Gisa menyerongkan tubuhnya menghadap Catra yang sedang mengemudi, "Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk menikah!" ucap Gisa membuat Catra bersorak dalam hati.
Catra mengangguk pelan dengan wajah dibuat sebiasa mungkin nyaris tanpa ekspresi. Jangan sampai Gisa tau kalau sebenarnya saat ini Catra tengah bereuphoria merayakan kemenangannya.
Kemudian Gisa melanjutkan kalimatnya, "Tapi ... " ucapnya terjeda. Catra mengerutkan keningnya mendengar kata "tapi" yang Gisa lontarkan. "Saya ingin pernikahannya dilakukan di kantor catatan sipil tanpa pesta resepsi," lanjut Gisa.
Catra memelankan laju kendaraannya kemudian berhenti di pinggir jalan yang jauh dari keramaian.
Catra arahkan wajahnya menghadap Gisa dengan kedua tangan bertumpu pada setir mobil. "Kenapa?" tanya Catra bingung. Gisa menelan ludahnya dengan susah payah saat wajah tampan Catra sangat dekat dengannya. Mata hijau Catra menatap penuh intimidasi.
Gisa tidak gentar! Dia melanjutkan kembali syarat yang akan diajukannya pada Catra tanpa menjawab pertanyaan pertama yang Catra tanyakan.
"Sebentar Pak, saya belum selesai!" sergah Gisa sambil memundurkan badannya. Catra mengangguk setuju sambil tangannya mempersilahkan Gisa melanjutkan persyaratannya.
"Setelah menikah, saya masih diijinkan bekerja di perusahaan Bapak dan melanjutkan magang saya." Gisa mengajukan syarat kedua.
Catra semakin mengerutkan dahinya. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Gisa. Disaat dia sudah menjadi seorang istri dari Catra Ganendra pemilik perusahaan terbesar di Indonesia, Gisa masih mau bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik suaminya tersebut. Benar-benar perempuan langka pikir Catra.
"Oke, tidak masalah," jawab Catra sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil dengan kedua tangan ia lipat di dada dan mata terpejam.
"Persyaratan ketigaaa ... " ujar Gisa menjeda. "Setelah menikah, kita tidur terpisah sampai saya benar-benar siap," desis Gisa pelan namun masih dapat didengar oleh Catra.
Catra mendudukan tubuhnya dengan matanya menatap Gisa tajam. "Permintaan macam apa itu?! Poin ketiga saya tolak!" Tegas Catra pada Gisa kemudian melajukan kembali kendaraannya.
Gisa memberenggut kesal. Dia tekuk wajahnya disepanjang jalan menuju rumah sakit.
Setelah berkendara cukup lama, akhirnya mereka berdua sampai di rumah sakit Queen Elizabeth. Benar saja, Gisa dan Catra sudah di sambut beberapa perawat dan seorang dokter yang di yakini Gisa sebagai dokter spesialis ortopedi sesuai permintaan Catra tadi di telepon. Gisa digendong kembali oleh Catra saat turun dari dalam mobil.
Seorang perawat pria tengah berdiri dengan kursi roda ditangannya. Dia menyapa Gisa dan Catra ramah. Namun Catra melewatinya begitu saja dan memilih menggendong Gisa untuk sampai di ruang rawat inapnya. Lagi-lagi Gisa dibuat tersipu oleh keposesifan Catra.
Gisa pikir, walaupun yang Catra lakukan hanya sebuah topeng untuk merebut hati Gisa, dia tidak akan mempermasalahkannya. Saat ini Gisa tengah menikmati diperlakukan istimewa oleh seorang pria.
Catra membawa Gisa masuk kedalam ruangan bernuansa putih dengan furniture didominasi motif kayu minimalis. Ruangan tersebut tidak kalah eksklusifnya dengan ruangan rawat inapnya Kayanna.
Catra letakan tubuh Gisa diatas tempat tidur untuk selanjutnya dokter spesialis ortopedi akan memeriksa kaki Gisa. Dari awal pemeriksaan sampai selesai Catra tidak beranjak sejengkal pun dari samping Gisa.
Dia menggenggam tangan Gisa yang sesekali tangan tersebut meremas saat dokter sedang melakukan tindakan pengobatan. Suster yang ada didalam ruangan tersebut mencuri pandang kearah Catra yang begitu perhatian dengan Gisa. Mereka iri dengan perlakuan manis Catra. Namun sayang perlakuan istimewa tersebut hanya berlaku untuk Gisa. Kepada perempuan lain Catra cenderung acuh dan tidak peduli.
