Share

2. Permintaan Mama

“Sudah saatnya kamu memiliki pendamping hidup, Arsya.” Yunita berkata pada anak laki-lakinya.

Arsya tak menyahuti perkataan wanita paruh baya di hadapannya. Ini bukan pertama kalinya sang mama menyampaikan hal itu. Mengatakan padanya bahwa ia seharusnya sudah menikah. Padahal usia Arsya masih 28 tahun, belum mencapai kepala tiga. Masih bisa dibilang muda, apalagi untuk seorang laki-laki. Tapi Arsya sudah terbiasa. Sejak usianya 25 tahun, Yunita sudah mulai menyinggung soal pendamping hidup bagi Arsya.

Hal itu yang membuat Arsya sedikit enggan untuk pulang ke rumah orang tuanya, meski masih sama-sama berada di ibu kota. Ia lebih memilih berada di apartemennya. Bukannya ia tak menyayangi mamanya. Apalagi sejak papanya meninggalkan mereka beberapa tahun lalu, Arsya mengerti bahwa mamanya sering merasa kesepian berada di rumah. Namun tinggal sendiri sudah menjadi pilihan Arsya sejak ia selesai kuliah dulu. Ia hanya ingin merasa lebih leluasa.

“Kamu tahu Tante Rianti, 'kan?” tanya Yunita membuyarkan lamunan Arsya.

Arsya mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa yang dimaksud oleh Yunita.

“Tante Rianti mamanya Azkaa, loh,” sambung Yunita.

“Oh, ya,” sahut Arsya mendengar nama itu.

Azkaa adalah salah seorang kerabat yang sebaya dengannya. Mereka tidak terlalu dekat, hanya sering membicarakan tentang bisnis. Kebetulan perusahaan manufaktur yang dipimpin oleh Arsya merupakan pemasok ala-alat berat untuk perusahaan konstruksi milik Azkaa.

“Tante Rianti itu kan punya diabetes. Kemarin dia cerita sempat dirawat di rumah sakit beberapa kali karena komplikasi diabetes dan hipertensi,” ujar Yunita lagi.

Arsya hanya diam, menunggu Yunita melanjutkan perkataannya.

“Mama memang tidak mengidap diabetes seperti Tante Rianti. Mama juga bersyukur sampai sekarang mama sehat-sehat saja. Tapi yang namanya sudah tua, penyakit bisa saja menghampiri kapan pun.” Yunita kemudian meneguk jus jeruk di hadapannya.

Kini Arsya tahu ke mana arah pembicaraan Yunita. Ia menatap mamanya itu. “Mama akan sehat-sehat saja.”

Yunita tersenyum tipis. “Semoga.” Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kalau boleh mama meminta, saat mama masih sehat seperti ini, mama ingin melihatmu memiliki pendamping hidup.”

Perlahan Arsya menghela napas. “Saya sudah bilang, Ma. Saya akan menikah ketika saya sudah menemukan wanita yang tepat. Dan saat ini saya belum menemukannya.”

“Mama punya banyak teman yang memiliki anak perempuan. Dan kalau kamu masih ingat Delisha—”

“Saya juga sudah bilang bahwa saya tidak mau dijodohkan,” sela Arsya.

“Bukan bermaksud menjodohkan,” jawab Yunita pelan. “Hanya mencoba mengenalkan kamu dengan mereka. Mana tahu ada yang cocok.”

Arsya menggeleng. “Saya akan menemukan pendamping hidup saya sendiri.”

Akhirnya Yunita mengangguk. “Ya, sudah,” ucapnya memaksakan senyum.

Tak berapa lama Arsya bangkit dari duduknya dan berpamitan untuk pulang ke apartemen malam itu.

“Loh, tidak jadi menginap?” tanya Yunita.

“Maaf, Ma. Baru ingat besok ada meeting pagi,” dalih Arsya seraya beranjak.

Yunita kembali mengangguk kemudian mengantarkan anak laki-lakinya itu hingga masuk ke dalam mobil. Dengan tatapan hampa, Yunita memandang ke luar hingga mobil Arsya benar-benar berlalu. Ia baru masuk ketika Bi Diah—asisten rumah tangganya—mengajaknya masuk. Perlahan ia masuk ke rumah dan beranjak ke kamarnya.

Kembali Yunita mengingat pembicaraan singkatnya dengan Arsya tadi. Sebenarnya ia pun tak bermaksud mendesak Arsya untuk segera menikah. Tapi sepeninggalan suaminya, Yunita sering merasa rapuh. Ia selalu berpikir akan jatuh sakit dan tak sempat melihat Arsya menikah. Rasanya itu memang kekhawatiran banyak ibu di dunia ini, entah kenapa.

