Share

Bab 2. Bertemu Kembali.

"Nona, sebentar!" ucap pria yang berada didalam lift tadi, sambil tangannya meraih lengan Gisa.

Gisa mengerutkan keningnya bingung, sambil mencoba melepaskan tangan si pria tersebut.

"Oh, sorry!" ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

Pria tersebut mengambil saputangan dari dalam saku celananya, kemudian dia berjongkok. Dililitkan sapu tangan tersebut pada pergelangan kaki Gisa yang terluka. "Sebaiknya nona periksakan luka nona ke rumah sakit!" lanjutnya.

Setelah berucap demikian, dia langsung pergi menaiki mobil mewah berharga fantastis, yang sedang menunggunya di depan lobi, sebelum Gisa sempat mengucapkan terima kasih pada pria tersebut.

Gisa hanya mematung sambil melihat ke arah pria yang sudah menjauh tersebut. "Terima kasih! Setidaknya, masih ada orang asing yang mau peduli dengan wanita ini," lirihnya pelan.

***

Saat ini Gisa tengah berada di dalam sebuah taxi yang akan membawanya menuju rumah sakit. Dia menyandarkan kepalanya pada jok mobil, dengan mata yang terpejam. Jangan tanya bagaimana keadaan hatinya saat ini!

Gisa meraih hand bag yang ia letakan di sebelahnya, saat suara nyaring telepon genggam berbunyi dari dalam sana.

"Iya Dokter? Apa terjadi sesuatu dengan bibi saya?" tanyanya lirih, saat nama Dokter Riadi, terpangpang di telepon genggam miliknya.

"Sebelumnya, saya ingin memberitahu Nona, kalau batas waktu untuk operasi pemasangan ring pada jantung bibi anda, adalah minggu ini. Dokter yang akan melakukan operasi, pada Minggu depan akan kembali ke Jerman. Untuk lebih lanjutnya lagi, saya tunggu Nona di ruangan saya besok pagi!" jelas dokter Riadi yang merupakan dokter jantung yang menangani Serravina, bibi dari Gisa.

"Baik Dokter. Sebelum pergi bekerja, saya usahakan untuk menemui Dokter terlebih dahulu," terangnya.

Gisa menarik nafasnya dalam. Saat ini, dia harus memutar otaknya untuk mendapatkan biaya operasi bibinya yang tidak sedikit tersebut. Sang kekasih, yang menjadi harapan Gisa satu-satunya malah berkhianat.

Gisa meringis saat kakinya terasa perih. Terlalu banyak yang Gisa pikirkan sehingga dia melupakan luka yang ada dipergelangan kakinya.

Gisa melihat saputangan biru dongker yang membalut lukanya. Diusapnya saputangan tersebut dengan lembut. Ujung dari saputangan itu, terdapat bordiran bertuliskan "C, D, G".

Gisa menepuk bahu sang sopir pelan. "Pak, tolong berhenti di klinik terdekat," pintanya lembut pada pria paruh baya yang tengah mengemudikan taxi tersebut.

"Baik neng, kebetulan tidak jauh dari sini ada klinik yang buka 24 jam," jelas sang sopir taxi.

Taxi yang Gisa tumpangi berjalan membelah jalanan ibu kota yang sepi petang ini.

Belum sampai setengah jalan, telepon genggam milik Gisa, kembali berdering. Kali ini nomor yang tidak di kenal yang memanggilnya. Gisa mengerutkan keningnya bingung. Dia merasa tidak pernah menghubungi nomor tersebut.

"Siapa?" tanyanya sambil melihat kembali nomor yang berjejer di layar.

"Apa mungkin, Bik Minah?" tanyanya pada diri sendiri. "Dean ...," gumamnya pelan menyebutkan nama seseorang, saat ingatannya tertuju pada Bik Minah tetangganya.

Gisa segera mengangkat panggilan tersebut dengan tergesa. "Halo," jawabnya.

"Nirwasita Gistara Savrinadeya?" tanya seorang pria bersuara serak dan berat menyebutkan nama lengkap Gisa.

Gisa mengerutkan keningnya, semakin bingung dengan si penelepon. Siapa dia sampai hapal nama lengkap Gisa, pikirnya.

"Iya," jawabnya singkat.

"Anda ditunggu di Rumah Sakit Queen Elizabeth sekarang! Jangan sampai telat jika Anda, masih ingin bekerja di Perusahaan Ganendra!" Ancamnya.

