Share

7. The Agreement

Gelap. Kubiarkan mataku terpejam dan untuk menambah pekat, aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Berharap kegelapan ini dapat menelanku. Tapi aku tahu itu tak mungkin. Sepertinya aku memang harus menghadapi problematika hidup ini. Rasanya aku ingin menjadi tokoh dalam cerita romance yang permasalahannya hanya seputar cinta dan hal picisan lainnya. Tidak sepertiku yang harus menghadapi pelik karena masalah finansial.

Tawaran dari Arsya sudah terlanjur menerima. Namun, aku memilih sebutan perjanjian kami ini sebagai Relationship Contract dan Arsya menyetujuinya. Kami sudah berjanji untuk bertemu besok di restoran tempat dua pertemuan kami sebelumnya. Aku menghela napas sambil memikirkan apa yang harus kupersiapkan agar pria itu tak menjebakku nantinya. Ah, benar. Kontrak! Aku harus membuat kontrak.

Kontrak perjanjian kubuat ke dalam dua lembar kertas berukuran A4. Lembar pertama berisi penjelasan tentang pelaku kontrak. Lembar kedua berisi poin-poin ketentuan dariku. Sungguh aku risih menulisnya, namun harus kulakukan sebagai antispasi.

[Lembar Pertama]

Kontrak Perjanjian

Kontrak ini dibuat sebagai bentuk perjanjian atas penawaran yang diajukan oleh Arsya Hadinata kepada Abelia Renata untuk menyepakati sebuah Relationship Contract. Diharapkan keduanya mematuhi ketentuan yang tertulis dan hubungan ini dapat berlangsung secara profesional agar tidak ada pihak yang dirugikan nantinya. Selanjutnya dalam kontrak ini, Arsya Hadinata akan disebut sebagai Pihak I, sedangkan Abelia Renata akan disebut sebagai Pihak II.

[Lembar Kedua]

Ketentuan dari Pihak II:

(1) Uang bulanan dan semua uang yang diberikan oleh Pihak I nantinya akan diganti oleh Pihak II setelah kontrak berakhir.

(2) Tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain.

(3) Tidak boleh ada hubungan suami istri antara Pihak I dan Pihak II.

(4) Afeksi yang boleh dilakukan hanya berupa berpegangan tangan, TIDAK LEBIH.

(5) Pihak I tidak boleh merayu pihak II untuk melakukan hal-hal yang tidak diperkenankan (sesuai dengan poin 3 dan poin 4).

(6) Jika Pihak I melanggar salah satu ketentuan, maka Pihak II berhak melaporkan Pihak I kepada yang berwajib.

Esoknya aku benar-benar menemui Arsya, meski sempat ragu dan ingin membatalkan janji. Dan kini aku sudah memasuki restoran dan mendapati Arsya sudah duduk manis menantiku. Seperti biasa, kami bertemu di jam makan siang. Hari ini aku sengaja datang terlambat untuk menampilkan kesan bahwa aku sebenarnya tak berminat akan perjanjian sialan ini. Aku hanya benar-benar terdesak. Tapi apa pun alasanku, sepertinya tak penting bagi pria di hadapanku ini.

“Maaf terlambat,” ucapku setelah duduk.

Arsya hanya tersenyum mengangguk, lalu memanggil pramusaji. Setelah kami memesan makanan dan pramusaji berlalu, Arsya kembali menatapku.

“So, is it a deal?” tanyanya kemudian. Ia menyandarkan sedikit tubuhnya ke kursi dan meletakkan sebelah tangannya ke atas meja, di samping cangkir kopi yang telah dipesannya lebih dulu. Pandangannya lurus ke arahku.

Aku mengangguk. Kulihat ia melengkungkan bibirnya membentuk senyuman.

“But I have term and conditions,” ujarku.

Arsya mengernyit sebentar. “Apa saja?”

Perlahan aku mengeluarkan print out kontrak yang telah kupersiapkan dari dalam tasku. “Ini kontraknya,” ujarku seraya menyodorkan dua lembar kertas itu pada Arsya.

“Bukankah saya yang memberikan penawaran, kenapa kamu yang mengajukan kontrak?” Arsya menyilangkan lengannya di dada.

“Tidak masalah, bukan? Saya hanya memberi batas-batas yang harus dipatuhi, agar tidak ada yang merasa dirugikan nantinya.”