"Untuk 3 hari kedepan, kamu tinggal di sini dulu. Ada suster yang akan merawat, kamu," jelas Catra pada Gisa saat para suster dan dokter telah pergi meninggalkan ruangan tempat Gisa dirawat.
"Saya harus pulang, Pak! Saya tidak enak pada tetangga yang sudah mau menjaga Dean seharian," jelas Gisa.
Catra melangkahkan kakinya mendekati kaca besar yang menampilkan pemandangan ibu kota dari ketinggian. Catra masukan sebelah tangannya pada saku celana miliknya. "Kamu tidak perlu khawatir, biar saya yang menjaga De ... de ... " ucap Catra terbata mencoba mengingat nama anaknya.
"Dean," terang Gisa. "Deankara Kamazuya Ravindra," lanjutnya.
"Ya, saya akan menjaga Dean sementara waktu. Dan mulai dari sekarang, nama belakang Dean menjadi Ganendra!" jelas Catra membuat Gisa terharu.
Gisa mencoba menutupi perasaan harunya dengan tertawa namun dengan tawa yang dia tahan. Catra membalikan tubuh tegapnya menghadap Gisa dengan alis yang berkerut. "Kamu ragu saya bisa menjaga anak kecil?" tanyanya pada Gisa.
"Khem ... hem ... " dehem Gisa menormalkan kembali ekspresi wajahnya setelah melihat wajah garang Catra. "Bukan begitu, Pak. Saya hanya takut Bapak kerepotan kalau harus menjaga Dean yang sedang dalam fase akti-aktifnya," jelas Gisa berusaha menjelaskan agar bosnya tidak tersinggung.
Catra tidak menjawab pernyataan Gisa, dia mendekat kearah Gisa, "Kamu istirahat, saya harus kembali ke kantor," pamitnya pada Gisa. Gisa hanya mengangguk. Kemudian merebahkan tubuhnya saat Catra menghilang dibalik pintu.
***
Saat ini, Catra tengah berjalan memasuki perusahaan miliknya. Orang-orang dikantor mendadak heboh saat Catra datang dengan menggendong seorang anak laki-laki tampan yang mereka yakini sebagai anak dari bosnya saat melihat kemiripan di bagian mata dan bibirnya.
Kacamata hitam bertengker di hidung Catra. Kemeja hitam digulung sebatas sikut dengan 3 kacing teratas yang terbuka memperlihatkan dada bidang Catra. Tangan sebelah kanan menggendong Dean sementara tangan sebelah kiri menenteng tas yang berisi pakaian Dean. Catra sangat layak di nobatkan sebagai hot papa.
Karyawan wanita di kantor tersebut mendadak patah hati mengetahui kalau bos mereka telah memiliki seorang anak yang sangat tampan. Mereka yakin kalau ibu dari anak tersebut pun tidak kalah cantiknya.
Setelah pulang dari rumah sakit, Catra berinisiatif menjemput Dean untuk dia bawa pulang. Setelah meyakinkan tetangga Gisa yang menjaga Dean kalau Catra benar-benar ayahnya, akhirnya Catra bisa membawa Dean untuk ikut bersamanya.
Catra membawa Dean ke kantornya karena Abhi tiba-tiba menelpon Catra untuk bertemu dan ada hal penting yang perlu Abhi sampaikan secara langsung pada Catra.
Catra mengacuhkan para karyawan yang secara terang-terangan sedang membicarakannya. Kebanyakan dari mereka memuji ketampanan anaknya juga membicarakan kemiripan beberapa bagian wajah Catra yang ada pada anaknya.
Catra menyunggingkan senyum bangganya telah memiliki anak seperti Dean sebelum akhirnya masuk kedalam lift eksekutif khusus untuknya.
Masih di lokasi yang sama dengan Catra, seseorang tengah memperhatikan Catra yang tengah menggendong anak kecil.
Dia tersenyum kearah Catra kemudian berkata, "Ayo kita pulang! Kita kembali lagi nanti saat waktunya tepat. Cari tahu semua tentang anak itu!" perintahnya pada seseorang yang bersama dengannya.
