Berkomitmen dalam hubungan asmara adalah suatu hal yang kutakuti. Dengan trauma dan semua kekuranganku, aku ragu bisa menjalin hubungan yang baik dalam hal percintaan. Membayangkan memiliki ikatan perasaan dengan seseorang saja sudah membuat resah, apalagi harus berhadapan dengan keluarganya.
Sikap mama Arsya yang dingin terhadapku saat aku ke rumah sakit beberapa hari lalu menambah keyakinanku akan hal tersebut. Ia mungkin berpikir bahwa aku benar pacar Arsya, tidak mengetahui bahwa kami memiliki sebuah perjanjian. Wajar saja jika ia ingin mengetahui banyak hal tentangku. Mereka adalah keluarga berada, tentu mama Arsya tak ingin sembarang orang menjadi kekasih putranya.
Aku menghela napas untuk menghilangkan pikiran yang tak seharusnya menggangguku itu. Arsya telah keluar dari rumah sakit kemarin. Hasil CT Scan kepala dan tulang punggungnya pun baik-baik saja. Kabar yang cukup membuatku lega. Siang ini Arsya akan datang. Aku sempat melarangnya karena dia baru sembuh
Sebuah mobil sedan memasuki pekarangan luas kediaman Hadinata. Sepasang pria dan wanita muda tampak keluar dari mobil setelah diparkirkan. Abelia mengikuti Arsya yang menuntunnya memasuki rumah besar berwarna putih itu. Ini pertama kalinya Abelia datang ke rumah keluarga Arsya. Hatinya merasa tak menentu. Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu lalu mengantar mereka dari foyer hingga ke ruang tamu. Telah ada tiga orang duduk menunggu di sana. Yunita, Derry, dan Delisha. Abelia menghentikan langkah sejenak. Keresahannya bertambah karena melihat Derry. Apakah hal yang ingin dibicarakan Yunita ada kaitannya dengan mantan bosnya itu? Arsya juga merasa heran melihat kehadiran Derry dan Delisha. Namun, ia tak mengatakan apa pun. Setelah mempersilakan Abelia duduk, ia lalu duduk tepat di samping wanita itu. Tak memedulikan Delisha yang menatap mereka cemburu. Abelia menyapa mereka satu per satu sambil mengulas senyum, meski tak berbalas. "Ada apa, Ma?" Arsya membuka percakapan. Tak
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemenku, kami hanya saling mengunci suara. Arsya sepertinya memahami bahwa aku sedang tak ingin bicara. Pun saat kami duduk bersisian di sofa setibanya di apartemen. Entah berapa lama kami berdiam diri hingga kemudian Arsya menggenggam tanganku. Dari sudut mata kulihat ia memandangiku. "Kamu sudah tahu bagaimana keluarga saya." Aku tertawa pahit, lantas menoleh padanya. "Kamu pasti ingin menertawakan saya." Arsya menggeleng. "Tidak ada alasan bagi saya untuk menertawakanmu." Kembali aku mengalihkan pandangan dan berkata, "Kehidupan saya menggelikan. Ayah saya berselingkuh. Kakak saya membenci adiknya sendiri. Lalu saya adalah seorang pecundang yang menyimpan luka dan memendam trauma demi sebuah citra keluarga yang baik-baik saja." "Setiap keluarga pasti mempunyai masalahnya sendiri, memiliki ketidaksempurnaan yang enggan ditunjukkan pada orang-orang." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan mempunyai kelu
Langit sore yang cerah masih berada di atas sana. Awan berarak membentuk gumpalan putih yang kemudian terputus-putus. Semilir angin meniup daun-daun pada pepohonan yang berderet di sepanjang jalan. Aspal hitam yang panjang membentang tampak begitu mulus, tak terdapat lubang sedikit pun. Dua orang anak laki-laki tampak berjalan dengan riang. Seorang yang lebih tinggi memimpin di depan sambil bersiul. Sesekali tangannya memetik rerumputan tinggi di pinggir jalan. Sedangkan di belakang, sang adik mengikutinya dengan langkah-langkah kecil. Kadang ia berlari untuk mengimbangi kakaknya. "Senangnya bisa bermain di luar lagi!" seru Arsen gembira. "Kita mau ke mana, Kak?" Arsya bertanya penasaran. "Sudah, ikuti saja." Arsya menoleh ke kanan dan kiri. Jalanan itu sepi. Tak ada siapa pun selain mereka berdua. Kendaraan juga tak ada yang lewat. Arsya merasa asing. Seharusnya mereka masih berada di jalan raya sekitar kompleks perumahan. Namun Arsya merasa
Seorang pemuda melangkah keluar dari pesawat yang baru saja ditumpanginya dengan perasaan riang. Ia telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Senyum tak henti menghiasi wajahnya ketika berada di dalam taksi yang membawanya dari lokasi bandara di Tangerang menuju Jakarta. Ini bukan pertama kalinya ia menjejakkan kaki di ibu kota. Namun kali ini akan berbeda karena ia akan menetap. Setelah mendapat panggilan wawancara kerja dari sebuah perusahaan besar di Jakarta, Dikta langsung terbang dari Lampung. Wawancara kerja itu adalah seleksi akhir dan ia yakin akan lolos. Kalaupun akhirnya tidak lolos, ia berencana akan tetap berada di ibu kota untuk mencari pekerjaan lain. Dikta menghela napas ketika sopir taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah indekos. Dikta telah berjanji dengan salah seorang temannya bahwa ia akan menginap di kamar indekos temannya tersebut selama ia mencari indekos yang lain. Namun beberapa jam menunggu, batang hidung si kawan tak juga muncul. Sa