Arsya mempelajari wajahku sesaat kemudian menerima print out kontrak yang kuserahkan padanya. Kulihat keningnya berkerut saat membaca isi kontrak. Aku tersenyum sinis. Pria angkuh ini tadinya sudah pasti berpikir bahwa aku akan dengan mudah masuk ke dalam perangkapnya.

Gantian aku menyilangkan lengan. “Bagaimana, Arsya?”

“Let’s have lunch first.” Arsya tersenyum meletakkan dua lembar kertas itu ke atas meja ketika pramusaji mengantarkan pesanan kami.

Aku mengangguk menyetujui. Di meja kami telah tersaji hidangan yang aromanya menusuk hidung. Pesananku adalah ravioli with sauteed asparagus. Sedangkan Arsya memesan rosemary chicken. Untuk minuman, kami memesan minuman yang sama yaitu long island iced tea mocktail. Keheningan menguasai saat kami mulai makan. Hanya terdengar dentingan pelan peralatan makan dan obrolan sayup para pengunjung restoran yang lain.

Sambil mengunyah makanan, aku menoleh ke luar jendela kaca. Menatap sebatang pohon yang berada di pelataran restoran. Ranting-ranting yang dipenuhi dedaunan itu meliuk-liuk karena embusan angin. Pohon itu seakan tengah mengejekku, membuatku berdecak kesal melihatnya.

“Ada apa?”

Suara Arsya membuatku sedikit tersentak.

“Bukan apa-apa.” Aku tersenyum canggung.

Setelah menyelesaikan santapan kami, aku kembali bertanya pada Arsya tentang tanggapannya akan kontrak itu. Arsya kembali mengambil dua lembar kertas itu, lantas menatapku.

“Poin pertama. Saya kan sudah bilang bahwa saya tidak akan meminta kamu untuk mengganti uang yang saya berikan nantinya.”

“Ya, tapi saya tetap ingin menggantinya. Niat awal saya kan ingin meminjam uang. Karena kamu lebih ingin menjadikan saya sugar baby bagimu, maka saya tetap menerima tawaranmu karena saya butuh uang. Namun saya tetap menganggap saya sedang berutang sama kamu. Untuk itu, saya membuat ketentuan yang jelas agar kamu tidak salah paham akan tujuan saya menerima tawaran kamu ini,” jelasku panjang lebar.

“Tapi, Abelia—”

“Itu ketentuan mutlak dari saya untuk perjanjian kita ini,” tandasku.

Ia menghela napas. “Oke,” jawabnya lalu kembali menekuri isi kontrak.

“Poin keempat. Hanya boleh berpegangan tangan?” Arsya menautkan alisnya.

Kujawab pertanyaannya dengan anggukan.

“Apakah tidak bisa ditambahkan, bahwa selain berpegangan tangan boleh saja melakukan yang lain asal dengan consent?” tawarnya.

Sudah bisa kubaca pikiranmu, Arsya. Sepertinya kau sama saja dengan kebanyakan pria hidung belang lainnya. Aku tersenyum sinis.

“Tidak. Hanya boleh berpegangan tangan, tidak lebih. Itu juga ketentuan mutlak dari saya untuk dipatuhi.” Aku menekankan setiap kata yang kuucapkan.

Arsya menatapku beberapa saat kemudian mengangguk. “Baiklah.”

Keheningan kembali menguasai kami sejenak, sebelum ia berkata, “Kalau begitu, beri tahu saya alamat tempat tinggal kamu supaya saya bisa menemui kamu nanti.”

“Kamu tidak perlu mendatangi saya. Setiap kali kita ingin bertemu, kita tinggal berjanji di tempat publik seperti ini saja,” ujarku.

“Saya ingin tempat yang lebih privat karena tujuan tawaran saya ini agar bisa dekat denganmu. Mengobrol, tukar pikiran, dan sebagainya.”

“Pemilik indekos tidak mengizinkan untuk membawa tamu pria. Lagi pula, kita bisa melakukan semua yang kamu sebutkan itu di restoran seperti ini."

“Tentu saja berbeda,” sanggah Arsya. “Seperti yang saya bilang, saya ingin tempat yang lebih privat. Kalau di hotel sudah pasti kamu tidak mau.”

