Suara bising televisi yang menyala di ruang tengah tak mengganggu dua anak laki-laki yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mata Arsen tak beralih dari konsol game di tangannya, sementara Arsya masih fokus membaca komik Detective Conan sambil bersandar di sofa. Seorang asisten rumah tangga datang membersihkan remah-remah sisa camilan mereka, lalu kembali ke dapur setelah mematikan televisi.
Bosan bermain game, Arsen menguap sambil meletakkan konsol game begitu saja ke atas karpet. Dengan senyum usil di bibir, ia meraih sebuah mobil-mobilan berukuran mini dan melemparkannya ke arah Arsya. Sang adik tak membalas, hanya memandang kakaknya dengan raut wajah kesal kemudian lanjut membaca. Arsen terbahak melihat kekesalan Arsya.
“Arsya, main di luar, yuk.” Arsen berkata sambil mengunyah camilan yang masih tersisa di atas meja.
“Main ke mana?” tanya Arsya acuh tak acuh. “Mama bilang di rumah saja. Banyak penculik di luar.”
Arsen terbahak lagi. “Man
Masing-masing kisah masa lalu Arsya dan Abelia akan terungkap satu per satu nanti. Btw, kalau suka sama ceritaku, jangan lupa dukungannya, ya. Terima kasih.
Memiliki teman, kerabat, sekaligus rekan bisnis yang sebaya merupakan suatu hal yang menyenangkan, apalagi jika sefrekuensi. Setidaknya itulah pertemanan yang terjadi antara Arsya dan Azkaa. Mereka memang tak bisa dibilang cukup dekat, tetapi saat bertemu biasanya mereka bisa membicarakan apa saja termasuk soal pekerjaan hingga hal personal. Mereka sering kali sepemikiran dan sepemahaman. Hari itu Azkaa mengajak Arsya bertemu di sela jam makan siang. Sebagai sesama penyuka kopi, tentu saja mereka memilih coffee shop sebagai tempat bersua. Azkaa bermaksud membicarakan beberapa hal, termasuk soal tindakan Delisha yang menemui Arsya beberapa waktu lalu. Meski sudah meminta maaf pada Arsya lewat telepon, Azkaa ingin menjumpai temannya itu sekalian bercengkerama. “Siang, Pak Bos,” sapa Arsya pada Azkaa yang telah duduk menunggunya. Azkaa yang tadi menatap layar ponsel menoleh, lantas tertawa. “Sendirinya juga bos.” Arsya balas tertawa seraya duduk di kursi
Langit cerah membiru saat pesawat kami mendarat di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Lombok International Airport). Hiruk pikuk kesibukan di bandara terdengar bising. Kebisingan yang biasanya dicintai oleh para penggemar travelling. Pada akhir pekan yang panjang seperti ini, tak ayal bandara akan menjadi semakin ramai oleh para pengunjung yang dahaga akan liburan. Usai mengisi perut sejenak di kawasan bandara, kami melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Teluk Nara untuk menyebrang ke pulau Gili Trawangan. Spèedboat yang membawa kami menciptakan gelombang ombak putih di birunya laut. Kecepatan perahu cukup menegangkan bagiku. Namun genggaman tangan Arsya membuatku merasa sedikit tenang. “Arsya, kamu booking dua kamar hotel, kan?” tanyaku di tengah deru mesin speedboat. "Tipe suite dengan dua kamar tidur.” Aku mengernyit. “Kenapa tidak dua superior atau deluxe room saja?” “Supaya lebih private karena ada living room sendiri. Dengan begitu saya akan lebih sering melihat kamu
"Not now," ucapku setengah berbisik seraya menahan wajah Arsya dengan jemariku. Bukan bermaksud menolak cumbunya, hanya saja aku takut akan reaksiku sendiri. Masih kuingat bagaimana bayang-bayang perselingkuhan ayah muncul di kepalaku saat Arsya pertama kali menciumku beberapa waktu lalu. Pening dan sesak yang membuatku luruh. Tak lucu rasanya kalau aku pingsan lagi kali ini dan Arsya akan menggendongku hingga ke hotel. Tanpa berkata apa pun, aku berbalik dan berjalan menjauh. Menyusuri bulir-bulir pasir yang terasa hangat di kaki. Arsya menyusulku di belakang. Matahari sudah meninggi. Arsya masih ingin mengajakku berkelana, tetapi aku menolak. Usai berbelanja cenderamata di beberapa toko, kami kembali ke hotel. Selama perjalanan, kami hanya saling berdiam diri. Setibanya di hotel, aku langsung membersihkan diri karena badanku terasa lengket oleh keringat. Melihatku masih tak bersemangat, Arsya memesan makanan dan kami menikmati hidangan makan siang di unit kamar hotel saja. Selanju
