Share

11. Omong Kosong

Arsya masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya siang itu meski sudah jam makan siang. PT, Vibrant Indo Manufacture, perusahaan yang dipimpinnya telah dipercaya sebagai pemasok alat berat bagi pembangunan jalan tol di Sumatera Barat yang akan dikerjakan oleh Mahawira Contractors. Perusahaan konstruksi swasta itu adalah milik Azkaa, kerabat jauhnya. Mereka sudah bertemu untuk membicarakan kerja sama yang telah mereka sepakati.

Proyek baru saja dimulai dan Arsya masih terus mempelajari konsep pembangunan jalan tol itu sebagai penyesuaian data untuk menentukan alat berat yang dibutuhkan. Juga memikirkan risiko jika alat berat yang direncanakan terkendala, perusahaannya harus menyediakan alternatif. Sebagai perusahaan manufaktur yang sudah dikenal namanya, tentu saja Arsya tak ingin PT. Vibrant Indo Manufacture salah perhitungan.

“Pak, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Pak Derry Laksmana.” Sekretaris Arsya menelepon.

Arsya berdecak pelan, namun ia tetap mempersilakan tamunya masuk. Sebenarnya Arsya sedang tak ingin diganggu karena banyaknya pekerjaan. Ia bahkan tak berniat makan siang. Namun ia segan menolak tamunya karena Derry Laksmana adalah juga kerabat dari ibunya sekaligus ayah dari Delisha. Arsya tersenyum tipis ketika pria paruh baya itu memasuki ruangannya. Ia mempersilakan Derry duduk dengan isyarat tangan.

“Sepertinya saya mengganggu kamu, Arsya. Kamu terlihat sangat sibuk,” sapa Derry.

“Ya, sedang banyak pekerjaan. Tapi tidak apa-apa, Pak.” Arsya kembali tersenyum.

“Masih saja kamu panggil saya Bapak. Panggil saja Om atau kalau kamu mau memanggil saya Papa seperti Delisha juga tidak apa-apa.” Derry berusaha terlihat akrab untuk mencairkan suasana.

Arsya tertawa kecil. “Baik, Om Derry. Ada yang saya bisa bantu, Om? Sepertinya Om ada perlu sehingga menyempatkan diri singgah ke sini di hari kerja.”

Derry berdehem. “Ya, memang ada perlu. Ada hal yang ingin saya bicarakan tapi bukan tentang pekerjaan.”

“Lalu?” Arsya mengernyit.

“Tentang Delisha.”

“Ada apa dengan Delisha?” tanya Arsya sambil kembali menatap layar laptopnya.

“Delisha bilang kamu menganggap perjodohan masa kecilmu dengannya hanya gurauan.”

Mendengar itu, Arsya menoleh. Namun dia tak mengatakan apa-apa. Apa perlu membicarakan hal-hal pribadi di kantor? Lagi pula itu pembicaraannya dengan Delisha, pembicaraan anak muda. Kenapa pula Derry mencampurinya

“Delisha bersedih karena kamu mengatakan hal itu, menolak untuk menjalin hubungan dengannya, juga karena kamu bersikap dingin padanya. Dia sangat menyukaimu, Arsya. Meski banyak lelaki yang menginginkannya, dia tetap memilih kamu,” lanjut Derry.

Tak tahu harus menjawab apa, Arsya masih dalam kediamannya.

Mata Derry menerawang. “Delisha adalah putri saya satu-satunya. Bagi saya kebahagiaan Delisha adalah kebahagiaan terbesar saya. Saya tidak ingin melihatnya kecewa, apalagi sejak kepergian ibunya beberapa tahun lalu.”

Arsya menghela napas. Rasanya ia ingin menggaruk kepalanya karena bingung harus menanggapi apa. Derry terlihat begitu melankolis menceritakan tentang Delisha seolah Arsya sudah menyakiti putrinya itu.

“Maaf, Om. Saya rasa pembicaraan antara saya dan Delisha biar menjadi urusan kami saja. Juga tentang saya yang bersikap dingin pada Delisha, itu tidak saya sengaja. Dan tentang saya menolak ajakan Delisha untuk menjalin hubungan, saya rasa juga tidak perlu dibicarakan karena itu urusan personal saya,” ujar Arsya.

“Tapi ini menyangkut Delisha. Tentu saja menjadi urusan saya juga,” tukas Derry.

Kening Arsya berkerut. “Tapi saya tidak pernah menyakiti Delisha karena saya tidak pernah memberikan harapan apa-apa padanya,” tegasnya.

“Memang kamu tidak memberikan harapan apa-apa padanya. Namun kamu menoreh luka di hatinya karena kamu mengatakan bahwa perjodohan itu adalah gurauan.” Derry tak mau kalah.

Arsya membuka mulutnya, namun mengatupkannya lagi. Ia mengalihkan pandangannya sambil memegangi keningnya, begitu bingung dengan logika berpikir lelaki paruh baya di hadapannya itu. Lebih baik ia diamkan saja.

“Sebenarnya saya ke sini juga ingin memberikanmu penawaran,” tutur Derry lagi.

“Penawaran apa, Om?” tanya Arsya sekadar untuk terlihat sopan.

“Bagaimana kalau kamu menikah dengan Delisha?”

Kembali Arsya menghela napas dan mengalihkan pandangannya. Namun beberapa saat kemudian ia berusaha tersenyum kepada kerabatya itu.

“Saat ini saya belum siap untuk menikah, Om.”

