Share

MELODI ABELIA
MELODI ABELIA
Penulis: khairunnisastuff

1. How It Started

Mereka bilang, cinta itu sederhana. Hanya saja para pencinta yang membuatnya rumit. Benarkah begitu? Kurasa ada benarnya. Karena kita mengalaminya. Kitalah dua orang rumit itu, yang memilih menyatukan cinta di atas asa genting yang siap menjatuhkan kita kapan saja. Kita bertahan meski benteng pertahanan hampir runtuh, meski kewarasan jiwa nyaris luruh. Tapi tak apa, aku bahagia bisa saling menguatkan denganmu.

Akan tetapi, semua keyakinanku hancur berantakan saat kamu memilih untuk menghilang dalam persembunyian. Kamu mungkin tak akan pernah kutemukan lagi, tapi kenangan tentangmu tetap menyala dan tak pernah mati. Aku merindukanmu, kamu tahu itu. Maka aku merajut rangkaian kata ini, menulis kisah kita sehingga kenangan-kenangan kita tak menjadi layu. Agar aku tetap kuat menjaga rindu hingga yang aku mampu.

Kisah kita mungkin tak akan ada artinya bagi mereka. Mungkin mereka akan menganggapnya sebagai cerita cinta picisan yang membangkitkan halusinasi. Tapi biarlah. Kita tak perlu membuat mereka mengerti. Aku akan tetap menulisnya. Cerita cinta yang manis namun pelik, seperti gerimis yang kerap mengusik. Meski rumit, aku berjanji akan menuliskannya dengan sederhana sehingga para pembaca aksara tak sulit mencari makna.

***

Kata orang, kehidupan di ibu kota itu kejam. Namun banyak juga yang menganggapnya begitu indah. Sering kali orang-orang yang belum pernah menjejakkan kaki ke sana—menganggap Jakarta begitu gemilang, penuh gemerlap. Menjanjikan harapan pada sosok-sosok pengais rupiah. Memamerkan kecemerlangan masyarakat modern. Nyatanya, setelah kau menapak kaki di sana, Jakarta tak segemilang dan segemerlap itu. Tapi juga tak seburuk yang sering didengar. Kejam dan indah, dua kata kontras yang bisa mewakili ibu kota.

Aku adalah salah seorang perantau di Jakarta yang padat dan sesak ini. Kota asalku berada di Sumatera, tepatnya di kota Lampung. Keadaan finansial keluargaku menurun setelah kepergian ayah. Setamat kuliah, aku—anak perempuan satu-satunya—menjadi tulang punggung untuk ibuku dan adikku. Sementara kakakku sudah menikah dan tak bisa membantu keuangan keluarga kami karena keluarga kecilnya pun sangat membutuhkan.

Dua tahun yang lalu, aku memutuskan berangkat ke Jakarta agar mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Meskipun gajiku hanya sedikit di atas UMR (Upah Minimum Regional), tapi setidaknya UMR di ibu kota lebih tinggi daripada UMR di provinsi asalku. Sedangkan biaya hidup bisa dibilang tidak terlalu jauh berbeda.

Namun ternyata tetap saja, selama bekerja uangku tercurah untuk membiayai semua keperluan ibu dan adikku, kadang-kadang juga membantu kakakku. Aku harus sangat berhemat sejak berada di perantauan. Tinggal di indekos sederhana, makan seadanya, dan menabung sedikit demi sedikit. Tapi tak pernah kuceritakan tentang kesulitan yang kualami pada keluargaku di sana.

Aku bekerja di sebuah perusahaan outsourcing swasta—yang masih terbilang baru—sebagai akuntan sekaligus staf administrasi. Semuanya baik-baik saja sampai kemudian bencana itu datang. Aku difitnah telah menggelapkan uang. Bosku murka dan memecatku. Tidak hanya itu, dia juga mem-blacklist namaku agar tak ada perusahaan lain yang mau menerimaku. Masih kuingat dengan jelas betapa menyakitkannya kejadian tersebut.

“Apakah Anda punya bukti atas tuduhan itu?” tanyaku menantang mata sang pemimpin perusahaan, tak terima atas tuduhannya. “Bukannya perusahaan sudah memeriksa rekening saya? Semuanya sudah jelas bahwa tidak ada transaksi mencurigakan di dalamnya.”

“Ya. Uang itu memang tidak masuk ke rekening pribadimu, melainkan rekening lain yang bukan atas nama kamu. Tapi sudah pasti rekening itu milikmu juga, hanya kamu palsukan saja datanya.” Derry Laksmana—bosku itu—berkata sinis tanpa menoleh padaku.

