catra terkesan dingin dan tidak ramah dengan Gisa. Tapi saat ini, Catra kembali pad
Novera sudah berlalu beberapa langkah dari hadapan Catra yang saat ini masih mengumpat, mengutuk Novera, yang sudah menghancurkan kegiatan intim dari bos-nya itu. Novera dengan terpaksa harus kembali ke hadapan Catra, dengan konsekuensi amarah dari bos-nya itu akan meledak kembali, begitu melihat dirinya. "Apalagi sekarang?!" Seperti dugaan Novera sebelumnya, Catra menaikan nada suaranya, begitu melihat Novera kembali. "He ... he ... " Novera tersenyum kaku, sambil tangannya sedikit menggaruk leher bagian belakangnya. "Sepuluh menit lagi kita ada rapat, pak!!" ucap Novera dalam satu tarikan nafas. Dengan cepat Novera membungkuk hormat, dan bergegas pergi sebelum Catra benar-benar mengeluarkan sumpah serapahnya. Catra memejamkan mata, sambil menghembuskan nafasnya secara kasar. Mood dia hari ini benar-benar hancur. Dia sudah cukup lelah, sehingga melupakan rapat yang sudah diaturnya dari jauh-jauh hari. Sebuah tangan lembut, menepuk punggungnya dengan pelan, seakan-akan tengah menen
Dengan wajah menahan kesal, pada akhirnya Catra tetap mengikuti Gisa untuk masuk kedalam hotel. "Kenapa harus di hotel?" pikir Catra dalam hatinya. Tidak jauh berbeda dengan Catra, disepanjang jalan menuju tempat pertemuannya, Gisa pun memasang wajah cemberut. Dia malu dengan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan heran. Bagaimana tidak heran, Gisa mengenakan setelan olahraga dipadukan dengan Stiletto dan tas pesta yang berkilau. Setelah keduanya berjalan di tengah keheningan, akhirnya mereka sampai di tempat yang menjadi tujuan Gisa. Sebuah restoran mewah, di lantai atas hotel. Catra tersenyum kecil, mentertawakan pikiran kotornya sendiri. "Oh ... di sini," celetuk Catra membuat Gisa menatapnya dengan tatapan tajam. "Ya! Menurut Daddy," Gisa mengangkat jari kemudian menunjuk dirinya sendiri. "Apa pantas memakai pakaian seperti ini saat masuk kedalam?" tanya Gisa sinis. "Tidak masalah. Mommy datang dengan piyama pun, tidak akan ada yang berani menegur mommy," jawab Catra denga