Delisha menoleh ke arah pintu ruangan Arsya. Ia tahu pria itu tak akan menerimanya masuk. Arsya bahkan sudah pernah memperingatkannya untuk tak lagi datang ke gedung PT. Vibrant Indo Manufacture. Namun, Delisha seakan tak peduli. Ia kerap datang ke sana di sela jam makan siang, kadang membawakan kotak bekal untuk Arsya. Kali ini Delisha kembali gigit jari karena Arsya masih belum mau menemuinya. Sambil menghela napas, Delisha menitipkan kotak bekal yang dibawanya pada sekretaris Arsya. Para pegawai PT. Vibrant Indo Manufacture sudah memaklumi tingkah Delisha. Sudah tersebar kabar bahwa Delisha adalah kerabat Arsya yang pernah dijodohkan semasa kecil. Tentu saja Delisha yang pertama kali menginformasikan hal tersebut. "Jangan lupa kasih bekalnya ke Pak Arsya," ucap Delisha sekali lagi pada sekretaris Arsya, lalu ia beranjak. Baru saja ia ingin meninggalkan kantor Arsya ketika seorang pemuda menyapanya. Ternyata pemuda itu adalah Dikta, adik kelasnya saat SMA yang sekarang sudah menja
Kedatangan Dikta untuk menetap di Jakarta membuatku merasa serba salah. Di satu sisi, aku merasa senang karena kehadiran Dikta mengobati sedikit rasa rinduku pada kampung halaman. Namun di sisi yang lain, aku merasa khawatir ia akan mengetahui tentang hubunganku dengan Arsya dan perjanjian di antara kami.Andai keadaannya berbeda, aku pasti sudah menyewa kontrakan sederhana di pinggir kota dan tinggal bersama Dikta. Namun semuanya telah terjadi. Jika mengurut ke belakang tentang penyebab semua ini, pikiranku akan semakin penuh. Aku menghela napas, hanya bisa berharap bahwa Dikta tidak akan mengetahuinya.Menatap layar ponsel, aku teringat bahwa aku belum menanyakan di perusahaan mana Dikta bekerja. Perlahan kupilih nomor kontak Dikta untuk meneleponnya. Namun jemariku terhenti saat melihat panggilan masuk dari sederet nomor asing. Ragu sesaat, tetapi kemudian kuangkat panggilan itu."Halo. Apa benar ini nomor ponsel Abelia?" Suara lembut keibua
Dua minggu sudah Dikta bekerja di PT. Vibrant Indo Manufacture. Ia masih menunggu ajakan makan siang bersama Delisha seperti yang dijanjikan oleh gadis itu. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Dikta mendapat telepon dari Delisha saat sedang memikirkannya. Siang itu mereka berjanji untuk makan bersama di sebuah kafe. Dikta merapikan sedikit kemejanya saat akan memasuki kafe. Delisha sudah duduk menunggu sambil menikmati secangkir latte. Ia tersenyum kala melihat Dikta yang tentu saja dibalas oleh pemuda itu dengan senyuman dan wajah semringah. Apalagi saat dilihatnya penampilan Delisha yang rapi dan berseri. "Jadi, kamu bisa masuk di PT. Vibrant Indo Manufacture atas rekomendasi siapa?" Delisha memulai pembicaraan setelah pramusaji mengantarkan makanan mereka. "Tidak atas rekomendasi siapa-siapa, Kak. Kemarin mereka memang sedang membuka lowongan pekerjaan dan aku mencoba mengikuti seleksi," jawab Dikta sambil mengunyah makanannya. "Really? Saya kira atas rekomendasi kakak kamu." Delisha
Pagi itu, Arsya segera membuka rapat ketika semua peserta telah berkumpul. Dikta memperhatikan sikap si direktur muda yang bicara seperlunya, tidak banyak tersenyum ataupun beramah-tamah. Sama sekali tak tampak seperti bos genit meskipun memiliki sekretaris yang muda dan cantik. Namun, siapa yang tahu perilakunya di luar kantor? Maka Dikta tak ingin cepat menyimpulkan dan masih mencoba menilik gerak-gerik sang bos. Sebuah pertanyaan melintas di benak Dikta. Kalau memang Arsya dan Abelia memiliki hubungan, bagaimana keduanya bisa saling mengenal? Tentu tidak mudah bisa mengenal apalagi mendekati seorang direktur perusahaan besar seperti Arsya.Lamunan Dikta buyar ketika mendengar Arsya meminta laporan dari setiap manajemen. "Penjualan alat berat mengalami kenaikan 15% dibandingkan tahun lalu. Permintaan terhadap produksi alat berat juga terus naik. Sebanyak 60% penjualan kita adalah untuk sektor pertambangan, sisanya untuk sektor lain termasuk konstruksi. Produksi alat berat PT. Vibra