Share

5. The Offer

Seminggu berlalu setelah pertemuanku dengan Arsya. Aku sudah mengirim lamaran ke perusahaan kolega Arsya. Akan tetapi dari sekian lamaran yang kukirim, tak ada satu perusahaan pun yang mengundangku untuk wawancara. Sampai pagi ini aku masih belum bersemangat melakukan apa pun. Mataku masih sembab karena menangis semalaman.

Aku masih berada di bawah selimutku menatap langit-langit, padahal hari sudah menjelang siang. Ini hari Senin, hari kerja, tapi tidak ada bedanya dengan akhir pekan untukku yang pengangguran ini. Aku benar-benar bingung. Beberapa hari lagi aku harus membayar uang indekos. Jangankan untuk bayar indekos, untuk biaya makan saja aku tak yakin akan cukup.

Saat aku sudah mulai akan menangis lagi, ponselku berdering. Aku tak berniat mengangkatnya. Sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun. Setelah beberapa kali berdering, lalu senyap, baru aku meraih ponselku. Ada pesan dari Arsya, dia mengajakku untuk bertemu lagi. Aku belum membalasnya, karena aku tidak tahu jawabannya. Apa aku harus menemuinya lagi? Tapi untuk apa? Aku memejamkan mata.

Tak lama pesan Arsya masuk lagi, kembali dia menanyakan jawabanku untuk bertemu lagi dengannya. Aku menghela napas. Lalu mengiakan ajakannya untuk bertemu, tapi tidak hari ini. Mana mungkin aku pergi dengan mata sembab seperti ini. Setelah membalas pesan Arsya, aku bertanya kepada diriku sendiri, kenapa aku mengiakan ajakannya. Mungkin dia bisa membantuku kali ini? Atau paling tidak aku bisa curhat padanya? Ah, entahlah. Kepalaku penuh. Aku hanya ingin tidur saat ini.

Esoknya aku menepati janjiku untuk menemui Arsya. Arsya masih memilih restoran yang sama dengan saat pertama kali kami bertemu beberapa hari lalu. Kali ini Arsya datang lebih dulu. Dia melemparkan senyum ketika aku berjalan ke arah mejanya. Dia memandangiku saat berjalan. Sepertinya dia memang suka membuatku salah tingkah.

"Sudah lama?" tanyaku ketika sudah duduk.

"Baru lima menit." Arsya kemudian memanggil pramusaji untuk memesan makanan.

Selanjutnya kami mengobrol seperti kemarin. Hal-hal ringan tentang hobi, musik, film, dan lainnya. Sampai Arsya menanyakan tentang lowongan pekerjaan di perusahaan koleganya yang dia kirimkan padaku. Aku menceritakan sejujurnya bahwa belum ada perusahaan yang meneleponku untuk wawancara dari beberapa perusahaan yang informasinya dia berikan kemarin.

"It's okay," ucapku sebelum Arsya memberikan tanggapan. Aku tidak mau dia merasa bersalah atau kasihan kepadaku. Dia mengangguk.

"Ada hal lain yang bisa saya bantu?" Arsya menatapku.

Aku tidak langsung menjawab.

"Apa boleh saya meminjam uangmu?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku membuatku sedikit terkejut. Pikiran untuk meminjam uang padanya memang sempat terlintas di kepalaku, tapi aku tidak percaya aku akan benar-benar mengatakannya.

"Untuk?"

Aku menghela napas sejenak. "Ya untuk banyak hal. Bayar indekos dan keperluan sehari-hari saya selama belum mendapat pekerjaan. Dan mungkin untuk modal, saya ingin mencoba membuka usaha kecil-kecilan," jawabku sedikit ragu karena aku memang tidak mempersiapkan jawaban ini sebelumnya.

Arsya memandangiku dengan tatapan menelisik. Wajar saja dia jika dia menaruh curiga padaku, karena kami baru saja kenal dan aku sudah meminjam uangnya. Aku sedikit menyesal. Tapi, ah, sudahlah. Sudah terlanjur.

"Saya bisa saja memberimu pinjaman," Arsya berhenti sejenak sebelum melanjutkan. "But there's no benefit for me."

"Benefit?" Aku mengerutkan kening.

"Yeah. There should be benefit for both of us."

"Maksud kamu bagaimana, Arsya?" Aku memang belum mengerti arah pembicaraan Arsya. Keuntungan apa maksudnya?

Arsya masih menatapku. Dari sudut mata kulihat ia mengetuk-ngetukkan salah satu jarinya pada meja. Kami saling berdiam diri untuk beberapa lama. Aku membenarkan rambutku dengan jemari untuk mengurangi kecanggungan.

"Abelia, sejak awal bertemu sebenarnya saya ingin mengatakan hal ini, tapi saya masih ragu." Ia membuka suara.

Aku tidak menjawab, menunggu Arsya melanjutkan ucapannya.

"Saya bisa memberimu uang dan kamu tidak perlu menggantinya. Tapi saya juga menginginkan sesuatu darimu."

Arsya terdengar sangat serius. Menginginkan sesuatu dariku?

"Menginginkan apa?" tanyaku sembari meneguk minumanku untuk meredakan dahaga yang datang tiba-tiba.

Ia menelusuri wajahku dengan tatapannya lalu berkata, "Be my sugar baby, Abelia."

Ucapan Arsya membuatku tersedak, lantas terbatuk. Nyaris saja gelas yang kupegang terlepas dari genggamanku. Tapi aku berusaha meredakan keterkejutanku agar tidak menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Are you okay?" Arsya terdengar khawatir namun juga terlihat tetap tenang.

