Seorang wanita muda berjalan dengan penuh percaya diri memasuki gedung kantor PT. Vibrant Indo Manufacture. Kemeja body fit dan rok span yang dikenakannya semakin menampakkan lekuk tubuhnya yang berisi. Sepasang high heels hitam di kakinya menghasilkan irama beraturan setiap kali ia menjejakkan kaki jenjangnya ke lantai.
Binar di mata wanita itu menunjukkan bahwa ia sedang dalam suasana hati yang baik dan bersemangat. Ia mengulum senyum. Kalau dengan cara pendekatan personal ia tak bisa meluluhkan pria yang dikaguminya, maka ia akan menggunakan pekerjaan sebagai sarana untuk mendekati sang pujaan hati.
Setelah berbicara sebentar dengan resepsionis di lobi, ia pun menaiki lift untuk mencapai lantai tempat di mana ruangan Direktur Utama berada. Saat akan memasuki ruangan tersebut, langkahnya terhenti karena sekretaris direktur memanggilnya. Wanita itu menghela napas. Sungguh ia malas untuk melakukan percakapan bertele-tele sekadar sebagai formalitas.
Sementara itu
Jika cermin di depanku ini bisa bicara, aku akan bertanya padanya. Apakah aku sudah terlihat cantik? Sekali lagi aku mematut penampilanku. Dari pantulan cermin kulihat dress selutut berwarna maroon dengan kerah sabrina membalut tubuhku. Lalu riasan wajah natural dan rambut sebahuku yang kubiarkan tergerai. Mungkin bukan penampilan yang sempurna untuk sebuah kencan, tetapi setidaknya bisa membuatku merasa percaya diri. Sore tadi Arsya meneleponku. Dia bilang akan menjemputku malam ini untuk makan malam di sebuah restoran fine dining. Katanya sudah lama dia ingin mengajakku berkencan. Dan aku tak merasa perlu menolak kencan yang hanya berupa makan malam bersama. Selama Arsya masih mengajakku ke tempat umum, maka tak ada masalah. Lagi pula, sudah lama aku tidak makan di restoran mahal. Setelah mengenakan high heels, aku duduk di sofa menunggunya. Sesekali aku bersenandung untuk menghilangkan bosan. Tak berapa lama, Arsya datang menjemputku. Aku bangkit seraya mengambil tas yang kuletakk
Secercah sinar masuk, memberi penglihatan di sepasang mata bening yang mulai terbuka. Dengan pandangan samar, Abelia berusaha menguasai dirinya. Tepat di atasnya, ia melihat rahang tegas pria itu. Abelia mencoba melihat ke sekeliling. Sekian detik kemudian, ia menyadari bahwa Arsya tengah menggendong tubuhnya dan mereka masih berada di atas rooftop hotel. Tampaknya ia pingsan hanya sekejap tadi.Mau ke mana Arsya membawanya? Jantung Abelia berdegup memikirkan kemungkinan bahwa pria itu akan membawanya ke salah satu kamar hotel. Ia memang pernah tidur sekamar dengan Arsya, tapi waktu itu dalam keadaan terdesak dan mereka tidur di ranjang terpisah. Kali ini bisa saja Arsya akan macam-macam padanya. Menyadari hal tersebut, Abelia pun memberontak.“Lepaskan saya, Arsya! Turunkan saya!”Arsya tersentak mendengar suara dari wanita yang digendongnya. Seulas senyum terukir di di wajah pria itu. Ia pun menghentikan langkah.“Kamu sudah sadar, Abe
Memulai usaha ternyata tak semudah yang dikatakan oleh para motivator dalam sebuah seminar. Bisnis online saat ini sudah menjamur, berbagai jenis barang bisa ditemukan pada e-commerce. Kalau menjual barang yang pasaran, maka akan kalah bersaing dengan para produsen yang kerap kali menjual produk mereka dengan harga murah di marketplace. Aku harus mencari produk yang unik untuk kujual. Namun sampai sekarang aku belum menemukan ide ingin menjual apa. Saat aku tengah sibuk menjelajah internet untuk mencari inspirasi, ada pesan masuk dari Arsya mengatakan bahwa ia akan datang. Aku memperbolehkannya. Sebenarnya aku sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun kontrak yang mengikat di antara kami kadang membuatku tak enak untuk menolak kedatangannya. Setengah jam kemudian Arsya tiba. Seperti biasa, dia mengajakku makan bersama setelah memesan makanan secara delivery. “Abelia, Selasa nanti mama saya ulang tahun,” ujar Arsya. “Lalu?” “Bagaimana kalau hari ini ka
Suara bising televisi yang menyala di ruang tengah tak mengganggu dua anak laki-laki yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mata Arsen tak beralih dari konsol game di tangannya, sementara Arsya masih fokus membaca komik Detective Conan sambil bersandar di sofa. Seorang asisten rumah tangga datang membersihkan remah-remah sisa camilan mereka, lalu kembali ke dapur setelah mematikan televisi. Bosan bermain game, Arsen menguap sambil meletakkan konsol game begitu saja ke atas karpet. Dengan senyum usil di bibir, ia meraih sebuah mobil-mobilan berukuran mini dan melemparkannya ke arah Arsya. Sang adik tak membalas, hanya memandang kakaknya dengan raut wajah kesal kemudian lanjut membaca. Arsen terbahak melihat kekesalan Arsya. “Arsya, main di luar, yuk.” Arsen berkata sambil mengunyah camilan yang masih tersisa di atas meja. “Main ke mana?” tanya Arsya acuh tak acuh. “Mama bilang di rumah saja. Banyak penculik di luar.” Arsen terbahak lagi. “Man
