Ini pertama kalinya Elora pergi sendiri dari kastil Caspian dan melakukan hal yang tidak berkaitan dengan manusia serigala, semenjak ia mengambil cuti.
Elora membuat janji dengan Javier siang ini, setelah ia selesai berlatih dengan Zed. Percakapannya dengan Zed saat latihan kemarin masih mengganggu Elora. Elora ingin menanyakan apa maksud Zed sebenarnya, tetapi hari ini Zed lebih pendiam, seolah ada yang mengganggu pikirannya.
Elora menggerutu sembari memandangi mobilnya di tempat parkir, di samping kastil Caspian. Mobil pemberian Caspian, yang mana Elora bersumpah tidak akan menggunakannya. Berada di antara jajaran mobil-mobil mewah milik sang Alpha, mobil sport warna hitam yang catnya masih mulus itu tidaklah kelihatan mencolok. Beda cerita jika mobil tua Elora yang disandingkan di sini.
Elora menekan tombol di kunci mobil, dan mendengar bunyi ‘beep’ dua kali, penanda kunci mobil telah terbuka. Elora menghela napas panjang. Tidak ada pilih
Terlalu berlebihan.Kalimat itu berjalan mondar-mandir di dalam benak Elora setiap kali ia menyaksikan pemandangan di hadapannya.Bagaimana tidak, demi mendapatkan tampilan pesta yang sempurna, Kate memanggil salah satu desainer ternama di South Island untuk datang ke Gibbston, sembari membawa beberapa contoh gaun model terbaru.Desainer itu datang bersama asisten-asistennya, membawa berkotak-kotak gaun warna-warni yang selama ini hanya Elora lihat dari balik dinding kaca butik-butik prestisius di Queenstown.Bukannya Elora tak mampu membeli salah satu gaun mahal ini, tetapi Elora tak pernah harus menghadiri acara yang memintanya mengenakan gaun sutra dengan rok bertumpuk dan bertabur berlian.“Bukankah kita hanya perlu membeli gaun secara acak di salah satu butik di Queenstown?” bisik Elora ke telinga Kate, ketika sang desainer bersama para asistennya sibuk menata gaun-gaun itu di pajangan. Ya, mereka membawa beberapa manekin agar bisa
Gerimis menyambut Elora dan Zed saat mobil Zed, sebuah SUV warna hitam, melintas di pusat kota Queenstown. Zed mengarahkan mobilnya ke Camp Street, jalan di mana terdapat jajaran butik, pusat perbelanjaan, dan toko-toko perhiasan.“Kau sering ke sini?” tanya Zed, saat mobil memasuki area parkir di ujung jalan.“Kadang-kadang. Jika aku butuh baju baru untuk bertemu calon klien.”“Apakah kau membeli baju baru saat akan bertemu Caspian dan aku?”Ada candaan samar dalam pertanyaan Zed, yang membuat Elora salah tingkah. Sontak, rasa hangat menjalar di kedua pipi Elora. Ia melepaskan tawa halus.“Em … ya—tapi aku tidak terlalu berusaha keras juga untuk tampil. Aku takut jika aku terlalu berusaha, hasilnya malah berlebihan.”“Kau tak perlu berusaha terlalu keras. Karena kau sudah cantik bahkan hanya dengan pakaian sederhana.”Zed mengatakan itu setelah mobil terparkir r
Caspian selama ini terkenal sebagai Alpha yang tidak begitu ramah pada kawanan lain. Banyak yang mengatakan ia sombong karena berasal dari keluarga yang kaya raya. Tak jarang desas-desus berkembang menjadi tidak terkendali. Rumor itulah yang membentuk citra Caspian di mata para manusia serigala yang tidak mengenal baik dirinya.Semua terlihat dari cara mereka menatap dan berbicara pada Caspian selama pertemuan. Ditambah masalah yang Caspian timbulkan dua tahun belakangan, semakin kuatlah ketidaksukaan pemimpin kawanan lain padanya.“Sedari tadi kita membahas soal penjagaan perbatasan, tetapi sebenarnya apakah kita pernah benar-benar menemui masalah serius? Kecuali masalah yang ditimbulkan oleh seseorang akhir-akhir ini.”Gerald, seorang Alpha dari daerah ujung South Island mulai menyinggung soal Caspian. Pria tua berpemikiran kolot, yang masih senang mengenakan mantel bulu tanpa lengan kemana-mana. Caspian mengenalnya sedari Caspian masih remaj
Mendengar kata pesta dansa selalu memunculkan gambaran pesta-pesta di film tentang putri dan pangeran. Aula megah penuh orang dengan berbagai macam gaun dan setelan jas berkelas. Lilin-lilin besar yang diletakkan di wadah lilin bercabang tiga, apinya menari-nari dalam warna emas, kuning, dan oranye. Satu kelompok orkestra di sudut ruangan, memainkan musik klasik yang menghentak, terkadang syahdu, mengiringi pasangan-pasangan yang berputar dan berpelukan di lantai dansa.Gambaran itu nyata adanya. Bagai menuangkan pikiran menjadi sebuah wujud yang bisa dipandang secara kasat mata, Elora merasakan suasana seperti dalam negeri dongeng.Zed menjemputnya pukul tujuh malam. Dia mengetuk pintu kamar Elora, dan matanya melebar takjub melihat penampilan Elora malam ini.“Semua laki-laki pasti akan iri padaku,” katanya sembari tersenyum.Elora menampik pujian itu dengan tersipu, lalu mengumandangkan tawa kering. “Aku pikir ini terlalu berlebihan.&
