Tubuh tegap tersebut masih memeluk tubuh rapuh Gisa. "Maaf, selama 3 tahun ini aku tidak bisa melindungi kamu dan anak kita. Terima kasih sudah bertahan ditengah hujatan dan cacian yang kamu dapatkan dari orang-orang," ucap Catra dalam hati.
Ya, laki-laki yang menjadi penyelamat Gisa hari ini adalah Catra. Laki-laki yang bahkan lamaran dadakannya Gisa tolak. Awalnya Gisa pikir Catra akan ikut menghujatnya atau bahkan tertawa puas dengan apa yang Gisa alami saat ini.
Mungkin Catra akan berpikir Gisa sedang menerima karma atas penolakannya semalam, pikir Gisa. Namun Catra justru memeluknya, merangkulnya seolah-olah dia berkata semua akan baik-baik saja. Entahlah pelukan tersebut begitu menenangkan. Seperti pelukan seseorang yang Gisa rindukan namun entah siapa Gisa pun tidak mengerti.
Dia bawa tubuh rapuh itu kedalam gendongannya. Orang-orang didalam restoran saling melempar pandang dengan seribu tanya dibenak mereka. Bagaimana seorang Catra Ganendra yang terkenal anti dengan perempuan sekarang justru menggendong perempuan yang bahkan memiliki seorang anak haram.
Gisa menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Catra yang terasa padat saat pipinya menempel disana. Ada gelanyar aneh yang menyelusup masuk kedalam relung hati Gisa. Gisa mencoba meraih kewarasannya kembali. "Sadar Gisa! Dia bos kamu di kantor," rutuk Gisa dalam hati.
Catra terus berjalan melewati orang-orang yang terus menatapnya heran. Catra juga tidak menghiraukan Nirwan dan Jocelyn yang terus memanggilnya. Catra hanya lurus berjalan untuk keluar dari restoran tersebut.
Gisa menepuk dada Catra pelan, "Pak, sekarang bapak bisa menurunkan saya," bisik Gisa pada Catra.
Catra hanya menatap Gisa tajam tanpa menghiraukan permintaan Gisa. Catra terus berjalan sambil memangku tubuh era ramping Gisa.
"Pak," panggil Gisa kembali sambil menepuk dada Catra dua kali berharap Catra mendengar panggilannya.
"Ckk ... " decak Catra kesal. Dia langsung menurunkan Gisa dari gendongannya sambil melihat apa yang akan Gisa lakukan.
"Aw ... aw ... " pekik Gisa saat kakinya menyentuh lantai. Gisa reflek memegang lengan berotot Catra.
"Ckk ... " Catra berdecak kembali. "Masih mau jalan kaki?" tanya Catra sedikit menyindir sambil menampilkan senyum sinisnya. Gisa menunduk sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Apa yang dilakukan Gisa benar-benar membuat Catra gemas. Ingin sekali Catra menjewer hidung mungil Gisa, namun Catra harus bisa menahan egonya.
Catra membawa kembali tubuh ramping Gisa kedalam gendongannya. Sesaat kemudian pegawai valet datang membawa mobil mewah Catra.
Catra memasukan Gisa kedalam mobil. Setelah sabuk pengaman Gisa terpasang, Catra berjalan mengelilingi mobilnya untuk duduk dibagian pengemudi. Setelah semuanya siap, Catra mengemudikan mobil itu menjauh dari arah kantor Ganendra Group yang memang dekat dengan Restoran Mega Diamond tempat Catra membuat janji temu dengan Nirwan Radeya yang ternyata ayah dari Gisa.
Gisa menatap heran Catra yang membawanya menjauh dari perusahaan. "Kit_" ucap Gisa terpotong saat dilihatnya Catra sedang berbicara dengan seseorang melalui saluran telepon miliknya.
"Siapkan ruang perawatan di Queen Elizabeth sekarang juga!" perintahnya pada seseorang.
"Iya, sekarang!" tegasnya kembali. Catra melihat jam mahalnya kemudian dia berkata, "25 menit lagi kami sampai di sana. Siapkan juga spesialis ortopedi terbaik," perintahnya.
Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Catra kembali fokus pada jalanan. Ketampanan nya bertambah 100 persen saat tengah fokus sepeti itu. Wajah Gisa merona saat memikirkan apa yang Catra lakukan untuk nya.
Dia menyembunyikan rona di wajahnya dengan memalingkan wajahnya melihat kearah luar jendela. Gisa tidak ingin di cap sebagai wanita gampangan. Cukup mantannya saja yang memanfaatkan kebaikan Gisa.
Gisa fokus kembali kedepan saat dirasa wajahnya sudah kembali normal. "Terimakasih," ucap Gisa tulus.
"Hanya itu saja?" tanya Catra pada Gisa. Gisa mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" tanya Gisa bingung.
"Cck.." Catra berdecak untuk kesekian kalinya. "Aku tidak butuh terimakasih kamu. Untuk sekarang yang aku butuhkan hanya seorang istri." Jawab Catra to the point.
Gisa melongo dengan mulut sedikit terbuka. Gisa mengira kalau Catra akan menyerah memintanya menikah saat tau status Gisa yang sudah mempunyai seorang putra. Namun dugaan Gisa salah. Catra masih tetap memaksa Gisa untuk menikah dengannya.
"Saya tau kamu membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengobati bibimu," ucap Catra sambil matanya tetap fokus pada jalanan. "Kenapa kamu tidak mengambil kesempatan ini?" tawar Catra pada Gisa.
Gisa terpekur. Tidak bisa dipungkiri kalau Gisa memang sedang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dia sudah tidak memiliki jalan keluar lain setelah mendapat tindakan kasar dari ayah dan ibu tirinya.
Bahkan sangat mustahil untuk Gisa meminta biaya operasi bibinya setelah dengan terang-terangan Catra membatalkan kesepakatan kerjanya dengan Nirwan sang ayah. Pasti ayah dan ibu tirinya akan menuduh Gisa sebagai tersangka utama dibalik dibatalkannya kesepakatan tersebut.
Gisa menggigit bibir bagian bawah miliknya. Kebiasaan Gisa dari dulu, saat dia sedang gelisah Gisa selalu melakukan hal tersebut. Catra jadi gemas sendiri saat melihatnya.
"Khem ... " dehem Catra saat pikiran kotor mulai merasuki otaknya. Cepat-cepat Catra mengalihkan perhatiannya. "Shit ... " umpat Catra dalam hati.
Gisa masih tidak sadar apa yang dilakukannya berpengaruh besar terhadap Catra. Gisa masih terus menggigit bibir bagian bawah miliknya. Gisa menghentikan kebiasaannya tersebut saat dia menemukan solusi dari kegelisahannya.
Gisa menyerongkan tubuhnya menghadap Catra yang sedang mengemudi, "Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk menikah!" ucap Gisa membuat Catra bersorak dalam hati. Kemudian Gisa melanjutkan kalimatnya, "Tapi ... " Ucapnya terjeda.