Catra masuk kedalam ruangannya disambut kehebohan Abhi saat melihat Catra menggendong Dean. Abhi yang awalnya sedang duduk di kursi kebesaran Catra, langsung berdiri dan berjalan kearah Catra yang datang sambil membawa Dean di pangkuannya. "Wah ... wah ... wah ... " seru Abhi sambil bertepuk tangan. "Benar-benar little Catra. Lihatlah bagaimana cara dia menatap uncle, nya. Sama persis seperti kamu, Catra." Lanjut Abhi saat melihat Dean menatap Abhi dengan tatapan dingin seperti mengintimidasinya. Biasanya anak 2 tahun akan menangis saat bertemu dengan orang baru. Namun Dean berbeda. Dia terlihat sedang memprovokasi lawan bicaranya. Benar-benar gambaran seorang Catra. Wajahnya boleh mirip Gisa, namun segala sifatnya menurun dari Catra. "Ckk ... cepat bilang, ada hal penting apa yang ingin kamu sampaikan?!" tanya Catra sedikit menggerutu pada Abi sambil mendudukan Dean di sofa ruangannya. "Hay boy. Nama kamu siapa?" tanya Abhi pada Dean sambil m
Catra ketar ketir mencari keberadaan anaknya. Ia masuk kedalam toilet, namun nihil Dean tidak ditemukan didalam sana. Catra kemudian berlari menuju restoran. Disana pun tak ditemukan sosok Dean. Catra bertanya kepada orang-orang yang ada di dalam restoran, mereka yang melihat Dean mengatakan kalau Dean keluar dari dalam restoran. Catra mencoba untuk tenang. Dia menelpon salah satu bodyguard yang selalu mengikuti Catra kemanapun Catra pergi. Bodyguard tersebut masuk kedalam mall untuk mencari Dean serta meminta rekaman Cctv dari pengelola mall. Sementara Catra terus mencari di sekitar restoran. Catra sudah frustasi. Bagaimana kalau Gisa tau bahwa anaknya hilang? Catra yakin, Gisa bukan hanya membatalkan pernikahan mereka saja tapi juga akan membunuh Catra. Orang-orang yang tau siapa Catra menatap kagum pria yang terlihat sedang panik itu. "Dean, maaf ... Daddy bahkan tidak becus menjaga kamu!" lirih Catra dengan kedua tangannya ia simpan di pinggang dan kepala
Saat ini Catra tengah berdiri di depan sebuah pintu ruang rawat inap seseorang. Catra menarik nafasnya dalam sebelum masuk kedalam ruangan tersebut. Catra mengetuk pintu pelan. Terdengar jawaban dari dalam ruangan tersebut. Catra masuk dengan disambut tatapan penuh tanya perempuan paruh baya yang tengah berbaring diatas ranjangnya. Saat ini Catra sedang menemui Serravina, yang selama 3 tahun terakhir sudah merawat Gisa dan Dean sang anak. Serravina merupakan adik dari Arsita, mendiang ibunya Gisa. Nama depan Gisa sendiri diambil dari gabungan nama ayah dan ibunya, Nirwan dan Arsita. Catra mendekat kearah Bibi Sera kemudian membungkuk hormat. Bibi Sera mengerutkan dahinya bingung melihat seorang pria yang tidak dia kenal langsung membungkuk hormat padanya. Namun tak urung Bibi Sera pun membalas dengan membungkukkan tubuhnya setelah dia mendudukkan bokongnya diatas ranjang. Serravina dipindahkan pagi tadi atas perintah Catra semalam. Rencananya Catra ak
Pagi-pagi sekali Catra sudah meninggalkan ruangan tempat dia menghabiskan malam pertamanya bersama Gisa. Bukan di hotel ataupun resort mewah di sebuah pulau, tetapi di rumah sakit tempat Gisa dirawat. Malam pertamanya pun tidak seperti pasangan lainnya yang dipenuhi dengan desahan dan erangan. Malam pertama Catra dan Gisa, mereka habiskan dengan tidur di tempat masing-masing. Gisa diatas ranjang bersama Dean, sementara Catra tidur diatas sofa bed. Baik Gisa maupun Dean, mereka masih terlelap saat Catra meninggalkan ruang rawat inap tersebut. Pagi ini Catra ada meeting penting dengan beberapa klien. Rencananya Gisa akan keluar rumah sakit siang ini. Sebelum meninggalkan rumah sakit tersebut, Gisa berniat untuk menemui bibinya terlebih dahulu. "Mommy sudah cembuh?" tanya Dean saat melihat Gisa sudah berjalan tanpa kursi roda. "Ya, Mommy sudah sembuh!" jawab Gisa mencoba membenarkan perkataan Dean. "Dean ikut Mommy ketemu nenek ya," ajak Gisa pad