Derry mengangguk. “Tidak apa-apa. Kamu dan Delisha saling melakukan pendekatan saja dulu.”

Arsya mengunci suaranya lagi, kehabisan kata-kata.

“Kamu ingat saya pernah meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar padamu dulu untuk mendirikan perusahaan saya?” tanya Derry yang hanya dijawab anggukan oleh Arsya.

PT. Laksmana Abadi, perusahaan oursourcing swasta milik Derry yang baru saja berdiri saat itu membutuhkan dana untuk tambahan modal. Derry meminjam uang pada Arsya. Dengan alasan kerabat dan Arsya juga mampu, maka Arsya meminjamkannya. Berkat uang pinjaman dari Arsya itu, PT. Laksmana Abadi kini mulai berkembang meski masih terbilang perusahaan kecil.

“Saya belum sanggup untuk melunasi semua utang saya padamu, Arsya. Maka dari itu, sebagai gantinya, saya ingin menikahkan Delisha denganmu.”

Sambil kembali menatap layar laptopnya, Arsya tertawa kecil. “Tidak apa-apa kalau Om belum bisa melunasinya. Jangan jadikan anak Om tebusan untuk membayar utang-utang Om.”

“Saya tidak menjadikan Delisha sebagai tebusan!” tukas Derry. “Kamu pikir saya seperti orang tua di drama-drama itu menjodohkan anaknya karena utang? Saya menawarkan kamu untuk menikahi Delisha karena Delisha juga menyukai kamu. Saya bukan orang tua yang sadis!”

Kini Arsya tak kuasa untuk tak menggaruk kepalanya. Sungguh Arsya bingung. Bukankah orang tua ini sendiri tadi yang mengatakan bahwa ia ingin menikahkan anaknya dengan Arsya karena ia tak mampu melunasi utang? Kenapa sekarang ia berkelit?

“Maaf kalau saya salah bicara, Om.” Arsya memilih mengalah. “Tapi tentang menikahi Delisha, mohon maaf saya tidak bisa. Dan tentang utang Om, kalau Om belum bisa melunasi saat ini, tidak apa-apa.”

“Kenapa kamu tidak bisa menikahi Delisha?” cecar Derry.

“Karena saya tidak memiliki perasaan padanya.”

“Kalau soal perasaan, nanti setelah menikah juga kalian bisa saling mencintai.”

“Ini bukan di drama-drama, Om. Perasaan tidak bisa dipaksa,” balas Arsya menyindir perkataan Derry tadi.

“Tentu saja bisa kalau terbiasa. Kamu tidak akan menyesal jika menikahi Delisha.” Derry bersikeras.

Arsya menembuskan napas kasar. “Sebaiknya saya jujur saja pada Om bahwa saya sudah punya pacar.”

Orang yang dimaksud oleh Arsya sebagai pacar itu adalah Abelia. Meski bukan pacarnya, paling tidak Abelia adalah wanita yang sedang didekatinya saat ini. Arsya terpaksa sedikit berbohong untuk menghentikan desakan Derry agar ia menikahi Delisha.

“Pacar? Sejak kapan?” Derry mengernyit.

“Om tidak perlu tahu karena bukan urusan Om,” sahut Arsya.

Derry tersenyum sinis. “Memangnya seperti apa pacar kamu itu?”

“Sudah saya bilang bukan urusan Om.”

“Bukannya apa-apa, Arsya. Wanita sekarang banyak yang menjadi gold-digger, sukanya menguras harta pria kaya sepertimu. Sangat langka wanita yang memiliki tabiat baik di zaman sekarang ini, salah satunya adalah putri saya Delisha. Dia adalah gadis yang santun, tulus, dan memegang kuat adat ketimuran. Kamu akan merasa rugi jika tidak memilihnya sebagai istri.” Derry menasihati.

Arsya berdehem. “Terima kasih atas petuahnya, Om,” sindirnya. “Apakah Om ada keperluan lain? Kalau tidak ada, mohon beri saya waktu untuk melanjutkan pekerjaan saya.” Ia menyunggingkan senyumnya.

Mendengar ucapan Arsya, raut ketidaksukaan muncul di wajah Derry.

“Baik, saya akan segera pergi. Saya juga banyak pekerjaan. Permisi,” ujarnya seraya bangkit dan beranjak meninggalkan ruangan Arsya begitu saja.

Sepeninggalan pria paruh baya itu, Arsya menyandarkan tubuhnya di kursi sambil mengembuskan napas kasar. Buyar sudah konsentrasinya untuk bekerja. Ia telah menghabiskan waktunya yang sangat berharga untuk mendengarkan omong kosong yang berputar-putar. Arsya geleng-geleng kepala.

Sekilas, ia menoleh pada layar laptopnya. Lebih baik dilanjutkan nanti saja karena kini perutnya pun sudah terasa lapar. Ia menutup laptopnya dan bermaksud pergi makan siang. Namun sebelum beranjak, ia mengambil ponselnya. Sesaat ia terpaku membaca status di aplikasi chat dari gadis yang dijulukinya Weird Woman.

[Pengen naik flying fox tapi takut.]

Senyum mengembang di bibirnya. Mengingat Abelia selalu bisa membuat suasana hatinya menjadi baik lagi. Wanita itu ingin naik flying fox? Kebetulan sekali. Kemarin Arsya berencana ingin mengajaknya bepergian di akhir pekan nanti tapi dia belum mendapat ide ke mana atau melakukan apa. Namun sekarang Arsya sudah tahu jawabannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status