Gisa menyerongkan tubuhnya menghadap Catra yang sedang mengemudi, "Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk menikah!" ucap Gisa membuat Catra bersorak dalam hati. Catra mengangguk pelan dengan wajah dibuat sebiasa mungkin nyaris tanpa ekspresi. Jangan sampai Gisa tau kalau sebenarnya saat ini Catra tengah bereuphoria merayakan kemenangannya. Kemudian Gisa melanjutkan kalimatnya, "Tapi ... " ucapnya terjeda. Catra mengerutkan keningnya mendengar kata "tapi" yang Gisa lontarkan. "Saya ingin pernikahannya dilakukan di kantor catatan sipil tanpa pesta resepsi," lanjut Gisa. Catra memelankan laju kendaraannya kemudian berhenti di pinggir jalan yang jauh dari keramaian. Catra arahkan wajahnya menghadap Gisa dengan kedua tangan bertumpu pada setir mobil. "Kenapa?" tanya Catra bingung. Gisa menelan ludahnya dengan susah payah saat wajah tampan Catra sangat dekat dengannya. Mata hijau Catra menatap penuh intimidasi. Gisa tidak gentar! Dia melanjutka
Catra masuk kedalam ruangannya disambut kehebohan Abhi saat melihat Catra menggendong Dean. Abhi yang awalnya sedang duduk di kursi kebesaran Catra, langsung berdiri dan berjalan kearah Catra yang datang sambil membawa Dean di pangkuannya. "Wah ... wah ... wah ... " seru Abhi sambil bertepuk tangan. "Benar-benar little Catra. Lihatlah bagaimana cara dia menatap uncle, nya. Sama persis seperti kamu, Catra." Lanjut Abhi saat melihat Dean menatap Abhi dengan tatapan dingin seperti mengintimidasinya. Biasanya anak 2 tahun akan menangis saat bertemu dengan orang baru. Namun Dean berbeda. Dia terlihat sedang memprovokasi lawan bicaranya. Benar-benar gambaran seorang Catra. Wajahnya boleh mirip Gisa, namun segala sifatnya menurun dari Catra. "Ckk ... cepat bilang, ada hal penting apa yang ingin kamu sampaikan?!" tanya Catra sedikit menggerutu pada Abi sambil mendudukan Dean di sofa ruangannya. "Hay boy. Nama kamu siapa?" tanya Abhi pada Dean sambil m
Catra ketar ketir mencari keberadaan anaknya. Ia masuk kedalam toilet, namun nihil Dean tidak ditemukan didalam sana. Catra kemudian berlari menuju restoran. Disana pun tak ditemukan sosok Dean. Catra bertanya kepada orang-orang yang ada di dalam restoran, mereka yang melihat Dean mengatakan kalau Dean keluar dari dalam restoran. Catra mencoba untuk tenang. Dia menelpon salah satu bodyguard yang selalu mengikuti Catra kemanapun Catra pergi. Bodyguard tersebut masuk kedalam mall untuk mencari Dean serta meminta rekaman Cctv dari pengelola mall. Sementara Catra terus mencari di sekitar restoran. Catra sudah frustasi. Bagaimana kalau Gisa tau bahwa anaknya hilang? Catra yakin, Gisa bukan hanya membatalkan pernikahan mereka saja tapi juga akan membunuh Catra. Orang-orang yang tau siapa Catra menatap kagum pria yang terlihat sedang panik itu. "Dean, maaf ... Daddy bahkan tidak becus menjaga kamu!" lirih Catra dengan kedua tangannya ia simpan di pinggang dan kepala
Saat ini Catra tengah berdiri di depan sebuah pintu ruang rawat inap seseorang. Catra menarik nafasnya dalam sebelum masuk kedalam ruangan tersebut. Catra mengetuk pintu pelan. Terdengar jawaban dari dalam ruangan tersebut. Catra masuk dengan disambut tatapan penuh tanya perempuan paruh baya yang tengah berbaring diatas ranjangnya. Saat ini Catra sedang menemui Serravina, yang selama 3 tahun terakhir sudah merawat Gisa dan Dean sang anak. Serravina merupakan adik dari Arsita, mendiang ibunya Gisa. Nama depan Gisa sendiri diambil dari gabungan nama ayah dan ibunya, Nirwan dan Arsita. Catra mendekat kearah Bibi Sera kemudian membungkuk hormat. Bibi Sera mengerutkan dahinya bingung melihat seorang pria yang tidak dia kenal langsung membungkuk hormat padanya. Namun tak urung Bibi Sera pun membalas dengan membungkukkan tubuhnya setelah dia mendudukkan bokongnya diatas ranjang. Serravina dipindahkan pagi tadi atas perintah Catra semalam. Rencananya Catra ak