Tangan Catra dia letakan disisi kanan dan kiri meja. Sementara tubuh Gisa terpenjara di tengah-tengah tangan Catra. Dia mencondongkan tubuhnya, kedepan badan Gisa. Gisa menahan dada Catra dengan kedua tangannya. "Pak ... a ... Anda mau apa?" tanya Gisa tergagap dengan jantung yang bertalu kencang. Catra menyeringai dengan seringai yang cukup membuat Gisa ketakutan dan semakin mengeratkan tangannya pada dada Catra. Gisa bahkan dapat merasakan tekstur padat dari dada bidang Catra yang sedang disentuhnya. Gisa memejamkan kedua matanya saat tubuh Catra semakin menempel dan menekan tubuh bagian depan dari Gisa. Sekiranya Catra akan meminta haknya malam ini, Gisa hanya bisa pasrah. Dia teringat kembali nasehat dari bibinya tadi pagi yang meminta Gisa bertindak sebagaimana seorang istri harus bertindak. Namun setelah beberapa saat, yang Gisa rasakan tubuh kekar Catra menjauh, "Nnnngggg" suara bising dari alat pengering rambut yang Gisa dengar kemudia
Pagi-pagi sekali Gisa terbangun dari tidur lelapnya. Semalam Gisa sempat mengkhawatirkan Dean yang mulai tidur terpisah dengannya. Namun saat melihat Cctv yang tersambung pada monitor di kamarnya, Gisa dapat tidur dengan tenang saat dilihatnya Dean langsung tertidur pulas walau harus tidur ditemani Bu Bertha. Selain mengkhawatirkan Dean, Gisa juga belum terbiasa dengan kebiasaan barunya karena harus tidur bersebelahan dengan Catra. Pengetahuan baru Gisa tentang Catra suaminya adalah, Catra si gila kerja yang saat waktunya tidur pun' dia akan membawa MacBook nya keatas tempat tidur dan mulai memeriksa ulang pekerjaannya. Gisa beranjak dari tempat tidur untuk pergi mencuci wajah dan mengganti pakaiannya. Namun kemana suaminya pergi saat jam masih menunjukkan pukul 6 pagi? Saat bangun tidur, Gisa mendapati dirinya hanya seorang diri di atas tempat tidur mewahnya. Setelah membereskan tempat tidur dan menyiapkan pakaian kerja untuk Catra, Gisa pergi menuju
Gisa dan Dean sudah siap didepan meja makan masing-masing. Gisa duduk di kursi sebelah tempat Catra nanti akan duduk. Sementara Dean duduk di high chair baru miliknya yang sudah Catra persiapkan sebelum Dean tinggal dirumahnya. Gisa juga sudah rapih dengan setelan kerjanya. Hari ini Gisa memakai Kemeja kuning yang di kombinasikan dengan flared shirt dengan panjang sebetis warna putih dan Stiletto yang senada dengan warna pakaiannya. Rambut Gisa selalu dia gerai guna menutupi tato yang ada di belakang lehernya. Mereka belum memulai sarapan karena masih menunggu Catra yang masih sibuk didalam ruang kerja miliknya yang ada di lantai dua. Saat Gisa akan bangkit untuk memanggil suaminya, Catra keluar dari dalam lift dengan menenteng tas kerja beserta sehelai dasi yang masih berada didalam genggamnya. Catra letakan tas dan dasi tersebut diatas kursi kosong di sebelahnya. Gisa menyajikan makanan yang sudah dia buat tadi pagi, kemudian diletakkannya didepan m
"Aaa ... Anda_" kalimatnya terpotong karena bibir Gisa langsung dibungkam oleh bibir lembut Pria yang aroma parfumnya cukup familiar bagi Gisa. Parfum beraroma Woody yang memberi kesan maskulin dan lembut. Dia adalah Catra Ganendra, CEO yang mengusirnya dari ruang rapat tanpa belas kasihan. Bibir Catra terus mencium bibir mungil Gisa dengan rakusnya. Merasa tidak ada respon dari Gisa, Catra menggigit bibir bagian bawah Gisa. Secara otomatis mulut Gisa terbuka dan Catra mulai membelit kan lidahnya dan mengabsen setiap titik yang ada di sana. Gisa memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan suaminya. "Mmmh ... " lenguh Gisa saat tangan Catra mulai masuk kedalam kemeja kerja miliknya. Gisa dengan reflek mendorong tubuh kekar Catra setelah dirasa hampir kehabisan oksigen. "Jangan," tolak Gisa. "Bagaimana kalau ada yang masuk," desisinya pelan. Catra mendudukan sebagian bokongnya pada wastafel. Dia raih tubuh Gisa untuk berdiri di hadapannya dengan kedua