Namun ia sadar, hubungannya dengan sang anak memang bisa dibilang kaku. Arsya sejak kecil memang sangat pendiam dan tak banyak bicara, terlebih setelah kehilangan kakaknya. Yunita memiliki dua anak laki-laki, namun si sulung sudah meninggal dunia saat berusia 8 tahun. Arsen—anak sulungnya—hanya berbeda dua tahun dengan si bungsu, Arsya.

Yunita memejamkan matanya sejenak, tak ingin kehilangannya akan Arsen membuatnya semakin gundah. Arsen meninggal dunia karena kecelakaan, namun sampai sekarang ia tak tahu pasti bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Yunita menghela napas, kemudian mencoba untuk tidur.

***

Di kamar apartemennya, Arsya termenung. Teringat kembali akan permintaan sang mama agar ia segera memiliki pendamping hidup. Meski ia sudah terbiasa mendengarkan permintaan mamanya itu, kali ini rasanya cukup menyentuh hatinya. Selama ini ia memang tidak pernah memikirkan tentang pendamping hidup karena ia sibuk dengan pekerjaannya, masih belum ingin berkomitmen, dan belum menemukan wanita yang mampu memikat hatinya. Alasan-alasan klise yang membuatnya betah melajang.

Bukan berarti Arsya tidak pernah berkencan. Sebagai lelaki normal, tentu saja ia memiliki hasrat dan ia sesekali berkencan dengan wanita-wanita cantik, meski ia sangat pemilih. Namun tak pernah ia bermain hati dengan para wanita yang pernah dikencaninya walaupun banyak dari mereka yang menginginkan hubungan lebih dengannya. Dan sudah setahun belakangan ia tak lagi menyentuh wanita. Tak ingin ada drama, pikirnya.

Bayangan wajah seorang gadis melintas di kepalanya. Delisha, gadis yang berusia beberapa tahun lebih muda darinya dan merupakan anak seorang kerabat sekaligus teman baik mamanya. Arsya dan Delisha sewaktu kecil pernah dijodohkan. Tapi itu sekadar perjodohan masa kecil yang terlontar dari pembicaraan orang tua yang bersahabat. Setelah dewasa, perjodohan itu tak lagi terdengar meski kadang sang mama masih membicarakan Delisha.

Arsya benar-benar menjaga jarak dari Delisha. Bukan karena tak menyukai penampilan dan sifat wanita itu atau bagaimana. Delisha adalah gadis cantik dengan perilaku yang manis. Tapi Arsya memang tak memiliki perasaan pada wanita itu dan ia juga belum ingin membuka hati pada wanita mana pun. Dalam beberapa kesempatan pada acara-acara keluarga besar—yang kadang dihadirinya karena perintah sang mama—ia kerap bertemu dengan Delisha karena wanita itu selalu menghampirinya. Kabar yang ia dengar beberapa tahun belakangan ini, Delisha menetap di Balikpapan karena tuntutan pekerjaan.

Arsya menghela napas kemudian mengambil ponselnya. Tiba-tiba saja ia teringat akan obrolan dengan beberapa temannya beberapa waktu yang lalu. Mereka pernah menggunakan situs kencan online untuk mencari pasangan kencan, bahkan ada yang sampai menemukan jodoh. Arsya hanya diam mendengarkan saat itu karena sama sekali tak tertarik dengan topik obrolan. Tapi ternyata rekaman percakapan itu muncul lagi di kepalanya malam ini.

Haruskah dia mencoba bergabung di situs kencan online? Siapa tahu dari situ dia menemukan jodohnya dan memenuhi permintaan sang mama. Arsya menggeleng cepat. Konyol! Hal itu benar-benar bodoh untuk dilakukan. Seperti pria tak laku saja. Arsya disukai oleh banyak wanita dan mudah saja baginya untuk berkencan dengan wanita mana pun, hanya saja dia yang belum mau berhubungan serius dengan seorang wanita. Ia melempar ponselnya ke ranjang, lalu memutuskan untuk mandi. Ia membasahi seluruh tubuhnya dengan air yang mengucur dari shower, berharap pikiran bodohnya tadi lenyap.

Akan tetapi, setelah selesai mandi dan berbaring di ranjangnya, pikiran untuk bergabung dengan situs kencan online muncul lagi di kepalanya. Meski ia menganggap bahwa hal itu konyol, ia tak bisa menyangkal bahwa ia sangat penasaran untuk mencoba. Kemudian ia pun membiarkan jemarinya membuat akun dan mengisi profil di sebuah situs kencan online bernama TheCupid.

Damn it! Arsya memaki kebodohannya sendiri.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ayyona
nah...td baca Tante Rianti...lsg klik..eh beneran ada Azkaa ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status