Pagi-pagi sekali Catra sudah meninggalkan ruangan tempat dia menghabiskan malam pertamanya bersama Gisa. Bukan di hotel ataupun resort mewah di sebuah pulau, tetapi di rumah sakit tempat Gisa dirawat. Malam pertamanya pun tidak seperti pasangan lainnya yang dipenuhi dengan desahan dan erangan. Malam pertama Catra dan Gisa, mereka habiskan dengan tidur di tempat masing-masing. Gisa diatas ranjang bersama Dean, sementara Catra tidur diatas sofa bed. Baik Gisa maupun Dean, mereka masih terlelap saat Catra meninggalkan ruang rawat inap tersebut. Pagi ini Catra ada meeting penting dengan beberapa klien. Rencananya Gisa akan keluar rumah sakit siang ini. Sebelum meninggalkan rumah sakit tersebut, Gisa berniat untuk menemui bibinya terlebih dahulu. "Mommy sudah cembuh?" tanya Dean saat melihat Gisa sudah berjalan tanpa kursi roda. "Ya, Mommy sudah sembuh!" jawab Gisa mencoba membenarkan perkataan Dean. "Dean ikut Mommy ketemu nenek ya," ajak Gisa pad
Tangan Catra dia letakan disisi kanan dan kiri meja. Sementara tubuh Gisa terpenjara di tengah-tengah tangan Catra. Dia mencondongkan tubuhnya, kedepan badan Gisa. Gisa menahan dada Catra dengan kedua tangannya. "Pak ... a ... Anda mau apa?" tanya Gisa tergagap dengan jantung yang bertalu kencang. Catra menyeringai dengan seringai yang cukup membuat Gisa ketakutan dan semakin mengeratkan tangannya pada dada Catra. Gisa bahkan dapat merasakan tekstur padat dari dada bidang Catra yang sedang disentuhnya. Gisa memejamkan kedua matanya saat tubuh Catra semakin menempel dan menekan tubuh bagian depan dari Gisa. Sekiranya Catra akan meminta haknya malam ini, Gisa hanya bisa pasrah. Dia teringat kembali nasehat dari bibinya tadi pagi yang meminta Gisa bertindak sebagaimana seorang istri harus bertindak. Namun setelah beberapa saat, yang Gisa rasakan tubuh kekar Catra menjauh, "Nnnngggg" suara bising dari alat pengering rambut yang Gisa dengar kemudia
Pagi-pagi sekali Gisa terbangun dari tidur lelapnya. Semalam Gisa sempat mengkhawatirkan Dean yang mulai tidur terpisah dengannya. Namun saat melihat Cctv yang tersambung pada monitor di kamarnya, Gisa dapat tidur dengan tenang saat dilihatnya Dean langsung tertidur pulas walau harus tidur ditemani Bu Bertha. Selain mengkhawatirkan Dean, Gisa juga belum terbiasa dengan kebiasaan barunya karena harus tidur bersebelahan dengan Catra. Pengetahuan baru Gisa tentang Catra suaminya adalah, Catra si gila kerja yang saat waktunya tidur pun' dia akan membawa MacBook nya keatas tempat tidur dan mulai memeriksa ulang pekerjaannya. Gisa beranjak dari tempat tidur untuk pergi mencuci wajah dan mengganti pakaiannya. Namun kemana suaminya pergi saat jam masih menunjukkan pukul 6 pagi? Saat bangun tidur, Gisa mendapati dirinya hanya seorang diri di atas tempat tidur mewahnya. Setelah membereskan tempat tidur dan menyiapkan pakaian kerja untuk Catra, Gisa pergi menuju
Gisa dan Dean sudah siap didepan meja makan masing-masing. Gisa duduk di kursi sebelah tempat Catra nanti akan duduk. Sementara Dean duduk di high chair baru miliknya yang sudah Catra persiapkan sebelum Dean tinggal dirumahnya. Gisa juga sudah rapih dengan setelan kerjanya. Hari ini Gisa memakai Kemeja kuning yang di kombinasikan dengan flared shirt dengan panjang sebetis warna putih dan Stiletto yang senada dengan warna pakaiannya. Rambut Gisa selalu dia gerai guna menutupi tato yang ada di belakang lehernya. Mereka belum memulai sarapan karena masih menunggu Catra yang masih sibuk didalam ruang kerja miliknya yang ada di lantai dua. Saat Gisa akan bangkit untuk memanggil suaminya, Catra keluar dari dalam lift dengan menenteng tas kerja beserta sehelai dasi yang masih berada didalam genggamnya. Catra letakan tas dan dasi tersebut diatas kursi kosong di sebelahnya. Gisa menyajikan makanan yang sudah dia buat tadi pagi, kemudian diletakkannya didepan m