Keningku berkerut. “Bagaimana bisa itu menjadi bukti dan bagaimana bisa Anda menyimpulkan bahwa rekening itu milik saya?” cecarku. “Coba tunjukkan data rekening itu. Perusahaan tentunya bisa menyelidiki, supaya jelas semuanya.”

“Abelia, kamu adalah akuntan di perusahaan ini. Kamu yang menangani laporan keuangan. Sudah pasti kamu yang melakukannya.” Lelaki paruh baya itu menunjuk wajahku. “Apalagi ada saksi mata.” Ia lalu mengalihkan pandangannya acuh tak acuh.

“Saya tidak terima tuduhan Anda yang tanpa bukti! Kalau memang ada saksi matanya, coba katakan pada saya siapa mereka!” tantangku sambil menahan air mata, hampir hilang kesabaran.

“Sudahlah, Abelia!” Bosku itu membentakku. “Masih untung kamu cuma saya berhentikan dan saya blacklist. Bagaimana kalau sampai saya bawa kasus ini ke meja hijau?!”

“Kenapa Anda mengancam saya?! Bukankah saya yang seharusnya melaporkan tuduhan tanpa bukti ini ke pihak yang berwajib?! Apalagi cara Anda memberhentikan saya tidak sesuai SOP perusahaan," balasku.

“Ini perusahaan saya, terserah saya!” tukasnya. “Silakan saja kalau kamu mau melaporkan ke polisi! Kamu pikir kamu bisa memenangkan kasus? Saya tahu kamu berasal dari kalangan menengah ke bawah dan tulang punggung keluargamu. Mana mungkin kamu punya uang untuk menyewa pengacara.” Lelaki tua itu terkekeh.

Meski menyakitkan, aku tahu apa yang ia bilang itu benar. Jangankan untuk menyewa pengacara, untuk biaya hidupku dan keluargaku saja kadang aku kesulitan. Aku benar-benar kecewa. Loyalitas dan kontribusiku pada perusahaan harus dibalas dengan fitnah seperti ini. Rasanya aku ingin menggebrak meja, lalu mengacak-acak semua yang berada di atasnya. Namun, itu tak kulakukan. Aku memilih pulang sambil menyeka air mata.

Sesaat kupejamkan mata untuk meredakan sesak karena mengingat kejadian tersebut. Entah siapa pelaku fitnah itu, sampai sekarang aku tak tahu. Satu hal yang jelas, ulahnya telah membuatku menjadi seorang pengangguran yang mengenaskan. Tak ada panggilan dari lamaran pekerjaanku ke beberapa perusahaan setelahnya. Sepertinya namaku benar-benar telah di-blacklist oleh mantan bosku itu. Mencari pekerjaan di sektor non-formal pun sudah sulit karena usiaku kini sudah 27 tahun.

Resahku semakin tak berarah ketika kemudian persediaan uangku semakin menipis. Aku lebih mengutamakan membayar indekos karena si pemilik indekos bukanlah seorang dermawan yang berkenan memberi penangguhan pembayaran. Sebenarnya kemarin aku punya tabungan meski tak banyak. Tapi sebelum aku dipecat dari pekerjaanku, semua tabunganku itu sudah kupinjamkan pada kakakku yang memerlukan biaya untuk melahirkan anak ketiganya.

Meminjam uang kepada rekan-rekan kerjaku kemarin rasanya tak mungkin. Terlihat sekali mereka menghindariku setelah pemecatan itu. Aku dikeluarkan langsung dari chat group perusahaan. Sedangkan meminjam uang kepada teman-teman indekos sudah kucoba, namun mereka juga sedang kesulitan. Barang berharga pun tak ada yang bisa kujual. Laptopku sudah usang, sedangkan ponsel tak mungkin kujual karena merupakan alat komunikasi dan pencari informasi.

Di saat buntu itulah kemudian aku mengenalnya. Seorang pria bernama Arsya Hadinata. Dia mengaku sebagai seorang direktur utama di perusahaan tempatnya bekerja. Aku berkenalan dengannya dari situ kencan online. Dari perkenalan di situs itu, obrolan kami berlanjut ke aplikasi chat di ponsel. Sebelumnya tidak mudah bagiku memberikan nomor ponsel pada orang asing, tetapi entah kenapa aku bisa memberikannya pada pria itu.

Obrolanku bisa dibilang sangat mengalir dengannya. Setelah dua minggu mengenal secara online, dia mengajakku bertemu. Sejujurnya aku merasa takut. Bisa saja dia penipu atau hanya seorang pria hidung belang. Sudah banyak aku membaca berita penculikan atau penipuan setelah bertemu dari situs kencan online. Namun, kemudian aku tetap memutuskan untuk menemui Arsya dengan harapan aku bisa mendapatkan pekerjaan darinya.

Dari sinilah kisahku dan Arsya dimulai.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status