Aku membulatkan mata mendengar perkataan Arsya. Tentu saja aku tidak mau, tukasku dalam hati.

“Bagaimana kalau kamu pindah ke apartemen. Saya akan membayar sewanya.”

Kembali aku tersenyum sinis mendengar tawarannya. Apakah pria angkuh ini berpikir dia bisa mendapatkan apa pun yang dia mau dengan uang dan pesonanya?

“Tidak. Terima kasih,” pungkasku.

Sesaat kami beradu pandangan dalam diam. Arsya menatapku lurus sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pelan ke meja, seperti sedang memikirkan sesuatu.

“By the way, kamu punya ketentuan yang harus dipatuhi dalam kontrak itu. Kenapa tidak ada lembar ketentuan dari saya?” tanya Arsya kemudian.

Aku sudah menebak dia akan berpikir seperti itu, tapi memang sengaja aku tak menyediakan lembar persyaratan darinya.

“Apa ketentuan darimu? Kamu kirim saja melalui pesan, nanti akan saya ketik untuk kita tanda tangani di pertemuan selanjutnya,” jawabku ragu.

“Tidak usah. Saya tulis tangan saja biar bisa kita tanda tangani sekarang,” jawab Arsya lalu mulai menulis beberapa kalimat di lembar kedua kontrak, tepat di bawah poin-poin ketentuan dariku. Setelah selesai menulis, ia menyerahkan kertas itu padaku. Dia hanya menuliskan dua poin, tetapi cukup membuatku resah.

Adapun ketentuan yang diajukan oleh Pihak I, yaitu:

(1) Kontrak berlaku selama satu tahun. Bisa diperpanjang, tetapi tidak bisa diperpendek.

(2) Pihak II tidak boleh menolak hadiah ataupun pemberian berupa materi lainnya dari pihak I, kecuali uang.

Aku memegangi keningku setelah membacanya. Poin kedua aku bisa menerimanya, mungkin dia hanya akan membelikan tas, baju, atau sejenisnya. Namun, poin pertama, satu tahun itu terlalu lama. Ah, kenapa tidak terlintas di kepalaku sebelumnya tentang durasi kontrak. Padahal hal itu sangat krusial.

“Untuk poin kedua, apa tidak bisa hanya enam bulan saja?” Aku mencoba menawar.

Arsya menggeleng.

“Tapi, Arsya—”

“Tidak,” sela Arsya. “Itu ketentuan mutlak dari saya untuk perjanjian kita ini.” Arsya meniru kalimatku sebelumnya dengan sama persis.

Apakah ini permainannya untuk menjebakku? Aku menghela napas. Ya, sudahlah. Lagi pula, selama setahun itu aku akan memulai usahaku lalu menabung untuk mengganti utangku agar bisa terbebas dari pria ini nanti.

Aku menghela napas, lantas mengangguk. “Baiklah.”

“Let’s sign!” Arsya mengulum senyum sambil menandatangani kontrak, lalu menyerahkan kertas itu padaku.

Jantungku berdegup. Aku ragu untuk melakukannya, tetapi akhirnya kutorehkan juga tanda tanganku pada lembar kontrak itu. Setelahnya, aku meneguk minumanku hingga habis. Arsya melakukan hal yang sama. Dari sudut mata kulihat ia memandangiku dari balik gelasnya.

“Kalau begitu, kapan kamu pindah dari indekos ke apartemen baru? Saya akan menyewakan atau bahkan membeli sebuah apartemen untukmu yang dekat dengan kantor saya.”

Perkataan Arsya kembali membuat mataku membulat. “Maksud kamu, Arsya? Bukankah saya sudah menolak penawaran kamu untuk tinggal di apartemen?”

“Tapi kamu harus menerimanya, Abelia.” Suaranya pelan namun terdengar mengintimidasi.

“Kenapa saya harus menerimanya?” Aku menantang matanya.

Arsya menyilangkan lengannya sambil menatap lurus padaku. “Karena kamu tidak boleh menolak hadiah ataupun pemberian saya seperti yang tercantum pada poin kedua ketentuan dari saya. Dan kamu sudah menandatangani kontrak itu.” Senyum kemenangan terukir di bibirnya.

Sialan! Pria berengsek ini benar-benar telah menjebakku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status