Kedua kaki Elora melingkar rapat di pinggang Caspian yang ramping dan kokoh, membuat gaunnya tersibak dan menampakkan kulit mulus di paha Elora. Sepasang tangan Caspian membelit di pinggul Elora, dan menahannya di bokong, menjaga agar Elora tidak jatuh. Elora menjauhkan wajahnya perlahan sembari membuka kelopak matanya pelan-pelan. Pandangannya bertemu dengan Caspian. Sepasang mata birunya berpendar dalam keterkejutan, bingung, dan … senang.“Kau mabuk, El,” bisik Caspian. Itu bukan peringatan, hanya sekadar pemberitahuan, dan Caspian tidak terlihat keberatan akan hal itu.“Jangan pernah mengizinkan wanita manapun menyentuhmu. Kau milikku,” ucap Elora. Tak peduli pada reaksi orang-orang di sekitar mereka. Elora tak bisa memikirkan hal lain selain Caspian, dan perasaan yang susah payah ia pendam namun berhasil mengalahkannya malam ini. Yang Elora inginkan sekarang, di sini, hanyalah Caspian. Caspian menyeringai, sebuah senyum penuh kemenan
Pagi hari datang terlalu cepat. Elora menggerutu saat secercah sinar keemasan jatuh di atas matanya yang tertutup. Elora melenguh dan berguling ke samping, kemudian ia membuka mata dengan malas. Caspian tertidur di sisinya, dengkur halus terdengar seiring dengan dadanya yang naik turun.Elora mengerjap pelan, mengingat sisa-sisa kejadian semalam sembari menikmati pemandangan di hadapannya. Caspian begitu rupawan, dan jangan tanya masalah urusan ranjang … dia sangat pandai melakukannya. Sekujur tubuh Elora menggigil senang saat perasaan itu kembali datang, jejak-jejak sentuhan Caspian di kulitnya. Rasa lembut bibir Caspian di bibirnya.Ini pasti bukan kali pertama untuk Caspian … dan ini juga bukan yang pertama bagi Elora. Namun itu semua tak masalah. Mereka hidup di sini, pada masa ini, sebagai jodoh. Elora akan mencintai Caspian sepenuh hatinya.Caspian membuka mata, warna biru di selaput pelanginya nampak pudar. Caspian tersenyum manis, menimbulk
Elora membasuh tubuh, berpakaian, dan keluar dari kamar dengan harapan Zed sudah menunggunya di lorong seperti biasa. Namun tak ada siapapun. Elora beranjak ke bawah, menuruni tangga dan berbelok menuju ke ruang makan. Ia mendengar suara-suara dan denting piring dari dalam. Elora membuka pintu dan mendapati ruangan itu cukup ramai. Para anggota kawanan belum berangkat bekerja, dan mereka semua berhenti dari aktivitasnya saat melihat Elora.Elora berdiri dengan canggung di ambang pintu. Tak ada satupun yang ia kenal di sini. Elora menelan ludah dan berjalan mundur sembari menutup pintu. Ia akan makan saat orang-orang sudah pergi, seperti biasanya. Elora berbalik dan menabrak seseorang di belakangnya.“Aw!” Elora mengusap hidungnya yang berdenyut. Zed menangkap masing-masing lengan Elora, menjaga agar Elora tidak terjatuh ke belakang.“Mau ke mana?” tanya Zed.“Kembali ke kamar,” jawab Elora. Lalu ia teringat sesuatu. &ld
Tangan Caspian masih mencengkeram erat kedua tangan Elora, menahanya di samping tubuh. Seolah Caspian takut Elora bisa menyerangnya sewaktu-waktu.“El—apa yang terjadi? Kau bermimpi?” Caspian menelan ludah, suaranya tercekat.Elora melihat ke sekeliling. Ia berada di kamarnya. Seharian tadi setelah menghabiskan waktu membaca jurnal Sang Pelindung Bulan, kemudian berkeliling kastil dan menelepon Javier, Elora mengantuk lalu tertidur. Elora menoleh pelan ke arah jendela. Bulan menggantung tinggi di langit.Elora merasakan detak jantungnya yang memburu. Kelebatan mimpinya bagai kilasan-kilasan cahaya di balik matanya. “Aku … bermimpi?” Elora mengerjap dan memandang Caspian lagi. “Kau kenapa?” tanyanya, bingung.Caspian menunduk, melihat luka-luka di dadanya, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.“Apa itu… gara-gara aku?” kata Elora, lirih.Caspian mengendurkan tangan lalu membeb