Setelah batukku reda, aku berusaha mengatur napasku sebelum bicara.

"Maksud kamu kamu apa ingin menjadikan saya sugar baby?" tanyaku memastikan. Kupelankan suaraku karena tentu saja ini akan menjadi hal yang memalukan jika terdengar oleh yang lain.

Arsya memiringkan kepalanya sedikit. "Saya tidak yakin itu sebutan yang tepat, since we are at the same age. Tapi jika itu memang itu istilahnya, sebut saja begitu."

Sugar baby biasanya dijadikan sebutan untuk gadis yang hidupnya dibiayai oleh pria yang lebih tua dan umumnya sudah menikah. Walaupun istilah itu kurang tepat, tapi aku tahu apa yang dimaksud oleh Arsya.

Aku menghela napas panjang. "Maaf, Arsya. Tapi sepertinya kamu salah menilai saya.” Aku melihat ke sekeliling sebelum melanjutkan, “Saya tidak pernah menghakimi orang-orang yang melakukan hubungan suami istri di luar nikah. But for your information, saya bukan termasuk salah satunya. Saya tidak akan melakukan hubungan suami istri sebelum menikah. Jadi, sebaiknya kamu cari orang lain saja.”

Tak menjawab, Arsya memandangku lurus sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Sepertinya ia sedang memikirkan kata-kata untuk menanggapiku.

“Kalau kamu tidak bersedia meminjamkan uang pada saya, don't mind. Memang tidak seharusnya saya meminjamkan uang pada orang yang baru saja saya kenal. So, forget it.” Aku mengatur volume suaraku agar tidak terdengar orang di sekeliling kami, tapi juga terdengar cukup tegas untuk Arsya.

Ia menghela napas, lantas tersenyum. "Alright, Abelia. Actually it's not merely about making love in bed. Kita bisa buat kesepakatan. Jika kamu tidak ingin berhubungan intim, tidak masalah."

Aku mempelajari wajah Arsya. Tiba-tiba ada rasa takut yang menjalar di aliran darahku. Bagaimanapun dia adalah orang asing. Bisa saja dia menjebakku nantinya.

"Abelia, saya tidak bermaksud membuatmu takut atau bagaimana," ujar Arsya seperti membaca pikiranku. Ia masih berbicara dengan tenang. Sepertinya dia memang tidak pernah terlihat tidak tenang.

"Something you need to know is I'll never make love or do any affection without consent. So, I won't touch you if you don't allow me."

Aku tak menanggapi perkataannya.

“What I really intended is I want to spend more time with you." Arsya terdiam sejenak. "Jadi maksud saya, saya ingin kamu menemani saya. Saya ingin kita memiliki waktu bersama sepeti mengobrol, jalan-jalan, atau belanja kalau kamu mau. Oh, bagaimana mengatakannya?" Ia terlihat berupaya mencari kata-kata yang tepat.

"Anggap saja kita pacaran dan saya akan memberimu gaji pokok, insentif, tunjangan, dan bonus,” lanjutnya.

Tidak sekalian asuransi dan training? Aku menggerutu, tetapi lagi-lagi hanya dalam hati. Kusipitkan mata menatapnya kesal.

“Ini KTP, SIM, dan kartu nama saya kalau kamu khawatir bahwa saya adalah seorang penipu." Arsya mengeluarkan semua kartu itu dari dompetnya lalu menyerahkannya padaku.

Dengan ragu, kuperhatikan satu per satu tanda pengenal yang ia berikan. Semuanya sama persis dengan apa yang ia katakan padaku selama ini. Tapi bukan berarti dia tidak bisa menipu, bukan? Aku menyerahkan semua kartu itu kembali padanya, lantas memalingkan wajah sambil menyereput sisa minumanku.

Arsya berdehem. "Abelia, maaf kalau saya membuatmu merasa tidak nyaman.” Arsya menungguku menatapnya sebelum melanjutkan, "Tapi saya berharap kamu menerima tawaran saya."

Kulihat ada senyum di sudut bibirnya. Ia menyandarkan tubuhnya sambil masih memandung lurus ke arahku. Sebenarnya apa yang direncanakan oleh pria di hadapanku ini?

“Arsya, bukankah kamu adalah seorang direktur utama di sebuah perusahaan besar. Kamu berpenampilan baik dan punya banyak uang. Pasti akan banyak wanita yang mau menerima tawaranmu, mungkin termasuk soal ranjang. Tapi kenapa kamu justru memberikan tawaran itu pada saya?” Kuberanikan untuk menantang matanya.

Menarik tubuh dari posisi bersandarnya, pria itu kini menegakkan duduknya kembali. Tatapannya yang tajam mengunci mataku.

“I don't know. I want you.”

Sekilas ucapannya terdengar romantis. Namun, tidak. Perkataannya terdengar memuakkan di telingaku. Kembali kualihkan pandanganku darinya. Pria di depanku ini sepertinya hanyalah seorang pria angkuh yang berpikir bahwa semua keinginannya bisa terpenuhi hanya karena ia memiliki banyak uang. Dan apa katanya tadi? Dia menginginkanku? Kenapa dia menginginkanku sedangkan kami baru saja saling mengenal?

Ia masih masih menatapku lekat saat aku kembali menoleh. Sesaat aku bergidik. Siapa pria ini sebenarnya dan apa yang dia inginkan?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ayyona
ngakak aku...skalian training ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status