Pagar-pagar pembatas mengelilingi sebuah lokasi proyek konstruksi. Sedangkan lalu lintas di sekitarnya berjalan normal. Dua orang pria muda yang mengenakan helm pengaman memasuki lokasi proyek. Azkaa menemani Arsya yang ingin mengunjungi salah satu proyek pembangunan flyover oleh Mahawira Contractors di kawasan Jakarta Selatan. Tujuan Arsya adalah melihat secara langsung kondisi alat-alat berat proyek karena perusahaan yang dipimpinnya—PT. Vibrant Indo Manufacture—adalah pemasok bagi Mahawira Contractors. Kedatangan mereka siang itu segera disambut oleh mandor yang sedang mengawasi para pekerja di lapangan. "Alat-alat berat masih dalam kondisi yang sangat baik. Sebagian masih baru, beberapa pernah mengalami perbaikan minor. Kami memiliki rekam riwayat setiap alat, jika ada yang sudah mengalami perbaikan mayor, biasanya kami gudangkan terlebih dahulu sebelum uji kelayakan kembali. So, everything is fine so far," jelas Azkaa. Arsya merasa lega mendengarnya. "Ya
Abelia termangu menatap ke luar jendela seraya mengetuk-ngetuk ponselnya. Entah kenapa sejak tadi ia memikirkan Arsya. Perasaannya tak enak, seolah telah terjadi sesuatu pada pria itu. Berulang kali Abelia ingin menelepon, namun urung. Ia tak ingin mengganggu Arsya bekerja. Akhirnya ia hanya mengirim pesan untuk menanyakan kabar. Sungguh tak pernah terpikir oleh Abelia bahwa Arsya mampu membuatnya resah. Ingin menyangkal, tetapi ternyata ia tak bisa menepis kekhawatirannya saat kemudian Arsya membalas pesan. Arsya mengabarkan bahwa ia masuk rumah sakit akibat kecelakaan di lokasi proyek. Tak butuh waktu lama bagi Abelia untuk memutuskan mengunjungi pria itu. Setibanya di rumah sakit, Abelia menghela napas panjang sebelum memasuki ruang tempat Arsya dirawat. Jantungnya berdegup memikirkan kemungkinan bahwa ia akan bertemu dengan mama Arsya. Meski begitu, kakinya tetap melangkah. Semua orang yang berada di dalam ruangan menoleh ketika kemudian Abelia mengetuk pintu.
Berkomitmen dalam hubungan asmara adalah suatu hal yang kutakuti. Dengan trauma dan semua kekuranganku, aku ragu bisa menjalin hubungan yang baik dalam hal percintaan. Membayangkan memiliki ikatan perasaan dengan seseorang saja sudah membuat resah, apalagi harus berhadapan dengan keluarganya. Sikap mama Arsya yang dingin terhadapku saat aku ke rumah sakit beberapa hari lalu menambah keyakinanku akan hal tersebut. Ia mungkin berpikir bahwa aku benar pacar Arsya, tidak mengetahui bahwa kami memiliki sebuah perjanjian. Wajar saja jika ia ingin mengetahui banyak hal tentangku. Mereka adalah keluarga berada, tentu mama Arsya tak ingin sembarang orang menjadi kekasih putranya. Aku menghela napas untuk menghilangkan pikiran yang tak seharusnya menggangguku itu. Arsya telah keluar dari rumah sakit kemarin. Hasil CT Scan kepala dan tulang punggungnya pun baik-baik saja. Kabar yang cukup membuatku lega. Siang ini Arsya akan datang. Aku sempat melarangnya karena dia baru sembuh
Sebuah mobil sedan memasuki pekarangan luas kediaman Hadinata. Sepasang pria dan wanita muda tampak keluar dari mobil setelah diparkirkan. Abelia mengikuti Arsya yang menuntunnya memasuki rumah besar berwarna putih itu. Ini pertama kalinya Abelia datang ke rumah keluarga Arsya. Hatinya merasa tak menentu. Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu lalu mengantar mereka dari foyer hingga ke ruang tamu. Telah ada tiga orang duduk menunggu di sana. Yunita, Derry, dan Delisha. Abelia menghentikan langkah sejenak. Keresahannya bertambah karena melihat Derry. Apakah hal yang ingin dibicarakan Yunita ada kaitannya dengan mantan bosnya itu? Arsya juga merasa heran melihat kehadiran Derry dan Delisha. Namun, ia tak mengatakan apa pun. Setelah mempersilakan Abelia duduk, ia lalu duduk tepat di samping wanita itu. Tak memedulikan Delisha yang menatap mereka cemburu. Abelia menyapa mereka satu per satu sambil mengulas senyum, meski tak berbalas. "Ada apa, Ma?" Arsya membuka percakapan. Tak
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemenku, kami hanya saling mengunci suara. Arsya sepertinya memahami bahwa aku sedang tak ingin bicara. Pun saat kami duduk bersisian di sofa setibanya di apartemen. Entah berapa lama kami berdiam diri hingga kemudian Arsya menggenggam tanganku. Dari sudut mata kulihat ia memandangiku. "Kamu sudah tahu bagaimana keluarga saya." Aku tertawa pahit, lantas menoleh padanya. "Kamu pasti ingin menertawakan saya." Arsya menggeleng. "Tidak ada alasan bagi saya untuk menertawakanmu." Kembali aku mengalihkan pandangan dan berkata, "Kehidupan saya menggelikan. Ayah saya berselingkuh. Kakak saya membenci adiknya sendiri. Lalu saya adalah seorang pecundang yang menyimpan luka dan memendam trauma demi sebuah citra keluarga yang baik-baik saja." "Setiap keluarga pasti mempunyai masalahnya sendiri, memiliki ketidaksempurnaan yang enggan ditunjukkan pada orang-orang." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan mempunyai kelu