Memiliki teman, kerabat, sekaligus rekan bisnis yang sebaya merupakan suatu hal yang menyenangkan, apalagi jika sefrekuensi. Setidaknya itulah pertemanan yang terjadi antara Arsya dan Azkaa. Mereka memang tak bisa dibilang cukup dekat, tetapi saat bertemu biasanya mereka bisa membicarakan apa saja termasuk soal pekerjaan hingga hal personal. Mereka sering kali sepemikiran dan sepemahaman. Hari itu Azkaa mengajak Arsya bertemu di sela jam makan siang. Sebagai sesama penyuka kopi, tentu saja mereka memilih coffee shop sebagai tempat bersua. Azkaa bermaksud membicarakan beberapa hal, termasuk soal tindakan Delisha yang menemui Arsya beberapa waktu lalu. Meski sudah meminta maaf pada Arsya lewat telepon, Azkaa ingin menjumpai temannya itu sekalian bercengkerama. “Siang, Pak Bos,” sapa Arsya pada Azkaa yang telah duduk menunggunya. Azkaa yang tadi menatap layar ponsel menoleh, lantas tertawa. “Sendirinya juga bos.” Arsya balas tertawa seraya duduk di kursi
Langit cerah membiru saat pesawat kami mendarat di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Lombok International Airport). Hiruk pikuk kesibukan di bandara terdengar bising. Kebisingan yang biasanya dicintai oleh para penggemar travelling. Pada akhir pekan yang panjang seperti ini, tak ayal bandara akan menjadi semakin ramai oleh para pengunjung yang dahaga akan liburan. Usai mengisi perut sejenak di kawasan bandara, kami melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Teluk Nara untuk menyebrang ke pulau Gili Trawangan. Spèedboat yang membawa kami menciptakan gelombang ombak putih di birunya laut. Kecepatan perahu cukup menegangkan bagiku. Namun genggaman tangan Arsya membuatku merasa sedikit tenang. “Arsya, kamu booking dua kamar hotel, kan?” tanyaku di tengah deru mesin speedboat. "Tipe suite dengan dua kamar tidur.” Aku mengernyit. “Kenapa tidak dua superior atau deluxe room saja?” “Supaya lebih private karena ada living room sendiri. Dengan begitu saya akan lebih sering melihat kamu
"Not now," ucapku setengah berbisik seraya menahan wajah Arsya dengan jemariku. Bukan bermaksud menolak cumbunya, hanya saja aku takut akan reaksiku sendiri. Masih kuingat bagaimana bayang-bayang perselingkuhan ayah muncul di kepalaku saat Arsya pertama kali menciumku beberapa waktu lalu. Pening dan sesak yang membuatku luruh. Tak lucu rasanya kalau aku pingsan lagi kali ini dan Arsya akan menggendongku hingga ke hotel. Tanpa berkata apa pun, aku berbalik dan berjalan menjauh. Menyusuri bulir-bulir pasir yang terasa hangat di kaki. Arsya menyusulku di belakang. Matahari sudah meninggi. Arsya masih ingin mengajakku berkelana, tetapi aku menolak. Usai berbelanja cenderamata di beberapa toko, kami kembali ke hotel. Selama perjalanan, kami hanya saling berdiam diri. Setibanya di hotel, aku langsung membersihkan diri karena badanku terasa lengket oleh keringat. Melihatku masih tak bersemangat, Arsya memesan makanan dan kami menikmati hidangan makan siang di unit kamar hotel saja. Selanju
Pagar-pagar pembatas mengelilingi sebuah lokasi proyek konstruksi. Sedangkan lalu lintas di sekitarnya berjalan normal. Dua orang pria muda yang mengenakan helm pengaman memasuki lokasi proyek. Azkaa menemani Arsya yang ingin mengunjungi salah satu proyek pembangunan flyover oleh Mahawira Contractors di kawasan Jakarta Selatan. Tujuan Arsya adalah melihat secara langsung kondisi alat-alat berat proyek karena perusahaan yang dipimpinnya—PT. Vibrant Indo Manufacture—adalah pemasok bagi Mahawira Contractors. Kedatangan mereka siang itu segera disambut oleh mandor yang sedang mengawasi para pekerja di lapangan. "Alat-alat berat masih dalam kondisi yang sangat baik. Sebagian masih baru, beberapa pernah mengalami perbaikan minor. Kami memiliki rekam riwayat setiap alat, jika ada yang sudah mengalami perbaikan mayor, biasanya kami gudangkan terlebih dahulu sebelum uji kelayakan kembali. So, everything is fine so far," jelas Azkaa. Arsya merasa lega mendengarnya. "Ya