"Ta-tapi ... " jawab Gisa terbata. Namun panggilan tersebut sudah terputus. Gisa menghembuskan nafasnya kasar.

"Menyebalkan! Dia seenaknya saja memerintah," gerutu Gisa dalam taxi membuat sang sopir tersenyum geli melihat wajah Gisa yang berubah-ubah.

"Pak, putar balik! Kita pergi menuju Rumah Sakit Queen Elizabeth. Cepat ya, Pak." Pinta Gisa pada sang sopir. Gisa menggagalkan rencananya untuk ke klinik dan lebih memilih pergi ke rumah sakit. Jangan sampai Gisa dipecat. Dia masih membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kehidupan orang-orang tersayangnya.

"Baik, neng," jawab sang sopir.

Pak sopir menancap gas agar cepat sampai di tempat tujuan. Kebetulan petang ini jalanan sepi.

Gisa sampai di Rumah Sakit Queen Elizabeth. Dia menghabiskan 20 menit di jalan dari seharusnya 35 menit.

Di pintu masuk sudah ada Abhinav, yang sedang menunggu kedatangan Gisa. Dia melambai ke arah Gisa. Gisa menengok kiri dan kanan untuk melihat siapa yang Abhinav sapa. Saat kiri dan kanan Gisa tidak ada orang, Gisa menunjuk dirinya sendiri sambil bergumam tanpa suara, "Saya?" tanyanya.

Abhinav mengangguk sambil berjalan kearah Gisa.

"Yu, masuk!" Abhinav mempersilahkan Gisa berjalan di depannya.

"Bapak yang menghubungi saya?" tanya Gisa bingung. Abhinav merupakan atasan Gisa di kantor. Dia cukup populer diantara para pekerja wanita. Bahkan gosip yang berkembang di lingkungan kerjanya, Abhinav adalah CEO di perusahaan tempat Gisa bekerja.

"Nanti saya jelaskan! Sekarang kamu ikut, saya!" jawab Abhi sambil masuk ke dalam lift yang akan membawanya menuju ruang VVIP.

Lift yang mereka naiki sampai di lantai teratas rumah sakit. Ruangan tersebut begitu mewah dengan segala fasilitas yang eksklusif.

Gisa berjalan di depan Abhi, saat Abhi menyebutkan kalau mereka akan pergi menuju ruang VVIP II.

Abhi menatap heran Gisa, saat Gisa dengan lancarnya menemukan ruang VVIP II tempat tujuan mereka.

Bagaimana karyawan biasa bisa tahu tentang ruangan yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang rela menghabiskan 25 juta semalam hanya untuk sewa kamarnya saja dan itu belum termasuk biaya perawatan.

Namun, keingintahuan Abhi ia pendam karena saat ini ada yang lebih penting dari itu semua. Abhi bisa kehilangan segalanya jika telat semenit saja.

Gisa sudah berdiri di depan pintu ruang VVIP II. Dia ragu untuk masuk ke dalam. Gisa berbalik. Posisi Abhi saat ini kurang lebih 6 meter di belakang Gisa. Abhi menyuruh Gisa masuk terlebih dahulu, dengan menggerakan tangannya kedepan seperti gerakan mengusir.

Gisa membalikan kembali tubuhnya, untuk mengetuk pintu. Namun sayang, yang Gisa ketuk bukan pintu, melainkan dada bidang seorang pria.

Gisa meringis. Dia arahkan pandangannya ke atas. Matanya bertemu kembali dengan mata hijau pria yang menolongnya tadi sore. Namun matanya yang sekarang, terlihat jauh lebih dingin dan misterius. Reflek Gisa memundurkan tubuhnya beberapa langkah.

"Kamu?!" pekik Gisa sambil menunjuk wajah si pria.

Ira Riswana

Terimakasih sudah membaca ❤️❤️ Dukung terus dengan cara masukan buku ini kedalam rak kalian kemudian vote dan beri bintang 5 nya ya 🤗🤗🤗 Sekecil apapun bentuk dukungan kalian, sangat berarti bagi Author ❤️❤️

| 34
Komen (15)
goodnovel comment avatar
Shaska Bimo
sangat menarik
goodnovel comment avatar
Kezia Pascha
ceritanya bagus banget
goodnovel comment avatar
Santen kecut
kenapa baru tau ada cerita sebagus ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status